Tak pernah terbayangkan sebelumnya akhirnya aku mengikuti Live In dalam hidupku. Ini adalah Live In pertama kali yang aku alami dan merasakan tinggal bersama orang lain yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Pengalaman yang tak kan pernah aku lupakan (adalah ketika) akhirnya aku menemukan apa yang aku cari selama ini dalam hidupku. Aku menemukan 3 sosok Tuhan Allahku yang berbeda dalam hidupku saat aku menjalankan Immersion Experiment selama 3 hari.
“Aku akan tetap percaya bahwa Tuhan akan menuntunku menapaki perziarahan hidupku di dunia melalui cara-caraNya yang romantis. Karena Tuhan yang aku kenal adalah Tuhan yang selalu romantis dalam memberikan kejutan-kejutan manis di setiap penggalan kisah hidupku ini”
– Septian Marhenanto SJ
Ketakutan dan Kelekatan
Kelekatan dan ketakutan yang aku hadapi sebelum aku memulai eksperimen membuat diriku ragu-ragu apakah aku akan tetap mengikuti Live In atau tidak. Tempat live in di sekitar TPS dan Pemukiman Nelayan merupakan tempat yang aku hindari karena aku memiliki riwayat medis Demam Berdarah, Tifus, juga TBC, sehingga aku amat sangat berharap tidak tinggal dikawasan tersebut. Hingga sampai dengan malam Pembekalan di Rumah Frater, Johar Baru, aku mengetahui bahwa aku akan menjalankan eksperimenku di kawasan Jakarta Islamic Center bersama dengan ketiga rekanku lainnya yang adalah laki-laki; Richard, Evan, dan Fredo. Ada sedikit kelegaan saat itu, karena aku berpikir bahwa aku akan tinggal di kawasan Pesantren (melihat nama lokasinya dan kami berempat adalah laki-laki) dimana aku akan tinggal dengan mereka yang muslim dalam 1 asrama besar.
Keesokaan harinya, aku dan ketiga rekan seperjuanganku pergi menuju lokasi. Singkat cerita, ketika tiba di lokasi, ternyata aku tidak ditempatkan di kawasan Pesantren, melainkan kawasan pemukiman daerah Koja, Jakarta Utara yang kebanyakan bermatapencarian sebagai Pemulung ataupun Pengamen. Ditambah, kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan ‘gelap’ karena banyak preman dan tempat prostitusi.
Aku pun tinggal bersama dengan Ibu Khodijah. Ibu tinggal bersama dengan Bapak (suaminya) dan empat anak lainnya. Sebenarnya, Ibu memiliki enam orang anak, namun dua anak lainnya sudah menikah dan tidak tinggal serumah dengannya. Saat aku tiba dirumahnya, aku terkejut melihat kondisi rumah Ibu. Rumah itu hanya sebesar satu kamar saja, sekitar 3×4 m dengan berdinding semi tembok dimana di dalamnya sudah terisi kasur, TV, Kulkas, Lemari, dan barang lainnya. Seketika aku pun berpikir “apakah rumah ini cukup untuk ditinggalkan sebanyak enam orang ditambah dengan aku?” Ditambah dengan lokasi rumahnya yang kanan-kirinya penuh dengan tumpukan sampah dan selokan yang tersumbat, hitam, dan berbau. Saat itu juga, ketakutanku kembali muncul, “apakah aku harus tinggal di tempat seperti ini?”
“Dibalik sebuah kesedihan dan ketakutan Tuhan pasti menyimpan kebahagiaan dan kejutan yang terindah. Setelah menanti sebuah kepastian, Tuhan pasti akan memberikan jawaban”
Aku Menemukan Sosok Tuhan Allahku
Banyak kejadian dan peristiwa yang aku alami selama aku tinggal disana. Dimulai dari (ketika) aku berinteraksi dengan mereka (keluarga Live In, warga setempat) hingga pengalaman aku bekerja sebagai pemulung. Aku tahu apa artinya kehidupan. Aku tahu apa artinya bersosialisasi. Dan aku tahu siapakah diriku sebenarnya, sampai akhirnya aku bisa merasakan kehadiran Tuhan dan menemukan sosok Tuhan Allahku dalam rupa-rupa yang berbeda.
- Ibu, seseorang yang sangat memperhatikan diriku selayaknya aku adalah anak kandungnya sendiri. Padahal, aku hanyalah orang asing yang numpang tinggal dengannya. Ia miskin, tidak memiliki apapun. Tetapi, ia dengan tulus tetap mau ‘membukakan pintunya’ untukku yang adalah orang asing. Sesekali, ia membuatkan makan, juga membuatkan teh hangat untukku. Aku melihat ada ketulusan yang mendalam dari dirinya, sosok Ibu yang miskin namun tetap mau mengayomi dan memperhatikanku dengan sepenuh hatinya dari segala kekurangannya. “Nak, Ibu buatkan makan ya,” sebuah kalimat yang sering aku dengar dari mulut Ibu. Aku melihat sosok pribadi Tuhan, Allahku yang miskin dari Ibu, yang tetap setia mengayomi keluarganya bahkan aku yang hanya orang lain, namun ia tidak menganggap aku sebagai orang lain, melainkan seperti anaknya sendiri.
- Adi, salah satu anak laki-laki Ibu yang terlihat dari luarnya seperti preman, dengan wajah yang semrawut dan bertato. Aku melihat dirinya dan menilainya pertama kali sebagai sosok anak laki-laki yang berandalan dan buruk. Aku selalu menghindar dari siapapun yang berpenampilan seperti itu, karena didalam benakku adalah mereka adalah orang yang beretika buruk (karena dari penampilannya). Tak jarang, aku pun masih menilai orang lain dari luarnya saja. Namun, saat aku (mau-tidak mau) mulai mendekatkan diri dengannya, entah kenapa ada perasaan nyaman setiap kali aku berinteraksi dengannya. Kami pun berbicara selayaknya kami adalah kakak-beradik yang sedang bercerita tentang pengalaman hidup kami masing-masing. Aku melihat adanya sebuah mutiara dari dalam dirinya yang tidak aku sangka sebelumnya, sehingga aku selalu mencari dirinya hanya sekedar ingin ngobrol atau bercerita, hal apapun itu. Ada keintiman yang kami jalin saat aku tinggal bersama dengannya. Dan aku melihat sosok pribadi Tuhan, Allahku yang ‘buruk’ dari dirinya; buruk dari penampilannya, namun memberikan kenyamanan yang luar biasa saat aku bercerita dan berbagi pengalaman hidup.
- Selama aku menjalankan proses immersion, aku sering dihadapkan dengan perasaan diriku sendiri. Diriku yang lemah. Saat aku memulung, aku mengeluh karena sampah-sampah yang aku pegang, sampah basah yang terciprat ke badanku, bau-bau yang menyengat, gigitan nyamuk, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketakutanku yang terlintas “gimana kalau nanti aku kena DBD, tifus, dan dirawat di rumah sakit lagi?” Ketakutan itu melemahkan diriku seakan aku tidak sanggup menjalaninya dan ingin menyerah. Namun, aku mencoba berdoa dan memohon rahmat penguatan dari Tuhan agar aku bisa menjalankan ini semua. Karena aku percaya bahwa jika Tuhan yang mengizinkanku untuk mengalami ini semua, berarti ada rencana dariNya yang terbaik untukku. Dan aku merasakan sosok kehadiran Tuhan, Allahku dari diriku yang lemah ini, yang akhirnya menguatkanku untuk tetap percaya kepadaNya akan pengalaman berharga yang telah Ia berikan ini. Banyak kejutan-kejutan kecil dan tak terduga yang aku rasakan selama aku memulung. Contohnya saja ketika aku terciprat sampah basah ke kakiku, aku meminta agar aku bisa menemukan botol bekas yang masih ada airnya hanya sekedar untuk bilas. Benar saja, tak lama aku menemukan 2 botol yang masih terisi air. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat” kutipan ayat alkitab tersebut sungguh nyata dan konkret dalam perjalananku ketika bereksperimen.
Tuhan telah hadir dalam pengalaman hidupku selama aku Live In melalui sosok pribadi dan rupa yang berbeda; Tuhan Allahku yang Miskin, Tuhan Allahku yang ‘Buruk’, Tuhan Allahku yang Lemah, agar aku bisa mencecap kasih dariNya melalui itu semua. Tak pernah terbayangkan bahwa aku akhirnya bisa menghadapi segala ketakutanku untuk mau mengikuti panggilanNya dalam hidupku. Ia telah mengangkat segala ketakutanku dan Ia telah ganti dengan yang baru, (yaitu) sebuah pengalaman yang sungguh luar biasa dalam hidupku. Aku selalu percaya denganNya bahwa apa yang terjadi dalam hidupku adalah seturut kehendakNya dengan cara yang terbaik dariNya, untuk membawa diriku ke suatu tempat yang terbaik dan menjadikannya sebuah pengalaman yang berharga dan bermakna dalam hidupku untuk aku selami.
“Keadaan hati dan pikiran yang melihat Tuhan dalam segala sesuatu adalah bukti dari bertumbuh dalam anugerah dan suatu hati yang bersyukur”
— Charles Finney
Michael Satrio
Rio bekerja sebagai Banker yang menyukai hobi menonton film dan duduk santai di kedai kopi sambil menulis Sebuah Tulisan di blog pribadinya. Saat ini sedang senang membaca buku dan refleksi banyak orang yang menginspirasi. Pecinta pecel lele dan sayur asem. Tergabung dalam Circle Sendal Jepit dari Formasi Magis Jakarta 2018.