Kalau semua sudah digariskan, lalu buat apa kita berdoa?
Pagi hari ini sama seperti pagi hari lainnya, tepat pukul 06.30 WIB aku memesan ojek online untuk berangkat ke tempat kerja. Jalanan selalu macet, klakson hingar bingar membuat kuping pengang. “Apakah orang-orang ini begitu tidak sabar untuk sampai di tempat kerja? Rajin sekali mereka,” batinku mencemooh.
“Pak, perempatan depan ambil kiri saja, ya. Kalau lurus pasti macet sekali,” ucapku kepada bapak pengemudi. Kami menghindar jalan utama dan melintasi pemukiman. Mataku tertuju pada salah satu toko kelontong di pinggir jalan. Jalanan lebih lengang, kami bisa melaju lebih cepat.
Dari kejauhan, aku melihat seorang ibu paruh baya berdiri di depan toko kelontong. Toko di lantai satu lalu rumah di lantai dua. Ia mengenakan kaos putih dan celana panjang coklat. Nampaknya, ia pemilik toko tersebut. Aku melihat ia sedang mengangkat tiga hio setinggi jidat. Mataku langsung tertuju ke wajahnya. Ibu itu begitu khusyuk menatap langit sambil berkomat-kamit memanjatkan doa. Mataku tidak bisa lepas dari pandangan itu. Ibu itu mulai menundukkan kepala beberapa kali. Aku tidak bisa lupa raut wajah ibu itu. Ada ketenangan di wajahnya, keyakinan yang begitu kukuh. Aku begitu terenyuh, aku seperti hanyut masuk ke dalam doanya.
Bagaimana bisa orang berdoa penuh harapan seperti itu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berdoa sedalam itu. Sepenuh harap itu. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku meminta kepada Tuhan. Aku masih berdoa, tapi doaku isinya protes dan marah-marah.
Otakku terus berputar, bertanya-tanya buat apa kita meminta kepada Tuhan kalau semuanya sudah digariskan sejak awal. Untuk bernegosiasi? Untuk menawar? Terdengar lucu seakan seperti kamu sedang belanja ikan di pasar.
Selama ini aku tidak pernah mau membuang energiku untuk meminta kepada Tuhan. Jika aku ingin sesuatu, maka aku usahakan. Sampai titik akhir. Kalau berhasil, ya itu karena keringat dan air mataku. Jika tidak dapat apa yang aku mau, ya memang ada sesuatu yang terlewatkan. Ya betul, aku begitu sombong. Mungkin ini yang membuatku terenyuh ketika melihat ibu itu pagi tadi. Aku tidak pernah menaruh harapan sebesar itu kepada Tuhan.
***
Aku teringat pada suatu sesi konseling dengan psikolog-ku.
“Dora, kamu kenapa terus menerus suruh saya meminta kepada Tuhan?” ucapku saat itu.
“Ya, kenapa tidak?” Dora menjawab sambil menatapku heran.
“Bukankah semua sudah digariskan sejak awal? Lalu buat apalagi kita minta mengubah? Toh, yang terjadi akan sesuai dengan yang seharusnya terjadi bukan?” Aku menyandarkan bahuku pada sandaran kursi sambil menghela nafas panjang.
“Han, kenapa kamu tidak pernah meminta sama Tuhan?” Dora meliriku sejenak kemudian kembali mencatat beberapa hal pada lembar evaluasi.
“Ya, sia-sia lah. Buat apa kita melakukan hal yang sudah pasti sia-sia?” Aku mulai memijat keningku yang mendadak terasa berat.
“Seperti seorang ibu yang begitu senang ketika anaknya meminta pertolongan. Sesederhana meminta tangannya dipegang ketika si anak hendak belajar berdiri. Tuhan seneng, Han, kalau kamu minta sama Dia. Bukannya tertulis mintalah maka kamu akan diberi, ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu?” Dora menjawab dengan begitu tenang.
“Jadi saya minta cuma untuk nyenengin hati Tuhan? Ini konsepnya gimana sih Dora? Kok saya jadi bingung.” Seperti biasa aku mulai ngegas.
Pada intinya, pertanyaanku tidak terjawab malam itu. Mungkin memang terlalu banyak batu di kepalaku.
***
Hal ini mengingatkanku akan kejadian yang harus aku jalani tengah tahun 2024. Karena kondisi kesehatan yang memburuk, aku menjalani rawat inap di rumah sakit. Aku sempat dalam keadaan tidak sadar. Aku tidak bisa merasakan tubuhku, tapi anehnya aku bisa mendengar semua hal yang terjadi di ruang rawatku. Sedikit tips dariku, jika kalian sedang di sebelah orang koma, bicara yang baik-baik saja ya karena orang itu bisa mendengarmu.
