Cikarang, 8 Oktober 2019.
Terbentangnya jarak antara Cikarang – Jakarta menjadikan saya tidak dapat menonton film bersama para penganut Ignasian, sehingga saya pun memilih untuk menyaksikan film Joker di Cinemaxx District 1 Meikarta, sepulang dari mencari nafkah. Film yang menimbulkan banyak kontroversi akibat banyaknya adegan kekerasan ini, memiliki kesan tersendiri bagi saya.
Joker menceritakan tentang kehidupan Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), seorang komedian gagal yang mengidap penyakit Pseudobulbar, yaitu tertawa secara tidak terkendali dan berlebihan tanpa sebab. Seumur hidupnya, Arthur merasa dilahirkan untuk membahagiakan dan membuat orang lain tertawa. ”Happy”adalah nama panggilan dari ibunya. Namun, kehidupan malah menertawakannya. Teman kerja yang disangka baik rupanya berkhianat. Ibunya, Penny Fleck (Frances Conroy), ternyata bekas pekerja Thomas Wayne dan memiliki rahasia masa lalu yang kelam. Arthur semakin menggila ketika pembawa acara yang sangat diidolakannya, Murray Franklin (Robert De Niro), mengolok usahanya saat stand up comedy. Perasan marah, sedih, kecewa yang dialami terus-menerus, akhirnya membentuk Arthur menjadi karakter Joker yang sadis dan menyeramkan.
Saya terpukau dengan kemampuan Joaquin Phoenix dalam memerankan dan mandalami karakter Joker. Mulai dari fisik yang sangat kurus hanya tersisa tulang dan kulit, hingga tertawa yang semengerikan itu (sungguh masih terngiang-ngiang di telinga saya). Luar biasa!
Bagian yang paling mengesankan bagi saya dalam film ini adalah saat dimana Arthur merasa dirinya tidak dianggap oleh sekitarnya. Seperti saat berkonsultasi dengan seorang psikiater, Arthur menyadari bahwa sang psikiater tidak menghiraukan apa yang selama ini ia ungkapkan. Begitu juga saat ia tampil melakukan standup comedy di sebuah club, orang-orang tidak memedulikannya.
“Saat kecil, aku berkata kepada orang mau menjadi komedian, semua mentertawakanku. Kini, tidak ada satu pun yang tertawa.”
Sama halnya seperti Joker, perasaan dan pengalaman tersakiti, dikucilkan, atau ekspektasi yang terpatahkan juga pernah saya atau mungkin semua orang alami, meskipun yang saya alami tidak se-ekstrim kisah Arthur. Setelah merenungkannya, saya merasa bercermin pada sosok Joker yaitu saat dimana ayah saya tidak bekerja lagi setelah kerusuhan 1998 sehingga membuat kehidupan keluarga kami penuh dinamika. Saya teringat, saya pernah dipandang rendah ketika menjadi kuli panggul di pasar ketika SMP, bertarung dengan dingin hujan ketika menjadi seorang ojek payung, perasaan ditolak ketika mengamen dari rumah ke rumah, hingga melewati masa-masa perkuliahan dengan bernyanyi dari satu bis ke bis lainnya.
Masa-masa pahit yang tak terhitung banyaknya itu, mungkin bisa menjadikan saya seperti sosok Joker bila saja tidak ada yang menguatkan saya di setiap kesulitan yang saya hadapi kala itu. Ketika SMP, selalu ada ibu yang mengajak saya berdoa bersama, meyakinkan saya bahwa Tuhan selalu baik, bahwa segala kesukaran pasti ada jalan keluar dariNya. Ketika SMA, saya sering diajak oleh ayah pergi dari satu rumah ke rumah lainnya dan mendengarkan banyak kesaksian yang secara tidak langsung menguatkan diri yang penuh kerapuhan dan kelabilan. Juga semasa kuliah, ada KMK yang amat mengerti dan menjaga saya untuk tetap dekat denganNya. Ada juga teman kuliah yang memahami dan memaklumi keadaan saya saat itu. Tuhan Maha Romantis, Ia mengirimkan malaikat penolong lewat pribadi atau keadaan yang ada di sekitar kita.
Pada akhirnya, film Joker ini mengingatkan saya tentang seberapa besar saya menyadari keberadaan Tuhan di sekitar saya. Mampukah saya menyadari pertolonganNya disaat saya mengalami kejatuhan? Juga…sudahkah saya menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong sesama yang mengalami kesulitan?
Bersyukurlah, karena kehidupan adalah pertunjukkan yang menyenangkan.
Gabriel Indripriarko
Arko bekerja sebagai buruh dan juga tengah menyelami dunia perkopian lewat @standarduakopi. Putra Bekasi ini gemar menyeduh kopi, bermusik, kuliner, dan travelling. Pecinta sambal tumpang ini memandang MAGIS sebagai oase ditengah kekeringan iman, dan juga jawaban atas kerinduan pelayanan. Mereka yang menyelamatkan dirinya sendiri, akan kehilangan dirinya. MAGIS Formasi 2018