Syukur, Sukacita dan Film Keluarga Cemara

Sebagai anak kost yang numpang tinggal di ibukota, weekend biasanya kumanfaatkan untuk pulang ke rumah agar bisa melakukan ‘perbaikan gizi’ dan bertemu dengan orang tuaku yang biasanya tidak kutemui selama beberapa minggu. Tetapi pada Sabtu, 16 Februari 2019 yang lalu kuputuskan untuk menunda kepulanganku karena ingin ikut serta menemani adik-adik Cinta Anak Negeri (CAN) yang mendapatkan undangan nobar film Keluarga Cemara bersama Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). Sehari sebelumnya sudah diumumkan bahwa para kakak pendamping adik-adik CAN diminta untuk berkumpul pukul 06.30 WIB di Susteran, tempat biasa mereka belajar bersama. “Duh, pagi sekali sih kumpulnya, bahkan lebih pagi dari jamku berangkat ke kantor. Hari Sabtu lho, waktunya aku berhibernasi,” batinku yang sempat bikin aku maju mundur agar membatalkan niatku untuk pergi ke sana. Tetapi untungnya keinginan untuk bisa menonton Keluarga Cemara bersama adik-adik CAN dan YKAKI lebih kuat daripada kemalasanku untuk bangun pagi di hari Sabtu.

Dengan menggunakan ojek online, aku menuju ke daerah Duri Kepa, tempat kami berkumpul. Ternyata sesampainya di sana, adik-adik beserta dengan beberapa orang tua yang mengantar sudah datang dan berkumpul didepan susteran. Setelah berbaris sesuai dengan kelompok kelasnya, mengabsen, membagikan name tag dan snack kepada mereka, kami menuju ke tempat Kopaja yang akan membawa kami menuju ke tempat kami nobar, yaitu di Epicentrum Kuningan. Sekitar pukul setengah 8, kopaja yang berisikan kurang lebih 60 orang itu, berangkat menuju ke lokasi nobar. Meskipun harus duduk berdempetan bahkan ada yang kebagian memangku temannya yang lebih kecil, ternyata tidak mengurangi semangat dan keceriaan adik-adik CAN selama di perjalanan. Ada pula yang sempat tertidur karena tak kuat menahan rasa kantuknya. Tak tega melihatnya tertidur dengan kepala terkantuk-kantuk, kusenderkan kepalanya di pinggangku yang kebetulan memang berdiri di sebelahnya. Ketika terbangun, gadis cilik itu tersenyum kepadaku, mengucapkan terima kasih dan sejak saat itu ia tidak mau melepaskan tangannya dari gandengan tanganku dengan alasan takut hilang.

Sesampainya di Epicentrum, kulihat adik-adik semakin antusias dan tak sabar untuk menonton Keluarga Cemara karena bolak balik mereka bertanya “jam berapa kita mulai nontonnya kak?”. Sambil menunggu, beberapa dari mereka ada yang duduk membuat lingkaran dan bermain permainan kotak pos. Ada pula yang berkenalan dengan teman-teman dari YKAKI. Senang sekali rasanya melihat adik-adik tidak menutup diri dan mau berkenalan dengan teman-teman baru dari YKAKI. Meski aku sempat tersentil juga ketika Tiani, gadis cilik yang sejak tadi menggandeng tanganku berbisik kepadaku “kak, kenapa dia duduk di kursi roda?” Kujelaskan kepada gadis kelas 2 SD itu kalau teman baru kita itu sedang sakit dan dokter sedang memintanya untuk beristirahat dan bersantai sejenak di kursi roda itu sehingga ia tidak merasa kelelahan. Masih dengan rasa penasarannya, Tiani bertanya lagi kepadaku “tapi nanti kalau dia udah ga sakit lagi, dia bisa bermain seperti kita lagi kan kak?”. Aku pun tersenyum dan menjawabnya dengan optimis “iya, pasti dong,”.

