Judul Buku | Burung-Burung Manyar (Edisi Revisi) |
Tahun Terbit | 2014 |
Penulis | Y.B. Mangunwijaya |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas |
Sangat menarik membaca Burung-Burung Manyar karya Y. B. Mangunwijaya. Dulu kupikir buku ini akan bernuansa rohani karena pengarangnya seorang pastor, tapi rupanya tidak. Aku membaca buku ini karena direkomendasikan oleh seorang teman Muslim yang belajar Sastra Belanda. Mengambil latar dari tahun 1930-an hingga 1970-an, novel ini menggambarkan potret sejarah Indonesia dari masa sebelum kemerdekaan hingga pertengahan Orde Baru.
Luka Tokoh Utama
Yang bagiku menarik dari novel ini yaitu bahwa pengalaman-pengalaman luka yang dialami sang tokoh utama, Setadewa alias Teto, putra serdadu KNIL di masa penjajahan—ayahnya diculik dan akhirnya dibunuh, ibunya dijadikan gundik serdadu Jepang—membuatnya gelap mata. Dia memilih masuk KNIL juga, membenci Jepang, membenci Republik (yang waktu itu belum merdeka) bahkan menjadi berseberangan dengan pujaan hatinya, Atik -yang bekerja untuk negara dan menjadi sekretaris Kementerian Luar Negeri setelah kemerdekaan-.
Pengalaman luka yang dialami Teto juga bukannya tidak berdampak pada Atik. Wanita ini, yang semula hidupnya lurus-lurus saja, berimpian mulia, dan akhirnya berkeluarga (bukan dengan Teto), di akhir cerita malah membiarkan godaan masuk ke bahtera rumah tangganya karena cinta lamanya bersemi kembali. Kebalikannya, Teto, yang jiwa nasionalismenya bangkit setelah sederet pergumulan dan berpindah tempat tinggal (ibarat burung manyar jantan yang mengobrak-abrik sarangnya setelah ditolak manyar betina), malah berani membongkar praktik kecurangan perusahaan tempatnya bekerja yang merugikan Indonesia.
Menurutku seperti halnya manusia tak bisa hidup sendirian, pengalaman luka satu orang bisa saja turut memberi pengaruh orang terdekatnya. Dari luka yang sama, bisa keluar hal yang berbeda, karena beda pula respon terhadap luka itu. Demikian kita bisa memilih mau bagaimana menyikapi luka:
Hidup rasanya ambyar setelah pengalaman luka? Menyalahkan orang lain atau malah dunia yang kejam? Kalau begitu bubar jalan saja?
Atau, respon yang agak hiperbolis tapi mulia: bagaimana caranya supaya tidak ada orang lain yang bernasib sama? Apa yang bisa kuperbuat?
Asas dan Dasar
Dari latar belakang dan pertumbuhan kedua tokoh, aku belajar bahwa keluarga dan lingkungan, terlebih lagi pengalaman luka, dapat memengaruhi keyakinan seseorang akan sesuatu. Seberapa dalam keyakinan itu tertanam, menjadi asas dan dasar seseorang dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan. Ini juga akan menjadi bekalnya untuk mencapai tujuan dalam hidup.
Terkadang, manusia terlalu larut dalam asas dan dasar yang sesungguhnya hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hidup. Ketika tujuan hidup itu sendiri dikaburkan oleh ambisi atau emosi negatif, kebutuhan untuk memenuhi asas dan dasar itu malah menjadi tujuan hidup. Mengikuti arogansi, membenci orang lain yang menyakiti kita, membalas dendam, semua itu mendatangkan kepuasan—tapi hanya bersifat sementara saja. Jika keinginan-keinginan dangkal itu tidak terpenuhi, yang ada hanya amarah dan berbagai hal yang buruk.
Ada satu lagi pelajaran yang bisa kumaknai dari tokoh Teto. Setelah dia akhirnya bisa melepaskan Atik, menerima kenyataan pahit yang harus dialami orang tuanya, dan berdirinya Indonesia sebagai negara merdeka, dia seolah justru menemukan apa tujuannya diciptakan. Apa yang tersisa dalam hidup kita saat ini bisa jadi yang paling penting daripada hidup kita sebelumnya. Setelah “ditolak” dan “membongkar sarangnya” yang diibaratkan burung manyar jantan, Teto masih punya kecerdasan dan hati nurani: dia bergerak melawan korupsi sesuai kapasitasnya, seolah dia membayar kesalahannya di masa lalu.
