SILENCE (2016)
Genre : Drama, Sejarah, Petualangan
Bintang : Andrew Garfield, Adam Driver, Liam Neeson
Sutradara : Martin Scorsese
Tahun Rilis : 2016
Film Silence menceritakan kisah dua misionaris Katolik bernama Sebastião Rodrigues (Andrew Garfield) dan Francisco Garupe (Adam Driver) dari Portugal yang berangkat ke Jepang dengan misi mencari mentor mereka, Cristóvão Ferreira (Liam Neeson) yang hilang. Setting film Silence ini mengajak kita untuk kembali ke abad 17 dan merasakan sulitnya para misionaris dan umat Kristiani bertahan hidup pada saat itu. Kristen dilarang keras penyebarannya oleh pemerintah Jepang dan penganutnya dipaksa untuk menyangkal keyakinannya. Namun ternyata yang harus dihadapi oleh dua misionaris muda ini jauh lebih berat dari segala kemungkinan yang dapat mereka bayangkan sebelum keberangkatannya.
Overall menurutku, Silence adalah film yang menarik untuk ditonton lebih dari sekali dan diselami lebih lanjut. Perasaan yang paling mendominasi setelah menonton Silence adalah rasa syukur. Sadarkah kita walaupun kita memang masih minoritas di negeri ini, setidaknya kita bebas meyakini Tuhan kita dan mengikuti misa serta acara keagamaan lainnya dengan bebas. Betapa bahagianya kita sekarang, tidak perlu mempertaruhkan keselamatan dan nyawa untuk meyakini apa yang kita yakini.
Menurutku, tengah pertama film ini sangat mengharukan, terutama tentang penggambaran martir. Bagaimana para penganut Kristus dilecehkan, disiksa, dan dibunuh. Penderitaan seperti apa yang mereka rasakan saat menjemput ajalnya? Diikat berhari-hari di atas kayu salib, tanpa makanan, tanpa tempat teduh, diterjang ombak hingga meninggal. Lantas apakah mereka yang merenggang nyawa demi Tuhan dan keyakinannya tetap percaya bahwa keyakinannya itu benar adanya? Bagaimana pula dengan keluarga yang mereka tinggalkan? Tidakkah mereka meragukan keyakinannya? Ada begitu banyak pergumulan batin dan keraguan yang disajikan dalam keheningan total, sesuai dengan judulnya Silence. Intelektualitas dan emosi penonton benar-benar ditantang dalam film yang berdurasi 161 menit ini.
Pendosa yang Dicintai
Tentu ada satu sosok yang tidak dapat kita lupakan begitu saja di dalam film ini, Kichijiro. Karakternya yang jenaka berhasil menghibur penonton di tengah film yang serius ini, tapi di balik kejenakaannya, terdapat peranan yang sangat penting. Tidakkah kita merasa Kichijiro mencerminkan diri kita sendiri? Yang percaya pada Tuhan saat kehidupan berjalan mulus, tapi melupakan Tuhan begitu ada tantangan yang besar di depan mata. Ketika hidup kembali bersahabat, kita mulai merasakan kekosongan lagi dan sibuk berlari kembali pada-Nya. Karakter yang sangat manusiawi. Karakter yang aku yakin tidak hanya membuat diriku tersentil, namun juga banyak orang.
Di akhir ceritanya, pada saat tentara Jepang menemukan gambar religius di dalam liontinnya dan dia digiring pergi di masa tuanya, ada sebagian egoku yang ingin menyimpulkan bahwa untuk terakhir kalinya, Kichijiro memilih untuk berani memeluk keyakinannya. Bagiku, sikapnya yang selalu menyangkal namun terus kembali pada Tuhan itu cukup untuk membuktikan bahwa dalam hatinya, ada Tuhan. Kichijiro persis golongan manusia yang kedua, dia digambarkan ingin melepaskan ketakutannya untuk menjadi pengikut Tuhan, namun tidak berani memberikan dirinya sepenuhnya. Dia yakin dengan syarat, dia terus bernegosiasi dengan Tuhan. Tuhan, jika mempercayaimu dapat mencelakakan diriku, maka aku tidak percaya padamu. Namun jika berlaku sebaliknya, maka aku percaya.
Injak atau Tidak?
Tentang menginjak gambar religius dan menghina Bunda Maria, jika itu benar terjadi di masa sekarang ini, akankah kita melakukannya? Pasti berat. Apalagi pada saat yang bersamaan, pemuka agama yang kita yakini memberikan dua jenis jawaban yang berbeda pula, seperti Rodrigues yang menyarankan injak saja dan Garupe yang melarangnya. Akankah Tuhan menghukum umat-Nya karena menginjak salib? Ataukah Tuhan akan menolong umat-Nya dan menyarankan untuk injak saja? Jujur, bagian dari seluruh film Silence yang membuatku paling terkejut adalah suara Tuhan yang menyarankan Rodrigues untuk menginjak-Nya saja. Betapa besar kasih-Nya. Betapa berat pula bagi Rodrigues yang sudah mendedikasikan seumur hidupnya untuk Tuhan akhirnya harus menginjak keyakinannya, menghina Tuhannya. Bahkan ketika semua itu dia lakukan bukan demi dirinya sendiri, melainkan untuk menyelamatkan orang lain.
Ya, cinta-Nya begitu besar, Tuhan kita sangat toleran. Justru karena cinta-Nya yang besar itu pula, maka Ferreira dan Rodrigues walaupun harus menyangkal keyakinannya dengan menginjak gambar religius setiap tahun, tetap mampu mempertahankan imannya secara diam-diam. Lagi-lagi egoku meyakinkanku, setidaknya selama puluhan tahun hidupnya di Jepang, Rodrigues berhasil mengkristenkan minimal 2 orang, Kichijiro dan istri yang dipaksakan oleh Gubernur Inoue untuk Rodrigues. Jika tidak, tidak mungkin istrinya menjatuhkan ukiran salib kecil yang selalu dibawa oleh Rodrigues ke dalam peti jenazahnya sesaat sebelum dia dikremasi secara Buddha.
Keheningan Allah
Yang mengusikku beberapa saat setelah menonton film Silence adalah kenapa Ferreira dan Rodrigues memilih untuk tetap tinggal di Jepang dan dikenal sebagai orang yang mengkhianati Tuhan sepanjang sisa hidupnya? Jika mereka memang sangat mencintai Tuhan, kenapa tidak mengambil jalan sulit seperti yang sudah ditempuh martir lainnya? Bukankah hidup dengan menyangkal diri, menyangkal Tuhan, dan bertopeng itu jauh lebih berat dan melelahkan?
Yang paling kusuka dari Silence adalah penyajian ending yang terbuka bagi penonton untuk menebak dan menulis akhir ceritanya sendiri. Akhir cerita yang kurangkai untuk film ini adalah Ferreira dan Rodrigues bukannya tidak mau mengambil jalan sulit seperti martir lainnya, tapi mereka memilih untuk mengambil jalan yang jauh lebih sulit. Bagi mereka yang background agamanya lebih kuat, bukankah hidup seperti pecundang adalah jalan yang paling sulit yang dapat mereka bayangkan? Mereka memilih untuk memikul salibnya masing-masing. Ya, pasti tidak mudah, namun hidup sebagai seorang Kristiani memang tidak pernah mudah. Pilihan yang dihadapi bukan lagi antara baik dan buruk, melainkan antara yang baik dan lebih baik. Keyakinan yang kuat dan cinta Tuhan yang besar itulah yang menopang mereka untuk tidak menyerah begitu saja dan tetap meyakini Tuhan di balik topengnya hingga akhir hayat. Toh pada akhirnya, di dalam segala keheningan duniawi, mereka tahu, Tuhan senantiasa menemani mereka dan menanggung beban bersama jiwa mereka. (SL)
