Oleh: Frederick Ray Popo, S.J.
Kamu mau apa? Kamu mau makan apa? Kamu mau hadiah apa? Kamu mau ke mana? Kamu mau menjadi apa? Menjadi kaya? Bekerja di perusahaan terkenal? Memenangkan suatu perlombaan? Menikah dengan perempuan yang telah dengan susah payah kau kejar? Apa yang kamu idam-idamkan, cita-citakan, impikan, dambakan, harapkan?
Lapis Pertama: Apa yang Kuinginkan?
Sadar atau tidak, pertanyaan-pertanyaan di atas selalu bergema dalam keseharian kita. Itulah yang dinamai sebagai desire, hasrat, atau dambaan. Desire sangatlah penting bagi manusia karena itulah yang membuatnya benar-benar hidup. Dengan adanya desire, dari kedalaman batinnya, manusia memiliki bahan bakar yang memengaruhi caranya memandang, bertindak, memilih dan memutuskan banyak hal sehingga ia tidak asal hidup begitu saja.
Menemukan desire dalam hidup adalah perkara yang mudah. Cermatilah saja hobi-hobimu, apa yang kamu cintai, apa yang membuatmu merasa tertarik dengan sesuatu, apa yang ingin kaulakukan terus-menerus dan darinya kamu merasa hidupmu sungguh berharga. Lihatlah pula kekurangan atau kekosongan dalam hidupmu dan bagaimana kamu ingin mengisinya. Di sanalah desire tampak paling nyata. Setiap dari kita memiliki desire yang unik tergantung dengan guratan sejarah hidup kita.
Dalam novel The Alchemist, Paulo Coelho melukiskan desire melalui potongan kisah ketika Santiago (seorang gembala, tokoh utama) bercakap-cakap dengan pedangan kristal yang mempekerjakan. Pedagang kristal itu bermimpi untuk suatu saat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Santiago tahu bahwa pedagang itu sudah memiliki uang yang cukup untuk pergi ke Mekkah, dan ia bertanya-tanya mengapa pedagan itu tak kunjung pergi. Pedagang itu berkata kepada Santiago, “Pikiran untuk suatu saat dapat pergi ke Mekkah-lah yang membuatku tetap hidup. Membantuku menghadapi hari-hariku yang biasa-biasa saja, di antara kebisuan kristal-kristal. Aku takut jika impian itu terwujud, aku tidak punya alasan apa pun untuk tetap hidup.” Sungguh, hasrat itu dapat menjadi energi.
Lapis Kedua: Apa yang Kuinginkan dari Tuhan?
Santo Ignasius juga melihat betapa berharganya desire. Akan tetapi, ia membawanya ke tataran yang lebih mendalam, yakni sebagai sarana kita berjumpa dengan Tuhan. Ignasius yakin bahwa Tuhan telah menanamkan desire dalam hati setiap orang.
Dalam Latihan Rohani, Ignasius memulai setiap bahan latihan doa dengan mengajak retretan untuk “Mohon kepada Allah Tuhan kita apa yang kukehendaki dan kuinginkan.” (LR 48) Inilah saat di mana kita menamai desire kita, apa yang kuinginkan dari Tuhan? “Mungkin, mengungkapkan apa yang benar-benar saya inginkan dari Tuhan juga dapat menjadi persiapan batin saya untuk membuka pintu bagi Tuhan untuk masuk ke dalam area tertentu hidup saya.” (David Flemming SJ)
Apa yang perlu kuinginkan dari Tuhan? Apa pun yang engkau inginkan agar Tuhan lakukan dalam hidupmu. Hal itu bisa berupa kerinduan hati untuk merasakan keadilan, kehidupan yang bahagia, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Ignasius bahkan memberikan kesempatan bagi retretan Latihan Rohani untuk memohonkan keinginan-keinginan yang tampaknya janggal; mohon rahmat air mata, mohon kesusahan penderitaan bersama Kristus, dan sebagainya.
Bagaimana aku tahu apa yang perlu kuinginkan dari Tuhan? Mungkin pengetahuan akan apa yang perlu kuingini juga bisa menjadi sebuah desire yang dimohonkan. “Tuhan aku ingin tahu apa yang harus kumohon dari-Mu.” Yang terutama adalah dialog yang terjadi, bagaimana seseorang bisa jujur untuk mengkomunikasikan pada Tuhan desire yang ada dalam dirinya.
Berhati-hatilah, tidak jarang Tuhan mengabulkan apa yang kita mohonkan. Mungkin sudah ada yang pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda yang dipersilakan Tuhan mengajukan 3 permintaan kepada-Nya. Pemuda itu berkata, “Aku mau tinggal di sebuah pulau yang indah.” Dan Tuhan berkata, “Baiklah.” Seketika pemuda itu mendapati dirinya sudah berada di sebuah pulau yang indah. Tuhan lalu bertanya mengenai permintaan kedua si pemuda. Maka pemuda itu berkata, “Aku mau menjadi orang kaya dengan rumah yang besar di pulau ini.” Tuhan menyetujuinya, “Baiklah. Terjadilah seperti yang kau minta. Yang ketiga?” “Tuhan aku mau perempuan terbaik untuk menemaniku di pulau ini.” Sementara pemuda itu asyik membayang-bayangkan dirinya ditemani oleh seorang aktris perempuan terkenal, Tuhan memberinya perempuan yang terbaik—Bunda Teresa dari Kalkuta.
Lapis Ketiga: Apa yang Tuhan Kehendaki Dariku?
Lebih sering dambaan-dambaan kita tidak terpenuhi. Hasrat kita bisa padam karena lelah menanti. Dari sana tampak jelas bahwa Tuhan bukanlah jin Alladin yang bisa langsung menyulap dan menghadirkan apa yang kita inginkan dengan seketika. Begitu desire dilihat sebagai sarana untuk berjumpa dengan Tuhan, desire tidak berhenti pada hal-hal yang kuinginkan dan kusenangi saja. Kita diundang untuk menyadari bahwa ada desire yang lebih dalam lagi, yakni sesuatu yang berasal dari Tuhan sendiri.
Deepest desire kita adalah kerinduan/ kehendak Allah bagi kita. Kerinduan-Nya tak lain adalah bagaimana sebenarnya kita dapat berelasi dengan-Nya, memiliki pengalaman akan Dia, dan mengarahkan desire-desire lain dalam diri kita untuk memuji-menghormati-mengabdi-Nya. Apa pun yang kita dambakan dan rindukan selayaknya sejalan dengan Asas dan Dasar hidup kita sebagai ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, memenuhi desire menjadi seni untuk merajut harmoni di antara apa yang kukehendaki dan apa yang Tuhan kehendaki dariku. Tentu, agar bisa mencapai harmoni tersebut dibutuhkan proses dan waktu pematangan melalui refleksi, discernment, dan doa. Selain itu, kita juga perlu untuk akrab dengan teks Kitab Suci karena di sanalah Tuhan dengan terang-terangan mewahyukan kehendak-Nya. Harapannya, setiap orang bisa dengan merdeka mengejar apa pun yang dia inginkan karena relasinya yang semakin dalam dengan Tuhan.
Ujung-ujungnya, apa yang engkau inginkan adalah keinginan Tuhan juga. Sebaliknya, apa yang Tuhan kehendaki jugalah apa yang engkau kehendaki. Dengan demikian, desire kita dapat menjadi alat Tuhan untuk menuntun hidup kita.
Tidak mengherankan bahwa dalam setiap Latihan Rohani, Ignasius memberikan doa persiapan bagi para retretan sebagai berikut: “Mohon rahmat supaya semua maksud, perbuatan dan pekerjaanku diarahkan melulu guna pengabdian dan pujian kepada Allah yang Mahaagung.” (LR 46)
Penutup: Ingin untuk Ingin
Meskipun demikian, tidak bisa disangkal bahwa kehendak Tuhan mampu mengejutkan dan tidak selalu membuat kita nyaman. Bisa jadi kita diminta mengubah cara hidup tertentu yang sulit diubah, menerima kenyataan pahit, melalukan sesuatu yang jauh di luar angan-angan kita, atau pergi ke tempat jauh terpencil yang tidak dikehendaki. Saran yang berguna dari Ignasius: Kamu mungkin belum menginginkan hal itu. Akan tetapi, kamu bisa memiliki keinginan untuk menginginkannya.
Tips tersebut dituliskannya dalam Konstitusi Serikat Yesus. Di nomor [101], Ignasius memberikan gambaran ideal seorang Yesuit sebagai pribadi yang “… secara bulat menolak segala yang dicari dan dipentingkan oleh dunia, serta mencari dan menginginkan dengan segenap tenanga apa yang dicari dan dipentingkan oleh Kristus… ingin mengalami hujatan, kesaksian palsu dan ketidakadilan, serta dianggap dan disebut gila… oleh karena, mereka ingin serupa dengan serta meniru Yesus.” Isi teks tersebut tampak begitu ideal dan terkesan terlalu tinggi untuk bisa digapai.
Akan tetapi, Ignasius menulis di nomor berikutnya [102], “Bila seorang karena kelemahan dan kekecilan hati… tidak mengalami dalam dirinya keinginan-keinginan semacam ini… hendaknya ia ditanya apakah setidak-tidaknya ia mempunyai keinginan untuk mempunyai keinginan-keinginan yang sedemikian suci itu.” Pesannya jelas, lebih baik ingin untuk ingin daripada tidak menginginkannya sama-sekali. Jika sudah memiliki keinginan untuk ingin, masih ada peluang untuk bisa berjuang menggapai apa yang diingini.
Ambil contoh lain dari kisah pemuda saleh dan kaya yang diminta Yesus menjual seluruh harta miliknya (bdk. Mat 19:16-26). Pemuda kaya ini sedih, pulang, dan tidak jadi mengikuti Yesus. Coba bayangkan, apabila ia tidak segera pulang dan berkata pada Yesus, “Tuhan, permintaanmu sulit. Harta saya banyak. Akan tetapi, aku ingin untuk mengingini apa yang Engkau kehendaki. Bantulah aku, bagaimana caranya?” Kisah itu mungkin akan memiliki akhir yang berbeda.
Pertanyaan Reflektif:
• Apa desire-ku yang terkuat? Apa desire-ku terhadap Tuhan?
• Bagaimana aku menata harmoni deepest desire-ku (kehendak Tuhan atas diriku)?
• Adakah desire yang ingin untuk kuingini?
Referensi Penulis:
Coutinho, Paul. Just as You Are.
Flemming, David L. Draw Me into Your Friendship.
Barry, William A. A Friendship Like No Other

Frederick Ray Popo SJ