Berulang-ulang
Kedua tokoh utama ini, Teto dan Atik, sudah punya karakter masing-masing lewat didikan orang tua. Kita tahu bahwa keluarga adalah tempat pendidikan pertama seorang anak. Orang tua mengajarkan membangun kebiasaan dengan cara diulang-ulang, entah dengan perkataan maupun tindakan.
Teto, yang teramat bangga dengan status ayahnya yang serdadu-ningrat dan ibunya yang separuh Belanda, tumbuh dengan arogansi mengenai superioritas orang Belanda dan keturunan campuran di atas orang pribumi alias orang Indonesia. Sementara Teto merasa bahwa Indonesia belum siap untuk merdeka karena masih punya mental penduduk yang dijajah, Atik yang dididik keluarga ningrat Solo memiliki ideologi bahwa tanah air adalah impian ideal dan layak diperjuangkan.
Kemudian, Teto mengalami “kekalahan” bertubi-tubi sepanjang hidupnya. Orang tuanya mengalami nasib tragis. Pasukannya (KNIL) kalah terhadap Jepang. Indonesia, yang menurutnya belum siap merdeka, malah akhirnya merdeka. Dia tidak sanggup bertemu Atik.
Bubar dan ambyar di kisahnya Teto ini bisa jadi metafora untuk hidup kita sehari-hari. Titik balik kehidupan bisa jadi disebabkan satu peristiwa besar yang krusial, tapi bisa juga melalui proses terbentur berkali-kali. Aku salah satu yang mengalami proses semacam itu. Aku memiliki pengalaman di-bully, ditakut-takuti, direndahkan oleh teman sekolah semasa kecil. Dari situ aku selalu mencari pengakuan, pujian, sanjungan dari orang lain. Aku mendapat peringkat 10 waktu SD tapi tidak merasa cukup. Hingga akhirnya aku memforsir belajar sampai di SMP dan SMA. Bahkan saat kuliah dan bekerja, aku sering memaksakan diri melampaui batas agar tetap mencapai yang kuinginkan. Aku memang mendapat banyak prestasi, tapi badan dan mentalku jadi korban. Aku sering jatuh sakit dan ujung-ujungnya (sesaat saja) menyesali semua pemaksaan diri itu. Toh akhirnya tetap saja kuulangi lagi perilakuku itu demi memuaskan “ketagihan” akan pengakuan orang lain. Rasanya baru belakangan ini -semenjak mengikuti formasi MAGIS-, aku baru benar-benar disadarkan bahwa yang kukejar selama ini bukanlah “tujuan” melainkan hanya sarana. Maka rasanya seperti tidak pernah penuh, tak kunjung puas.
Ciptaan dan Tujuan
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, kita dikaruniai akal budi. Ciptaan dan hal-hal lain, seperti bakat, hubungan, dan harta hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Hanya dengan mengandalkan Sang Penciptalah, kita bisa fokus berpegangan kepada tujuan dan bukannya gagal fokus pada sarana.
Kutipan berikut, dari buku Burung-Burung Manyar, menurutku seirama dengan apa yang dihayati spiritualitas Ignasian mengenai ciptaan: “Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”
Menghargai dan menolong sesama manusia adalah bagian dari tujuan hidupku. Spesifiknya, pekerjaanku di rumah sakit bertujuan untuk menolong orang yang sakit. Dengan menolong orang lain menggunakan berbagai daya yang ada padaku sebagai sarana, aku dipuaskan. Bukan lagi oleh keinginan-keinginan dangkal, melainkan kepuasan batin yang hanya bisa diperoleh dengan tetap berfokus kepada Yang Esa.
Stefani Sisilia Handoyo
Stefani Sisilia Handoyo alias Sisil adalah seorang “pembelajar seumur hidup” yang senang menulis. Punya nama pena Roux Marlet di Wattpad dan platform menulis lainnya, sebagian besar fiksi penggemar. Manusia Joglosemar karena lahir di Semarang, pernah kuliah di Jogja, domisili saat ini dan paling lama tinggal di Solo. Saat ini menjadi pengurus MAGIS Yogyakarta setelah sebelumnya menjadi formandi MAGIS Yogyakarta 2023.