Judul Buku : God’s Passionate Desire and Our Response
Penulis : William A. Barry, S.J.
Penerbit : Ave Maria Press, 1993
Dalam suatu persahabatan, kesalahpahaman merupakan hal wajar yang terjadi. Sering kali apa yang menjadi keinginan manusia dalam berelasi tidak disambut dengan baik oleh sesama. Seperti halnya orang tua yang sebenarnya ingin menghadirkan wajah perhatian lewat nasehat dan teguran untuk anaknya, namun maksud baik itu tidak selalu sama maknanya bagi anak.
Hal serupa juga dapat terjadi dalam hidup rohani yaitu relasi manusia dengan Tuhan. Untuk menggambarkan bagaimana manusia seringkali salah paham dalam menanggapi sikap Tuhan, William A. Barry menjelaskannya dengan baik melalui buku “God’s Passionate Desire And Our Response”. Untuk memahami buku ini, penjelasan akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rangkuman isi buku, refleksi, serta pembahasan isi buku.
Rangkuman
Barry menjelaskan bagaimana kesalahpahaman terjadi dalam relasi manusia dengan Tuhan dalam empat bagian. Pada bagian pertama, Barry menjelaskan bagaimana manusia sering kali menganggap bahwa pondasi relasi cukup dibangun secara instan dan tanpa memperhatikan disiplin rohani yang panjang. Pada bagian kedua, ia menunjukkan bahwa manusia sering kali takut dan merasakan ketidakhadiran Tuhan dalam menghadapi pengalaman pahit/ sakit/ kematian. Pada bagian ketiga, Barry memperlihatkan kecenderungan manusia untuk merasa tidak berharga di hadapan Tuhan. Di bagian akhir, Barry menunjukkan cara berdiskresi Ignatian agar kita semakin dekat dengan kehendak Tuhan yang sering kali disalahpahami oleh manusia.
Rasa Syukur sebagai Pondasi
Buku yang membahas relasi manusia dengan Tuhan ini pertama-tama menjelaskan bagaimana manusia harus memiliki pondasi yang kuat dalam relasi dengan Tuhan. Yang perlu diwaspadai dalam berelasi dengan Tuhan adalah pola persahabatan yang instan “instant friendship”. Barry mengkritisi anggapan bahwa dengan sekedar mengikuti acara-acara liturgis/ seremonial dapat begitu saja mendekatkan manusia dengan Tuhan. Mengikuti misa setiap minggu tidak menjamin kedekatan kita dengan Tuhan.
Orang yang ingin membangun relasi dengan Tuhan harus berangkat dari pengalaman jatuh cinta pada Tuhan dan ketekunan. Sebuah pondasi berelasi harus dibangun dalam waktu yang cukup lama. Pondasi yang kuat terbangun ketika seseorang mulai meluangkan banyak waktu rutin untuk berjumpa. Dalam hal ini pondasi terbentuk ketika hidup dalam disiplin doa dan menulis buku rohani.
Kita membutuhkan doa untuk membangun relasi dengan Tuhan. Dengan berdoa, kita menanggapi undangan untuk intim dengan Tuhan sehingga Tuhan menunjukkan wajahNya pada kita. Kita berdoa bukan karena alasan untung-rugi, melainkan karena dalam relasi kita dengan Tuhan kita ingin memuji dan bersyukur atas kebaikan Tuhan dalam hidup kita.
Membangun relasi dengan Tuhan berarti setia pada doa. Salah satu model doa yang bisa dilakukan adalah doa syukur. Rasa syukur kepada Tuhan memperkuat pondasi relasi kita dengan Tuhan. Rasa syukur kita semakin memperkuat rasa cinta kita pada Tuhan. Selain itu, rasa syukur juga menjadi tanda relasi timbal-balik antara manusia dan Tuhan.