Sekitar pukul setengah 9, kami sudah duduk di dalam bioskop, dan bersiap untuk menonton Keluarga Cemara yang daritadi sudah kami nantikan. Ternyata tidak hanya CAN yang diundang oleh YKAKI, ada pula teman-teman dari Panti Asuhan Muslimin yang ikut serta nobar Keluarga Cemara dengan kami. Setelah semua anak menempati tempat duduknya, film pun akhirnya diputar. Di awal film, pikiranku sempat memutar kembali memori akan sebuah tontonan favoritku dulu, sebuah sinetron keluarga yang diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto yang sempat hits di era 1996 hingga awal 2000-an. Tak disangka setelah sekitar 20 tahun berlalu, film ini diputar kembali di layar lebar dengan versi yang lebih segar tetapi tidak mengubah kisah legendaris abah, emak dan anak-anaknya. Tak ketinggalan pula ikon keluarga mereka sejak dulu, yaitu rumah sederhana, opak dan becak. Abah yang kala itu selalu diperankan oleh Adi Kurdi selalu menjadi tokoh favoritku dalam Keluarga Cemara. Abah yang terekam di memoriku saat berusia sekitar 8 tahun adalah abah yang baik hati, bijaksana dan dekat dengan keluarganya. Meski sekarang tokoh Abah diperankan oleh sosok baru, yaitu Ringgo Agus Rahman, tenyata tidak mengubah sedikitpun gambaranku tentang Abah yang dulu. Abah tetap menjadi seorang kepala keluarga yang memimpin keluarganya dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ia miliki.

Film ini cukup sederhana tetapi penuh dengan percakapan sehari-hari yang punya makna dan cerita yang indah. Meski tak jarang pula terjadi perbedaan pendapat, apalagi ketika sedang bersama anak-anaknya tetapi keluarga abah selalu punya cerita-cerita seru dan momen hangat yang menebar banyak canda. Konflik yang disajikan dalam film ini pun sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari, namun diseimbangkan dengan adanya sosok Emak dalam film ini. Emak yang selalu setia mendampingi dan membuat Abah bisa bertahan meski dalam keadaan susah sekalipun. Emak yang menjadi penerang bagi keluarga dan tempat bersandar bagi seluruh anggota keluarganya, seperti menjadi sebuah penghangat di tengah konflik yang terjadi. Belum lagi sebuah scene yang paling menyentuhku adalah ketika emak dinyatakan hamil anak ketiga mereka, padahal keluarga mereka sedang dalam keadaan susah. Keluarga mereka membawaku pada permenungan bahwa susah itu tak selalu sedih kok. Tuhan tidak pernah lupa untuk menyelipkan berkat yang besar di saat kita dalam kondisi susah atau menghadapi situasi yang tidak yang kita harapkan, dan itu justru membawa rasa syukur dan kebahagiaan tersendiri bagi kita.

Kuakui film berdurasi 110 menit ini cukup menguras emosiku dan penonton lainnya, tetapi tak mengurangi rasa kagumku pada film ini, yang sangat mengedepankan nilai moral sebuah keluarga. Menerima, memaafkan, dan mengasihi bagaimanapun keadaannya karena satu sama lain menjadi tanggung jawab satu sama lain di dalam keluarga. Pada akhirnya, benar apa yang dari dulu disampaikan oleh soundtrack film ini bukan bahwa “harta yang paling berharga adalah keluarga”? 

Kegiatan nobar yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan dalam rangka memperingati Hari Kanker Anak Sedunia yang jatuh setiap tanggal 15 Februari itu pun ditutup dengan foto bersama. Melihat wajah setiap orang yang hadir bergembira, membawa kebahagiaan tersendiri untukku. Semoga mereka yang sedang berjuang melawan sakitnya, tidak pernah kehilangan semangat dan kita yang diberikan kesehatan juga bisa selalu membawa semangat bagi orang-orang di sekeliling kita. Tak kusangka, sedikit saja waktuku yang kuberikan untuk mereka tetapi justru aku bisa membawa pulang sukacita dan rasa syukur yang begitu besar.



Marcia Rosyati Mumpuni

Oci adalah seorang pekerja kantoran di Jakarta, yang menyukai traveling dan merantau demi melihat dunia dari jendela yang berbeda. Merasa bersyukur karena menjawab undanganNya untuk bergabung dengan MAGIS Formasi 2018 sehingga menemukanNya kembali sebagai Sahabat.


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *