Kisah Kemartiran Fr. Richie Fernando, S.J.
“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
(Yoh 15:13)
Richard Michael Fernando, S.J. adalah seorang Yesuit asal Filipina. Oleh orang-orang yang mengenalnya, ia biasa dipanggil Richie. Richie bergabung dengan Serikat Yesus pada tanggal 30 Mei 1990. Ibunya bercerita bahwa semalam sebelum Richie memulai masa novisiat, ia berkata kepada ibunya, “Ibu, ketika Ibu menyerahkanku kepada Serikat besok pagi, ingatlah bahwa aku tidak lagi menjadi anakmu. Aku akan menjadi milik Serikat Yesus.”
Frater Richie kemudian memulai masa pendidikannya menjadi seorang imam Yesuit. Sesudah menyelesaikan masa novisiat dan studi Filsafat, Frater Richie diutus untuk menjalani Tahap Orientasi Kerasulan (TOKer) di Kamboja. Di negara yang hancur akibat perang sipil ini, Richie diutus untuk berkarya di sekolah teknik Banteay Prieb. Murid-murid sekolah ini sebagian besar adalah orang-orang difabel, yang menjadi korban ranjau darat. Di sekolah ini, mereka diberikan ketrampilan-ketrampilan, yang membantu mereka untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Dalam waktu singkat, Frater Richie menjalin relasi yang akrab dengan murid-muridnya. Ia dikenal sebagai orang yang ramah, bersahabat, dan menyenangkan. Murid-muridnya dapat dengan mudah datang kepadanya, dan berbagi pengalaman hidup dengan dia. Pengalaman bersama orang-orang juga menyentuh hati Frater Richie. Dalam sebuah surat pribadi kepada temannya, Frater Richie menulis,
“Mungkin ini terdengar agak janggal. Terakhir kali aku menulis tentang pengalamanku berjalan melampaui semua bayangan-bayanganku mengikuti tuntunan Tuhan. Sekarang, semuanya menjadi lebih serius. Aku mulai merasa terlibat dan tersentuh, bukan hanya oleh pekerjaan di sini, tetapi lebih dari itu, oleh kehidupan orang-orang di sini, khususnya murid-murid kami yang difabel. Aku belum pernah merasa begitu tersentuh. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi aku mencoba sebisaku untuk menolong mereka, dan tiba-tiba, aku merasakan cinta yang begitu besar untuk mereka. Seandainya saja aku bisa mengikuti jalan Kristus; seandainya saja aku bisa menolong mereka seperti Tuhan. Tolong doakan aku. Aku berterima kasih kepada Tuhan atas murid-murid ini, karena mereka telah memunculkan hal-hal yang terbaik dari dalam diriku. Aku berharap aku dapat memberikan hidupku sepenuh-penuhnya bagi mereka.”
Salah seorang murid Frater Richie bernama Sarom. Sarom kehilangan kedua orang tuanya pada saat rezim Pol Pot berkuasa dan melakukan pembantaian di mana-mana. Ia sangat miskin, dan pada usia 16 tahun sudah menjadi seorang tentara. Latar belakangnya ini membuatnya menjadi seorang pribadi yang tidak mudah diterima di sekolahnya.
Suatu pagi, pada tanggal 17 Oktober 1996, Frater Richie, bersama beberapa staf sekolah tersebut, memanggil Sarom. Pihak sekolah merasa bahwa Sarom sudah diberi begitu banyak kesempatan dan peringatan, tetapi sikapnya tidak kunjung berubah. Oleh karena itu, pihak sekolah memutuskan bahwa Sarom sudah mempunyai cukup ketrampilan untuk bisa menunjang hidupnya. Ia akan diberikan sertifikat, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk datang ke sekolah sampai hari kelulusan. Awalnya, Sarom tampak bisa menerima keputusan pihak sekolah ini.
Tetapi, tiba-tiba, Sarom kehilangan kendali lalu mengeluarkan sebuah granat tangan yang ia simpan di dalam tasnya. Ia lalu berlari mendekati sebuah ruangan kelas yang penuh dengan murid-murid. Mereka tidak bisa melarikan diri karena jendela-jendela di ruangan itu tertutup rapat. Semua yang berada di situ menjadi panik dan ketakutan.
Melihat bahwa Sarom sudah berdiri di koridor depan kelas, Frater Richie segera berlari dan merangkul Sarom dari belakang. Sarom berusaha melepaskan dirinya dan berkata, “Lepaskan aku, Guru. Aku tidak mau membunuhmu.” Tetapi, Frater Richie tetap mendekap Sarom, dan tiba-tiba, granat yang dipegang Sarom terjatuh ke belakang tubuh Frater Richie, dan meledak. Dalam sekejap, Frater Richie tewas. Dengan tubuhnya, ia melindungi Sarom dan murid-murid, yang begitu dicintainya itu.
Kematian Frater Richie begitu mengejutkan semua orang yang mengenal dia. Ketika jenazahnya disemayamkan, semua muridnya duduk mengelilingi jasadnya dan menangis meratapi kepergiannya. Frater Richie memang memiliki cinta yang begitu besar kepada murid-muridnya. Dalam surat terakhirnya, yang ditulis empat hari sebelum kematiannya, Richie mengungkapkan isi hatinya ini kepada seorang temannya:
“Aku adalah seorang Yesuit dan aku tahu di mana hatiku berada. Hatiku berada bersama Yesus Kristus, yang memberikan semuanya kepada orang-orang yang miskin, sakit, yatim piatu. Aku merasa aku mulai lebih bisa memahami ketika aku berkata, ‘Aku ingin menjadi seperti Kristus. Aku akan mengikuti Yesus. Aku adalah seorang sahabat Yesus. Aku adalah seorang Yesuit dan aku tahu di mana hatiku berada.”
“Aku percaya Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya, yakni saudara-saudari kita yang difabel. Dan aku lega bahwa Tuhan sudi memakaiku untuk memastikan bahwa mereka ini yakin akan kasih Tuhan ini. Aku yakin bahwa ini adalah panggilan dan perutusanku.”
Frater Richie begitu meyakini bahwa ia dipanggil oleh Tuhan untuk mencintai dan melayani murid-muridnya. Ketika murid-muridnya itu berada dalam bahaya kematian, ia membuktikan cintanya kepada mereka dengan memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya itu.
Menurut seorang temannya, pengorbanan Frater Richie ini sudah menjadi bagian dari jatidirinya sebagai seorang pelayan. Sejak bergabung dengan Serikat Yesus, Frater Richie dikenal sebagai orang yang begitu murah hati dan ringan tangan. Sebagai seorang Yesuit, ia sungguh menghayati ajakan St. Ignasius Loyola untuk mencintai dan melayani dalam segala hal (en todo amar y servir). Kesungguhan niatnya ini terungkap dalam sebuah doa, yang ditulisnya ketika menjalani retret pada awal tahun 1996.
Aku berharap,
ketika aku mati,
orang-orang mengingatku
bukan karena aku ini hebat,
penuh kuasa atau talenta.Tetapi,
karena aku menjadi seorang pelayan
dan berbicara tentang kebenaran;
karena aku memberi kesaksian tentang kebenaran,
karena aku tulus
dalam semua pekerjaan
dan tindakanku.
Dengan kata lain,
karena aku mencintai dan mengikuti Kristus.
Frater Richie mencintai dan mengikuti Kristus sampai kepada kesudahannya. Sekarang, meskipun ia sudah tidak lagi hidup di dunia ini, semangat dan pengorbanannya terus menjadi inspirasi, yang menyalakan api dalam diri orang-orang yang mendengar kisah kemartirannya. Bagi mereka, Frater Richie tetap hidup dalam hati mereka.
Frater Richie tentunya juga tetap hidup dalam diri Sarom. Ketika dikunjungi di penjara, Sarom mengungkapkan penyesalannya: “Aku tidak berniat membunuhnya. Frater Richie adalah temanku. Ia makan nasi bersamaku.” Dengan bantuan orang-orang yang mengunjunginya, Sarom kemudian menulis surat untuk meminta maaf kepada teman-teman sekelasnya, dan terlebih, kepada orang tua Frater Richie.
Permohonan maaf ini diterima oleh orang tua Frater Richie. Mereka bisa memahami latar belakang Sarom, dan mereka tidak hanya memberikan pengampunan kepadanya. Setahun sesudah kematian Frater Richie, mereka menulis surat kepada Raja Kamboja, Norodom Sihanouk, meminta agar Sarom dibebaskan dari penjara. Orang tua Frater Richie sadar bahwa Sarom pun adalah korban dari perang sipil, yang telah menghancurkan hidupnya, dan ia berhak mendapat kesempatan untuk memulai kembali hidupnya. Kita tentu boleh yakin bahwa kasih yang begitu besar dari Frater Richie dan orang tuanya ini akan terus hidup dalam diri Sarom.

H. Anggga Indraswara, SJ