Sebuah Perjalanan Mengalami Cinta Allah

Saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa dengan berjalan kaki sejauh 70 km dari
Kalasan menuju Goa Maria Tritis, Gunungkidul. Tanpa membawa bekal uang ataupun
makanan, tanpa alat komunikasi, selepas bebas mungkin. Sebelum berjalan saya membuat
beberapa komitmen, untuk cukup membawa 800 ml air putih, untuk cukup makan sekali
sehari, untuk menetapkan waktu saya berdoa, silentium, minta makan, examen, dan minta
bermalam.
* Sebuah persimpangan jalan*
Saya mendapat peta perjalanan yang harus dilalui selama 3 hari 2 malam. Hari
pertama saya memulai berjalan kaki dari Kalasan melewati desa Berbah, tibalah saya pada
sebuah persimpangan jalan. Disitu terdapat plang dengan tulisan (lurus ke Imogiri, belok
kanan ke Pleret). Sangat jelas di peta, saya harus melewati kantor kecamatan Pleret,
dilanjutkan ke Kebon Agung, Imogiri. Tentu akan lebih cepat ke tujuan bila saya memilih
lurus ke Imogiri, tidak perlu jalan memutar jauh. Saya melakukan diskresi, apakah target dan
goals saya? Tujuan saya adalah Goa Maria dan goals saya adalah penaklukan diri dan
pengalaman cinta Allah. Akhirnya saya memutuskan untuk belok kanan menuju Pleret.
Perasaan saya sepanjang perjalanan itu penuh keraguan. Apa iya jalan ini membawa saya ke
tujuan? Masih sejauh apa? Mengapa berkilo-kilo saya berjalan masih belum menemukan
petunjuk? Ternyata untuk setia pada proses adalah hal yang sangat sulit. Untuk setia pada
komitmen mengikuti Kristus di jalan bebatuan dan terjal itu tidak mudah.
* Kelekatan adalah beban perjalanan*
Siang itu cuaca sangat panas, jalan saya mulai sempoyongan. Beban tas di pundak
terasa semakin berat. Saya menimbang-nimbang seandainya saja ada sesuatu yang bisa saya
tinggalkan, pasti akan lebih ringan. Disitu saya sadar bahwa mengikuti Kristus, saya harus
melepaskan segala kelekatan, agar ringan langkah kaki saya mengikuti Dia. Saat meminta
makanan pun, saya harus menanggalkan ego dan mungkin harga diri saya untuk meminta
sebungkus nasi dari orang lain. Sejenak saya flash back di kehidupan normal saya di jakarta,
untuk makan saja bisa memilih lauk, bisa memilih minuman. Kali ini, nasi putih dan air
putih pemberian orang lain adalah sesuatu berharga yang membuat saya bisa melanjutkan
hidup.
* Kenyamanan semu dan ketakutan tak berdasar*
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 ketika saya melewati koramil Imogiri. Di
depannya ada kuburan. Saya tadinya ingin mampir dan mungkin bermalam disana, tetapi
ragu dan lalu melanjutkan perjalanan, dengan harapan akan menemukan sebuah rumah
warga. Matahari mulai terbenam dan saya harus segera bermalam. Di depan serba
ketidakpastian, antara hutan atau ada rumah warga. Saya mampir ke sebuah rumah,
menunggu sang empunya rumah selesai sholat. Sambil mengunyah nasi putih yang sempat
saya minta di perjalanan tadi, perasaan saya mulai ketakutan. Hari sudah mulai gelap dan
rumah-rumah sudah ditutup pintunya. Tibalah saatnya warga selesai sholat, dan saya
beranikan diri untuk meminta bermalam. Ternyata warga justru mengarahkan saya ke ketua
RT, atau ke koramil yang saya lewati tadi. Secara tidak langsung, mereka menolak saya.
Dengan tubuh yang lelah saya akhirnya berjalan balik sekitar 200 m ke koramil. Dengan
menyerahkan KTP, mereka menerima saya bermalam. Saya diberi kamar yang sudah lama
tidak dipakai, yang letaknya di belakang dekat kebon dan tidak ada lampunya. Dengan
beralaskan tikar saya tidur disitu. Batas kenyamanan saya sudah hilang karena lelah.
Sebaliknya saya merasa melalui orang ini, Tuhan menjaga saya agar tidak kedinginan
ataupun kehujanan di luar dan bisa tidur dengan aman. Keesokan harinya pukul 05.00, saya
harus mandi karena tubuh sudah gatal-gatal. Untuk menuju ke kamar mandi pun mesti lewat
kebon, dan tidak ada lampu di kamar mandi itu, sehingga saya mandi ditemani senter. Dalam
kehidupan normal saya, tidur saja harus pakai lampu, kali ini saya mandi hanya dengan
lampu senter, di tengah kebon pula. Tapi saya melampaui ketakutan tak berdasar itu, demi
supaya bisa mandi.
* Bagai tanjakan tak berujung dan turunan tanpa batas, masihkah keyakinan itu ada?*
Hari kedua tibalah saya di jalan Siluk – Panggang, yang adalah jalan terberat karena
terjal, penuh lika-liku, tanjakan-turunan, kanan-kiri hutan jati dan gunung bebatuan kapur,
ditambah panasnya terik matahari. Truk saja kalau lewat tanjakan mesti gas pol. Perasaan
saya penuh keraguan. Akankah saya bisa tiba di Goa Maria besok? Dimana saya akan berada
saat matahari tenggelam nanti? Akankah masih di tengah hutan jati dan bebatuan kapur
seperti ini? Semua pertanyaan itu muncul di benak saya seketika, dan saya berpasrah. Tiba-
tiba, ada sebuah truk pasir yang lewat dan dibelakangnya ada tulisan “Sing Penting Yakin”.
Wah ini, saya berasa ditampaarr sama Tuhan. Tulisan itu cukup membuat saya semangat lagi
melanjutkan perjalanan. Tuhan telah menyapa saya.
* Munus Suavissimum – sebuah berkat yang manis*
Selama 2 hari perjalanan, saya dapat makan nasi sekali sehari. Hari pertama, nasi dan
sayur daun pepaya. Hari kedua, nasi dan tempe mendoan. Itu adalah makanan yang paling
nikmat yang pernah saya makan. Bukan karena gratisnya, tetapi karena saya sungguh
mengecap cinta Tuhan di dalamnya. Malam di hari kedua, saya kembali ditolak kakek dan
nenek untuk bermalam di rumahnya, dan diarahkan ke rumah ketua RW. Lalu bergegas saya
ke rumah ketua RW karena waktu sudah pukul 17.00, dan menurut saya, di depan hanya
hutan jati dan bebatuan kapur. Puji Tuhan, tanpa diminta KTP, saya boleh bermalam disana.
Hanya sedikit diwawancarai saja. Saya mendapatkan makan malam, nasi dengan sayur gori
dan lauk tahu goreng. Saya mendapat kamar tidur yang layak dengan kasur. Saya bisa mandi
gebyur sebebasnya di kamar mandi. Bahkan pak RW membuatkan ramuan air daun sirih
untuk mengurangi sakit kaki saya. Tuhan hadir melalui keluarga ini untuk menolong saya.
Keesokan paginya, saya melanjutkan perjalanan. Komitmen saya bahwa hari ini tidak
sarapan dan makan siang, supaya segera sampai di tujuan. Hal itu didasari komitmen saya
untuk tiba di wisma mahasiswa pukul 15.00 – 17.00, dan kendaraan dari Wonosari menuju
Jogja hanya sampai pukul 14.00. Ditemani kabut tebal dengan jarak pandang 10 m, saya
berjalan terseok-seok, pelan tapi pasti. Kemudian saya melihat plang bertuliskan “Goa Maria
Tritis – lurus”. Air mata tiba-tiba menetes saking terharunya. Saya pikir saya bermimpi bisa
berjalan kaki sejauh ini. Masih sekitar 10 km menuju Goa Maria, sekitar pukul 11.00
akhirnya saya tiba disana. Pertama kalinya singgah di Goa Maria Tritis, melihat Goa yang
begitu alami, sangat besar, beralaskan batu dan beratapkan stalakmit. Hawa di dalam Goa
sungguh sejuk sehingga saya ketiduran disana. Saya kemudian membasuh tangan, kaki, dan
wajah saya yang sudah gosong di kendil berisi tetesan air stalakmit. Luar biasa rasanya bisa
sampai di titik tujuan. Mengikut Kristus memang berat, saya menanggung beban, saya
melewati jalan terjal dan berbatu, saya melihat jalanan seperti tanpa ujung. Namun saya
percaya, pengorbanan Yesus di kayu salib jauh lebih besar daripada secuil pengalaman saya
ini. Karena cintaNya lebih besar dan tanpa batas bagi kita.

Brigitta Ayu Andira
Kalasan – Gunungkidul
16 – 18 Februari 2017

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *