Dan Apakah yang Kamu Cari?

Sebuah Cerita Circle dari RUJAK di Perbul 3-4

Perbul 3

Kembali ke ‘rumah’. Ya Kolese Kanisius menjadi ‘rumah’ dalam bentuk fisik bagi kami, Circle 4. Dari Perbul 3, RUJAK kembali mendalami dan melihat bagaimana Sejarah Hidup yang masing-masing kami alami. Perjuangan dan pergolakan itu tidak mudah bagiku, Agatha, Dinda, Claudia, dan Variant. Hal ini terungkap ketika masuk di Perbul 3 dimana secara eksplisit Dinda dan Agatha menyatakan bagaimana hari-hari menulis Sejarah Hidup menjadi hari-hari ‘kelam’. Ada energi yang terkuras. Ada rasa tangis dan kesedihan yang muncul ketika memandang masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Rasa itu kadang tidak langsung meluncur secara eksplisit dari mulut teman-temanku. Tapi setidaknya dari cara bercerita, teman-teman berusaha untuk menyampaikan prosesnya secara jujur. Aku menangkap suasana kisah masa lalu yang berat dan tidak menyenangkan.

Guratan-guratan kepedihan luka masa lalu masih terlihat membekas dalam diri teman-teman. Dari situ, akupun juga berkaca bagaimana proses yang dialami oleh teman-teman juga pernah aku alami beberapa tahun silam dalam beberapa kesempatan pengolahan. Tidak mudah dan tidak menyenangkan. Hari-hari yang juga dipenuhi tangisan. Tidakk salah untuk mengatakan bahwa kami semua sedang berkubang dengan lumpur. Lumpur yang begitu pekat dan menghisap. Dan inilah proses yang memang harus dilewati supaya menjadi manusia yang dewasa. Proses supaya ‘selesai’ dengan diri sendiri: untuk menyadari apa yang menjadi lukaku dan berjalan dalam usaha untuk menyembuhkannya.

Bahwa kami semua, sebagai manusia, punya pengalaman yang tidak menyenangkan. Luka-luka yang tergurat dalam hati. Kadang-kadang sampai sudah masuk ke alam bawah sadar. Itu realitas diri kami. Kini kami berusaha mengurai luka-luka itu. Berkubang di dalam genangan lumpur yang tidak menyenangkan itu. Melihat goresan-goresan dan coretan dalam buku kehidupan bernama kami masing-masing: Iko, Variant, Agatha, Dinda, Claudia, Steffi, Sanita, (dan Julung yang tidak hadir). Dari situ yang ingin dilihat ialah bagaimana sebetulnya Tuhan ingin berkarya melalui kami. Bagaimana sebetulnya selalu ada pengalaman rahmat untuk kami yang lemah, berdosa, dan terluka ini. Dan sungguh, yang menjadi rasa syukur yang begitu besar ialah bahwa ketika sesi sharing sekalipun aku melihat teman-temanku berjuang dan bergulat, aku menemukan bagaimana teman-teman terus berkembang dan bertumbuh. Kehadiran satu sama lain sebagai ‘rumah’ batin di Kolese Kanisius sebagai ‘rumah’ kumpul yang saling mendengarkan, saling mendukung dan menguatkan rupanya membantu proses pengolahan ini. Mendengarkan satu sama lain seringkali memberikan pemahaman, pengetahuan, pencerahan yang membantu proses pengolahan. Artinya pengalaman luka itu, pengalaman berlumpur itu berusaha dilihat dalam terang lain yang kiranya mendekati ‘yang sesuai’. Terutama bagaimana dari setiap pengalaman buruk itu, kami menemukan sebetulnya makna cinta Tuhan yang terselubung dalam diri orang-orang yang hadir menyakiti kami. Sungguh, kadang aneh dengan cara-Nya itu. Suka sekali Ia tersamar, seperti dalam bentuk Hosti Kudus, untuk menyapa kami semua. Ia tidak pernah meninggalkan kami rupanya. Hanya kadang dibutuhkan waktu, usaha, pemahaman, dan kedewasaan yang lebih, untuk memandang dalam terang yang lebih besar, bagaimana Ia berusaha membentuk kami. Kukira inilah intisari dari suatu proses pengolahan hidup. Pengolahan hidup pada akhirnya menjadi suatu on going formation, suatu proses mengolah terus-menerus yang tidak hanya berhenti pada pengalaman tidak menyenangkan, pengalaman luka, tapi secara terus-menerus melihat, menyadari, dan menemukan rahmat-Nya. Menemukan bagaimana Allah dengan segala cara-Nya selalu mengasihi aku dan teman-teman sebagai pribadi yang unik.