Dekat dalam Penderitaan
Perjalanan relasi kita dengan Tuhan tentu tidak selalu mulus seperti yang kita harapkan dalam doa-doa kita. Menurut Barry, dalam hidup kita terdapat momen-momen yang menguji pondasi relasi iman kita pada Tuhan. Pengalaman sakit, jatuh miskin, kehilangan pekerjaaan/ nama baik, dan kematian seringkali membuat kita merasa takut dan lupa untuk bersandar pada Tuhan. Padahal ketakutan kita bukanlah apa-apa bila kita beriman pada Tuhan.
Ketakutan muncul ketika kita lekat pada sesuatu yang kita miliki. Kita tidak ingin kehilangan apa yang kita miliki dan lupa bahwa itu semua adalah sarana bagi kita untuk sungguh-sungguh memiliki Tuhan sendiri. Ketika kita terlalu lekat pada rasa aman, nama baik, kesehatan, dan derajat hidup kita, kita tidak dapat menjadi sungguh bahagia. Rasa lekat itu menjauhkan kita dari Tuhan.
Menurut Barry, beriman pada Tuhan berarti melampauhi kelekatan dan ketakutan kita. Yang perlu kita lakukan ketika kita mengalami hal buruk adalah menghayati hidup kontemplatif. Hidup kontemplatif berarti kita sepenuhnya menyadari misteri yang ingin disingkapkan Tuhan lewat pengalaman yang kita alami. Hal ini dapat dilatihkan dengan menyadari perasaan, sensasi inderawi lewat penciuman, suara, pemandangan, dan sentuhan. Latihan sederhana ini memberi ruang dalam diri kita pada Roh Tuhan untuk menyingkapkan dirinya pada kita.
Hal tersebut lebih dahulu dialami oleh Yesus dalam penderitaan salib-Nya. Kesetiaan dan rasa percaya Yesus pada Allah Bapa tidak menghindarkan-Nya dari sengsara salib yang keji. Justru dengan percaya padan Tuhan, penderitaan kita mendapatkan maknanya yang terdalam bahwa menghadapi penderitaan tanpa rasa takut. Hidup yang kontemplatif membantu kita memaknai penderitaan sebagai cara Tuhan menemani kita di saat-saat kritis kita.
Memaknai Penderitaan
William A. Barry memberikan beberapa contoh mengenai orang-orang yang ada dalam kamp konsentrasi Auschwitz. Misalnya, Etty Hillesum seorang keturunan Yahudi yang mati di kamp konsentrasi Auschwitz. Ia menghayati penderitaannya bukan sebagai bentuk ketiadaan Tuhan dalam hidupnya. Dengan menyadari bahwa kematian adalah bagian definitif dari kehidupan ia dapat memaknai hidup dan relasinya dengan Tuhan.
“…by excluding death from our life we cannot live a full life, and by admitting death into our life we enlarge and enrich it.” Etty pun memaknai hidupnya di kamp dengan terus berdialog dengan Tuhan mengenai penderitaan-penderitaan fisik yang ia alami. Bahkan ia mampu membantu teman-temannya memaknai penderitaan mereka dengan mengajarkan doa dan berdialog dengan Tuhan. Pribadi seperti Etty menunjukkan bahwa relasi kita dengan Tuhan tidak selalu diwarnai dengan pengalaman-pengalaman menyenangkan saja. Hal ini tidak otomatis menjauhkan kita dari Tuhan.
Pondasi relasi yang kuat akan menuntun kita untuk terus memaknai hidup sebagai bagian dari kasih Tuhan pada kita. Entah dalam situasi menyenangkan maupun kurang menyenangkan, pondasi relasi yang kuat akan mendorong kita untuk menempatkan pengalaman sehari-hari dalam kerangka Tuhan yang mengasihi kita.
Semoga pondasi relasi kita dengan Tuhan semakin kokoh dan membuat kita tangguh menghadapi berbagai tantangan, bahkan penderitaan sekalipun. Agar kita tidak salah paham dalam menangkap maksud Tuhan dalam hidup kita.
![](http://magis-indonesia.org/wp-content/uploads/2018/11/foto-cavin.png)