Satu hal yang aku ingat dengan jelas, dokterku berbicara dengan bapak.
“Pak, nanti kalau anaknya sudah bangun lalu dia minta makan, dikasih saja ya. Dia gak ada pantangan apa-apa. Kasih saja apa yang dia minta.” Tentu saja hal ini di-iya-kan oleh bapak.
Setelah aku akhirnya bangun, ternyata benar aku merasakan lapar yang luar biasa. Aku minta dibelikan nasi padang. Aku ingin mengecap makanan di mulut. Aku pikir nasi padang dengan rasa bumbu yang begitu kuat akan mampu memuaskan indera pengecapku. Kesalahannya adalah aku tidak sadar ternyata ventilator meninggalkan banyak luka di mulut.
Saat aku terbangun, aku memang sudah tidak lagi menggunakan ventilator. Ia sudah digantikan dengan selang oksigen yang dipasang di hidung. Bibir kananku robek sedikit, sepertinya karena terbebani ventilator. Langit-langit mulutku juga memiliki banyak luka. Mungkin karena tergesek-gesek ventilator. Suapan pertama nasi padang ternyata menjadi siksaan. Rasa pedas merangsang rasa nyut-nyutan pada luka di bibir & mulutku. Namun aku tetap makan dengan lahap. Lapar sekali rasanya. Memang nasi padang jarang yang tidak enak, namun kali ini nasi padangnya menjadi nasi padang terenak sepanjang hidupku.
Jujur sempat terpikir olehku, apa aku sedang masuk tahap terminal lucidity, ya? Aku tidak tahu ini term yang cocok atau tidak. Kalau aku tidak salah, ini istilah yang merujuk pada kondisi pasien yang dengan tiba-tiba menjadi membaik sesaat sebelum akhirnya berpulang. Kamu ingat jika lampu sudah akan habis masa pakainya, dia akan tiba-tiba menjadi terang sekali lalu… bib! Mati total selamanya. Ya kurang lebih seperti itu.
Setelah kenyang aku merenung. Ada dua hal yang sangat ingin kuwujudkan. Keinginan pertama aku sampaikan kepada kedua orangtuaku. Aku berkata kepada orang tuaku, “Minta tolong carikan romo yang bisa memberikan sakramen perminyakan.” Bapak & ibu tidak banyak bertanya mengapa. Mereka dengan ringan hati mencarikan romo.
Bagiku hal ini penting untuk dilakukan sebab aku ingin mendapat sakramen perminyakan ketika aku masih dalam keadaan sadar. Aku tidak ingin diberi perminyakan ketika aku sudah tidak sadarkan diri ataupun malah sudah meninggal.
Permintaan kedua aku sampaikan kepada dokterku.
“Dok, saya minta tolong gelang saya diganti dengan gelang ungu.”
“Hanna, kamu sudah berbicara dengan keluargamu?” Dokter menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidurku.
“Saya capek, Dok. Buat apalagi saya di sini.” Air mata satu per satu jatuh dari ujung mataku.
“Saya tidak bisa menyerah dengan kamu. Tidak bisa. Belum semua kita coba. Masih ada harapan. Ini terlalu awal, Han.” Dokterku sudah berusia lanjut, mungkin sudah di atas 65 tahun. Setiap kali berbicara dengannya aku seperti sedang bicara dengan eyangku dulu. Rambutnya putih semua tapi masih tampak bugar.
Pada akhirnya aku tetap menggunakan gelang pink seperti pasien perempuan pada umumnya. Keinginanku tidak terwujud. Ya memang itu sedikit buruk. Namun, sisi baiknya adalah keputusan ini membuatku masih bisa duduk mengetik cerita ini dan membagikan ke kalian.
***
Kejadian ini menjadi refleksi mendalam buatku pribadi. Materi keempat perbul, terutama terkait Asas dan Dasar yang dibawakan oleh Romo Vico. Romo menceritakan perihal euthanasia, hal yang masih ditentang oleh Gereja Katolik. Di Indonesia euthanasia tidak diperbolehkan. Hal ini begitu mengena pada diriku sebab aku pun memiliki pengalaman untuk memilih mengganti gelang pasien menjadi gelang ungu. Gelang ungu diperuntukan bagi pasien yang dengan kesadaran penuh atau pihak keluarga (tentu saja disertai informed consent) meminta untuk tidak diberikan resusitasi dalam keadaan kritis, yaitu ketika jantung berhenti atau nafas berhenti. Ini dikenal juga dengan istilah Do Not Resuscitate. Kuakui bahwa aku memang ngawur saat itu. Gelang ini diperuntukkan untuk pasien dengan harapan hidup amat rendah. Mungkin keadaanku saat itu masih belum mampu menerima apa yang sedang kualami sehingga membuatku terpuruk dalam keputusasaan. Aku tidak bisa menerima penyakit ini, pernikahanku dibatalkan sepihak, dan aku juga terkena layoff dari kantor. Sungguh kombinasi pengalaman yang buruk untuk terjadi dalam waktu 3 bulan. Lucunya rangkaian kejadian ini terjadi tepat dua minggu setelah aku berulang tahun yang ke-33. Kenapa harus 33? Aku pun tidak tahu.
Aku begitu marah dengan Tuhan. Aku tidak mau menerima kekalahan, mengingat sifatku yang hobi protes. Ya aku memang memiliki kesulitan untuk melepas kendali untuk hidupku sendiri. Aku selalu berpikir, ini adalah hidup milikku maka akulah yang memegang kekang kendalinya. Bukan orang lain dan juga bukan Tuhan. Aku akui aku ini sombong. Romo berkata hidup ini milik Tuhan, maka bukan kehendakku untuk memutuskan apakah aku akan hidup atau mati saat ini. Tentu saja aku komplain, “Kenapa ya, romo? Bukankah justru manusia diberi akal dan budi untuk bisa memilih dan mengambil keputusan?” Aku ingat betul saat itu romo menjelaskan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jujur sampai di rumah pun, aku masih terus bertanya-tanya mengapa aku tidak boleh mengambil keputusan untuk hidupku sendiri?
Begitu materi presentasi dibagikan oleh animator melalui surat elektronik, aku kembali membuka presentasi romo. Ada satu gambar yang menarik perhatian. Sebenarnya gambar ini sudah sering kita jumpai di media sosial. Tapi baru kali ini aku begitu lekat dan berulang kali kembali pada gambar ini. Gambar bersepeda dengan Tuhan.
Hanna si sombong ini mungkin perlu belajar untuk menyerahkan kendali “sepeda” pada Tuhan. Biarkan Tuhan yang mengemudi ‘the way He chose is so different from what we thought before’.
Segala sesuatu tidak terjadi dengan instan. Ada masa sendiri untuk belajar dan mencoba pemikiran baru dalam hidup. Di tahap ini aku baru menyadari kekeliruanku. Butuh proses bagiku untuk sampai pada penerimaan bahwa Tuhanlah yang memegang kendali. Aku tidak tahu tahun depan, tahun depannya lagi atau mungkin lima tahun lagi aku baru bisa menjalani penerimaan ini dengan sungguh-sungguh.
Setelah aku banyak berpikir, aku menyadari mungkin inilah sikap awal yang membuatku tidak pernah meminta dalam berdoa. Malam ketika hendak tertidur, saat itu tulisan ini baru setengah jadi, aku melihat Tiktok. Ada Video Tiktok (VT) yang rasanya begitu pas. Di sana tertulis: jika ada seorang nelayan yang berdoa supaya Tuhan tidak memberikan badai, lantas apakah ketika melaut setiap malam ia akan selalu bebas dari badai? Tentu saja tidak. Jika memang waktunya badai maka terjadilah badai. Si nelayan ini tetap berdoa bukan untuk menghilangkan badai terjadi, tapi supaya dia siap dan kuat menghadapi badai. Kadang kita merasa alam semesta itu jahat. Nyatanya alam tidak pernah jahat. Ia hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga keseimbangan.
***
Sepulang kerja, saat di bus TransJakarta aku teringat kembali kejadian tadi pagi. Setiap kali mengingatnya, aku jadi mempertanyakan alasan mengapa aku tidak pernah mau meminta kepada Tuhan. Apakah mungkin karena aku takut apa yang kuminta & berbeda dengan apa yang dikehendaki-Nya? Aku tidak siap ditolak oleh Tuhan.
Sampai detik ini aku merasa tidak perlu bernegosiasi dengan Tuhan, meminta-Nya mengubah ini & itu. Membuat-Nya bekerja seturut dengan kehendakku. Yang aku perlukan ialah mulai belajar percaya & membiarkan Tuhan yang memegang kendali.
Chrecentia Hanna
Penulis yang gemar menjejakan kakinya ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, jatuh cinta pada orang-orang yang belum pernah ia temui. Memilih mendedikasikan sebagian besar waktunya sebagai periset di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.