Aku pribadi ketika mencoba menuliskan cerita ini, menemukan satu pertanyaan yang seolah Ia tanyakan: “Apakah yang aku cari?” Mencari kesembuhan? Mencari penyelesaian? Atau mencari apa? Melihat bagaimana proses kami di-RUJAK, aku merasa jawaban atas pertanyaan ini ialah mencari-Nya dalam perjalanan hidup kami. Jelasnya mencari kasih-Nya dalam perjalanan hidup kami. Sebab pengalaman luka itu selalu ada dan semua manusia pasti mengalaminya. Namun tidak bisa berhenti hanya pada pengalaman itu. Pengolahan juga harus sampai pada pengalaman dimana kami menemukan pengalaman dicintai. Cinta itu mungkin mewujud dalam diri orang-orang di sekitar, dari situasi yang dialami, dari bantuan yang didapatkan, dsb. Namun bukankah itu adalah Sang Putra Manusia yang menjelma, yang tersamar dalam diri orang-orang, situasi, bantuan, dan apapun itu yang kami rasakan sebagai pengalaman cinta? Bukti bahwa kami tidak pernah ditinggalkan oleh-Nya. Memang tidak pantas kami. Tapi siapakah yang pantas di hadapan-Nya? Dia sendiri yang akan memantaskan dan karenanya hanya ada rasa syukur. Bahwa melalui pengolahan Sejarah Hidup yang tidak mudah itu, kami telah berusaha melangkah maju satu langkah dalam kehidupan. Melangkah maju dalam usaha-usaha menuju kesucian hidup. Dan ini adalah suatu sukacita yang sungguh besar.

Perbul 4

Pada Perbul 4 mengenai Asas dan Dasar, Rm. Hendrik mengulik lagi soal Sejarah Hidup. Porsi tentang penekanan dan pengulangan Sejarah Hidup ini kiranya lebih besar ketimbang materi inti soal Asas dan Dasar itu sendiri. Memang sepenting itulah mengolah, melihat, dan menyadari Sejarah Hidup menurut Rm. Hendrik untuk kemudian melangkah pada Asas dan Dasar. Istilahnya tanpa pondasi yang cukup kokoh dalam melangkah, menapaki jalan bernama Asas dan Dasar itu agaknya akan kelabakan. Justru penyadaran yang cukup tentang diri sendiri, sudah ‘selesai’ dengan diri sendiri yang akan membawa pada nilai Asas dan Dasar masing-masing. Tujuan hidup itu bukan semata-mata apa-nya (baca: Memuji, mengabdi, dan memuliakan Tuhan Allah dan dengannya menyelamatkan jiwa-jiwa) namun juga bagaimana-nya (baca: Tindakan konkrit untuk mewujudkan apa-nya dari Asas dan Dasar itu).

Sekalipun aku, Agatha, Dinda, Claudia, dan Variant masih dalam proses pengolahan Sejarah Hidup (mengingat Sejarah Hidup itu merupakan on-going formation), setidaknya kini sudah ada suatu tiang pancang dalam diri masing-masing. Tiang pancang ini merupakan kesadaran-kesadaran baru yang membuat seorang Iko, Agatha, Dinda, Claudia, Variant semakin mengenal diri masing-masing sehingga membantu menemukan Asas dan Dasar masing-masing. Ini yang nantinya aku rasakan terpancar ketika circle-an untuk membahas tujuan hidup yang selama ini diperjuangkan dan yang sebetulnya secara ideal dihadirkan-Nya dalam hidup kami masing-masing. Poin terakhir ini menurutku pribadi menjadi penting untuk menjadi individu yang semakin mendalam.

Asas dan Dasar merupakan suatu bahasan yang tidak mudah. Bahasanya mungkin terlalu mengawang-ngawang dalam artian belum detail. Apa sih yang dimaksud dengan mengabdi, memuji, dan memuliakan Allah? Dalam cerita circle, aku menemukan bagaimana seorang Iko, Variant, Agatha, Claudia, Dinda, Julung, Cik Sanita, Mba Steffi masih berpegang pada apa yang menjadi tujuan pribadi. Kalau harus dirangkum menjadi satu frasa, boleh lah dinamakan sebagai ‘pembuktian diri’. Pembuktian diri ini aku lihat karena guratan-guratan luka yang dialami masing-masing pribadi. Entah itu karena pengalaman masa lalu dengan orang terkasih, entah juga karena suatu peristiwa, dan yang lainnya. Poin pentingnya di sini menurutku adalah bagaimana kami menyadari turning point yang membuat tujuan itu ‘hidup’ dalam diri masing-masing pribadi.

Yang perlu disyukuri adalah kesadarannya tidak berhenti sebatas pada perkara tujuan dari masing-masing pribadi. Aku sungguh bersyukur bahwa setelah menyadari titik berangkat tujuan pribadi, ada arah gerak menuju tujuan hidup yang ideal. Usaha untuk menghidupi tujuan memuji, mengabdi, dan memuliakan Tuhan Allah itu berusaha diwujudkan melalui tindakan sehari-hari. Sikap altruisme, untuk keluar dari diri, memberikan diri adalah jawaban yang muncul dari masing-masing pribadi ketika dirangkum menjadi satu frasa. Mengutip semangatnya Santo Stanislaus Kostka, ajakannya ialah Ad Maiora Natus Sum. Aku lahir untuk hal-hal yang lebih besar. Lebih besar selalu berarti untuk keluar dari diri, untuk keluar dari diri sendiri. Tidak terkungkung dalam suatu ‘penjara’ kecil bernama Iko, Variant, Agatha, Dinda, Claudia, Cik Sanita, Julung, Mba Steffi. Bahwa kemudian masih ada kelekatan-kelekatan yang muncul itu menjadi tantangan yang perlu terus diperjuangkan. Sebab memang akhirnya pemenuhan tujuan hidup itu, jalan menuju kesucian melulu soal perjuangan. Ini dibahasakan dengan sangat baik oleh salah satu temanku, dimana kisah perjuangan yang merupakan rangkuman dari masing-masing pribadi ini juga merupakan kisah-Nya. Jalan yang masing-masing kami tempuh tak lain menjadi jalan yang ditapaki oleh Dia Yang Tersamar itu.

Niat dan semangat untuk memperjuangkan tujuan hidup itu aku temukan dari bagaimana masing-masing anggota RUJAK ini mengejawantahkan Tuhan seperti apa yang dirasakan dan ditemukan dalam kehidupan. Ada yang menemukan Tuhan yang selalu berjalan bersama karena kisah-Nya adalah kisah kita juga, ada yang menemukan Tuhan sebagai yang sudah memberikan dengan cuma-cuma, ada yang menemukan Tuhan sebagai yang pengasih, ada yang menemukan Tuhan sebagai sang arsitek, ada yang menemukan Tuhan sebagai pelatih, dan sebagainya. Menemukan kehadiran Tuhan yang bermacam-macam itu menurutku satu langkah penting bagi RUJAK untuk melangkah. Artinya sekalipun hidup kami ini tidak layak dan tidak pantas, perjalanan kami penuh lumpur, namun kisah kasih-Nya itu selalu hadir. Ini yang memampukan manusia untuk bergerak keluar dari dirinya. Sebab orang hanya akan terkungkung dalam dirinya sendiri kala ia tidak merasakan bagaimana dirinya dikasihi, dicintai. Lagi-lagi, ini pengalaman berahmat yang perlu disyukuri oleh kami.

Dan lagi-lagi, ketika berusaha menuliskan kisah ini, aku sampai pada pertanyaan: “Apakah yang kamu cari?” Melihat dari cerita dan perjuangan teman-teman RUJAK, aku yakin bahwa arah geraknya sudah bukan mencari diri sendiri. Aku melihat bahwa kami ini sudah dikasihi-Nya, kini kami ingin berusaha untuk membagikan kasih yang sudah didapat dari Anak Manusia. Dari Ad Maiora Mei Gloriam (Demi kemuliaan diri sendiri yang lebih besar) menjadi Ad Maiorem Dei Gloriam (Demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar). Dari situ, seperti disampaikan dalam Perbul, sukacita dan kegembiraan yang lebih mengakar, yang lebih merdeka dan batiniah didapatkan. Kegembiraan dan sukacita yang dapat kami rasakan terus-menerus hanya dengan mengingat-ingat momen-momen itu.

Mengakhiri cerita ini, aku hanya bisa bersyukur dan bersyukur. Aku kira tidak ada kata lain lagi yang lebih pas untuk diungkapkan selain rasa syukur akan segala dinamika dan perjalanan yang terjadi selama Perbul 3 dan Perbul 4. Memang kemudian di akhir Perbul 4 ini, salah satu teman seperjalanan kami, Variant harus menghentikan proses formasinya. Ada kesedihan yang mendalam setidak-tidaknya bagiku. Aku jadi teringat bagaimana harus berpisah dengan teman-teman seperjalananku ketika di Kawah Candradimuka. Namun satu perpisahan tidak berarti suatu perpisahan selamanya. Bahwa ada jalan-jalan lain yang perlu ditempuh masing-masing pribadi yang aku yakini dan aku imani sebagai satu langkah Tuhan untuk menuntun ke tempat yang terbaik. Toh sekali menjadi teman seperjalanan akan selamanya menjadi teman seperjalanan. Tempatnya mungkin berbeda tapi semangat dan perjuangannya masihlah sama. Dan sekali lagi, memikirkan semua ini, pertanyaan “Apakah yang kamu cari?” kembali mencuat. Apa ya yang aku cari? Mungkin jawaban ini boleh merangkum semuanya: Dan sukacitaku pun menjadi penuh. Ya sukacita yang penuh dalam hidup ini lewat usaha-usaha untuk mengabdi, memuji, dan memuliakan Tuhan dalam hidup ini.

Selasa, 5 Maret 2024

Hari Biasa Pekan Prapaskah III

 


Flaviantius Febriano Iko

Buruh swasta untuk salah satu perusahaan manufaktur Kretek Kudus di Jakarta. Kopi, kretek, buku, dan “dongeng” malam hari menjadi kesukaannya.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *