J A R A K

Akhir pekan yang lalu aku menghadiri sebuah pertunjukan musik di salah satu mall daerah Jakarta Utara. Selain mengisi kekosongan hari aku memang menyukai seorang penyanyi dan penulis lagu Indonesia ini, Tulus, namanya. Ia membawakan sebuah lagu yang berjudul “Kelana” dengan lirik:

Terik di mata dingin di raga, keringat untuk apa

Dihantui ringkih lelah badan, berjuta alasan untuk ku lari pergi

Berjuta alasan tetap di sini. Kita ke mana, mau ke mana

Hendak mencari apa, menumpuk untuk apa.

 

Lagu ini tepat mengingatkanku pada kegiatan rekoleksi pengurus di minggu kedua bulan maret lalu. Bagaimana tidak, aku menjadi salah satu peserta rekoleksi merasa bersyukur mendapatkan kesempatan yang baik untuk menarik diri dari rutinitasku. Mulai dari kesibukan pada pertemuan-pertemuan di dunia kerja, keluarga, komunitas, relasi dan persahabatan yang selama ini ternyata cukup banyak menyita waktu, pikiran dan emosiku. Hingga akhirnya pengembaraan atas perjalananku pun memberikan rasa lelah yang membutuhkan istirahat sebagai solusinya. Namun, kali ini istirahat yang aku dapatkan bukan sebatas rebahan di atas kasur, menikmati camilan ataupun menonton film kesukaan. Aku diajak untuk merefleksikan makna kelana yang aku lalui.

Hening

Menjaga keheningan selama kegiatan berlangsung menjadi salah satu pengantar dan kewajiban dari rekoleksi. Bukan hanya tidak berbicara di sesi materi,  tetapi untuk keseluruhan kegiatan kami harus bersikap memberi jarak dan privasi satu sama lain. Sebagai menu pembuka dalam kegiatan rekoleksi, Romo Koko memberikan materi pemantik untuk mengajak kami memohon rahmat “heninglah, lihatlah, dan dengarkanlah Tuhan”.

Pada malam itu, aku pun mencoba mengajak pribadiku untuk masuk ke dalam keheningan-Nya dengan menyusuri pelataran Kolese Kanisius dan menemukan spot pojok di depan ruangan kelas lantai empat. Di sana dalam keheningan, aku melihat kembali tujuan dan alasanku bertahan atas semua kesibukan dari pertemuan-pertemuan yang aku jalani selama ini. Aku merefleksikan kalimat yang kemudian aku tuliskan dalam buku jurnalku: “berjarak untuk bernafas”. Ternyata untuk kaum ekstrovert seperti aku pun membutuhkan jarak dari semua ini, jarak untuk aku merasakan tarikan nafasku, mengumpulkan kepingan warna-warna pelangi dalam hidupku.

Salah satu cara akan pencapaian menikmati berjarak untuk bernapas ini ialah melalui keheningan. Sikap hening dalam kehidupan spiritualitas Ignasian mengingatkan aku pada kebiasaan rutin yang seharusnya dijalani melalui latihan doa dasar, jurnaling dan eksamen. Ah, kemana saja aku selama ini? Terlalu lama aku melupakan kelanaku dengan-Nya dan bersama diriku sendiri. Masih di tempat yang sama, ku serahkan pada-Nya semua rasa lelah, sedih, amarah, rasa syukur dalam hening dan berjarak dari hiruk-piruk keseharianku. Aku sangat menikmatinya.

Panggilan Sang Cinta

Masih dengan suasana hening, frater Ferry mengajak kami untuk merenungkan arti penting on going formation sebagai pengurus MAGIS 2023. Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan persahabatan di MAGIS merupakan hal yang selalu dirindukan dalam setiap pertemuannya dan menjadi salah satu alasanku untuk kembali menanggapi panggilan cinta Tuhan. Hal ini pun dibuktikan dalam proses setengah perjalanan kepengurusan bahwa aku masih disapa oleh mereka, sahabat-sahabatku. Bahkan dalam sesi correctio fraterna aku tidak menyangka ketika mereka mengenal dan menilaiku lebih jauh, “terima kasih ya” ucap hati kecil ku.

Besar harapanku bahwa berjalan bersama akan panggilan cinta ini tidak hanya berhenti pada diriku saja namun juga bagi sahabat-sahabat kepengurusan untuk sisa perjalanan ke depan. Pasti bukan hal mudah bagi pribadi kami yang masih memiliki ketakutan dan kesibukan masing-masing. Tetapi, kami harus mempercayai bahwa di setiap panggilan cinta pasti ada alasan-Nya dan setiap alasan yang baik akan berbuah baik pula untuk Nya.

Mari memohon rahmat untuk selalu berformasi mewujudkan panggilan raja dari Sang Cinta dengan menikmati keheningan dan jarak pada setiap tarikan nafas yang kemudian diakhiri oleh ucapan syukur.


Vania Christine Silalahi

Biasa dipanggil Vania. Gadis berambut keriting ini seorang perantau dari salah satu kota di Sumatera Utara yang menyukai jajan, jalan-jalan, bercerita dan mendengarkan cerita.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *