Yang Tidak Khawatir dalam Tahun Kering, dan yang Tidak Berhenti Menghasilkan Buah (Yeremia 17:8)

Foto bersama formandi laki-laki bersama dengan Rm. Koko, SJ pasca Community Building 2024

Zona Nyaman

Aku pertama kali pergi merantau untuk bekerja ialah ketika bekerja di Karawaci, Tangerang. Sebelumnya aku bekerja full WFH sekalipun kantor perusahaanku ada di Jakarta. Sejak awal tiba di Karawaci, jujur aku merasa ngga ada kecemasan sama sekali dan ngerasa kayak everything will be alright”. Dan ternyata bener! Sejak awal pindah ke Karawaci, aku memutuskan untuk melanjutkan masa katekumenat di Gereja St. Helena, Paroki Curug. Aku merasa disambut baik dan hangat oleh umat lingkungan dan teman-teman OMK, belum lagi teman-teman kelas katekumenat yang begitu seru. Sampai pada akhirnya di bulan Maret 2024, rahmat baptisan diberikan kepadaku dan sukacita itu semakin tumbuh.  Aku merasa Karawaci menjadi zona nyamanku. Tapi entah mengapa dalam beberapa doaku, aku berkata, “Tuhan, aku siap untuk menerima perutusanku apapun dan kemanapun Engkau menghendaki.” 

Musim Kemarau

Bulan Agustus 2024, aku harus meninggalkan Karawaci karena pindah kantor yang akhirnya membuatku berdomisili di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Awalnya aku mencoba untuk ngga terlalu mikirin terlalu jauh perpindahan ini. Ya paling akan sama saja kayak pertama kali ke Karawaci. Ternyata beda.

Aku mengalami kesulitan beradaptasi, baik itu di lingkungan kantor, lingkungan tempat tinggal, bahkan di lingkungan Gereja. Kesulitan beradaptasi ini membuatku sering menarik diri (social withdrawal) dari berbagai ajakan kegiatan, termasuk mencari-cari alasan untuk tidak hadir di pertemuan Rosario lingkungan. Kesulitan ini semakin menjadi-jadi karena aku merasa tidak memiliki peers atau teman sebaya, yang akhirnya membuat kehidupan awalku di Cempaka Putih menjadi sangat kering. Saking keringnya sampe kadang aku secara sengaja menunda-nunda untuk dateng misa (Yang ini gak patut untuk dicontoh, ya!). 

Sebuah Usaha untuk Mencari

Di tengah perasaan kering dan “jauh” dari Tuhan ini, satu hal yang kusyukuri ialah ternyata Tuhan tetap hadir dan ada di dekatku. Ia hadir melalui berbagai suara hati yang berbisik, “Tapi kok aku kangen ya ngerasain aktif di kegiatan Gereja, kumpul bersama temen-temen OMK, bisa bercanda dengan om, tante, maupun umat lingkungan lainnya. Tapi kok aku kayak ga ada tenaga gini….” Kegelisahan ini akhirnya membawaku pada sebuah ingatan bahwa aku pernah berdiskusi dengan seorang romo Jesuit yang menyarankanku untuk bergabung di Komunitas MAGIS. Lamunan di malam itu membawaku untuk nge-stalk instagram @maGis.indonesia, yang waktu itu baru membuka pendaftaran untuk Formasi Yogyakarta. Agak sebel sih. Tapi akhirnya ngga jeda lama, MAGIS buka pendaftaran untuk Formasi Jakarta. Kalau diilustrasikan bagai pengembara menemukan oase di tengah padang gurun. Mungkin agak lebay ya, tapi itu beneran yang aku rasain. Sebuah harapan untuk menghidupkan kembali api semangat pelayanan dan aktif kegiatan Gereja.

Ignite of Fire in the Darkness

Fast forward dari proses pendaftaran, pertemuan pertama di sesi Introduction, sesi wawancara, pengumuman, semuanya puji Tuhan berlangsung lancar. Akhirnya tibalah acara 3 hari 2 malam itu, dimana para formandi (Mereka yang menjalani proses formasi di MAGIS) mengikuti kegiatan Community Building bersama para pengurus.  Jumat, 8 November 2024, malam hari pukul 19.00 WIB, aku tiba di Kolese Kanisius dengan perasaan yang super campur aduk. Ada perasaan excited karena, “Wah, akhirnyaaaa,” tapi ada juga perasaan anxious karena…. ngga tauuuuuu. Anxious mah anxious aja suka dateng tiba-tiba ngga sih? But to put it in visual way, bayangin kita ada di ruangan gelap, trus ada secercah api yang mulai menyala. Mungkin di awal apinya kecil, tapi itu cukup untuk memberikan cahaya mula-mula di ruangan gelap itu. That’s the ignite of fire I felt.

MAGIS: Pohon yang Ditanam di Tepi Air

Sabtu, 9 November 2024 dini hari, kami tiba di Bogor. Di sini, kami akan menghabiskan waktu bersama sampai hari Minggu besok. Kalau sebelumnya aku merasa bagaikan pengembara yang menemukan oase di tengah padang gurun, ada juga visualisasi ruangan gelap yang terdapat cahaya api kecil, selama kegiatan Community Building, aku merasa seperti berada di tepi sungai. Suara aliran air sungai yang menenangkan, aroma segar air sungai, suasana sejuk udara sekitaran sungai, semua itu sungguh kurasakan melalui berbagai kegiatan yang ada. Mulai dari Ladoda, examen, games, pentas seni, malam lilin, walking prayer, dan lainnya membawaku pada suasana di tepi sungai yang menyenangkan.

Melalui salah satu materi yang dibawakan dalam Community Building, kami, para formandi, diingatkan kembali salah satu materi dalam Introduction, dimana berproses di MAGIS bagaikan suatu tumbuhan. Kami, para formandi, adalah tumbuhan-tumbuhan yang sangat beraneka ragam kondisinya. Ada yang kering layu, ada yang tumbuh dengan prima sudah menghasilkan bunga, ada yang biasa-biasa saja, dan semuanya itu wajar. Pemateri menyampaikan bahwa berproses di MAGIS berarti kami membuka hati untuk “dilepaskan dari pot yang lama” untuk kemudian “ditanam dan dirawat di pot yang baru”. Bagiku pribadi, that’s some real deep things. Salah satu kekhawatiranku adalah, “Bisa ngga ya aku membuka diri? Menelenjangi diriku sendiri? Menyerahkan diriku untuk dilepas dan dibentuk di pot yang baru?” Kekhawatiran itu sedikit mereda ketika aku diperkenalkan dengan teman-teman yang akan menjadi satu circle denganku. Aku merasa teman-teman circle-ku adalah jaring pengamanku, demikian juga aku menjadi jaring pengaman bagi mereka. Kami menjadi jaring pengaman satu sama lain yang saling menjaga dan “menyirami”.

 

Foto bersama Formandi MAGIS Jakarta 2024 setelah acara Community Building di Pondok Wisata Remaja Anugerah, Gn. Geulis, Bogor

Yang Tidak Berhenti Menghasilkan Buah

Pada akhirnya setiap orang dipanggil dan diutus dengan panggilan dan perutusan yang berbeda-beda untuk satu tujuan: Kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Kegiatan Community Building, tidak perlu diragukan lagi, adalah momen yang asyik, seru, refreshing, dan recharging. Tapi satu hal yang kembali aku sadari ialah ini baru sebuah awal. Awal dari perjalanan hidupku yang dulu, saat di Karawaci, sempet nantangin Tuhan dengan sok-sokan berdoa kalau aku siap untuk diutus kemanapun dan apapun bentuknya. Sebuah awal dari perjalanan hidup bersama dengan teman-teman formandi lain, khususnya teman satu circle-ku, untuk menghidupi semangat magis yang ada pada pilar-pilar dasar MAGIS. Sebuah awal untuk berproses, yang mulanya merupakan tanaman yang berbeda-beda asal dan kondisinya, untuk dirawat bersama dan tumbuh menjadi tanaman baru yang diharapkan untuk menghasilkan buah. Di hari Minggu malam setelah aku tiba di Cempaka Putih, aku mencoba untuk berdiam dan kembali mengingat-ingat serta mencecap betapa baiknya Tuhan dalam hidupku. Sungguh hanya atas kehendak-Nyalah aku bisa menemukan komunitas ini. Semoga Tuhan juga yang menguatkanku serta teman-teman formandi lainnya untuk terus bertahan, bertumbuh, dan kelak menghasilkan buah melalui komunitas ini. Amin.


Bagus P. Santosa

Halo! Salam kenal, aku Bagus, formandi MAGIS Jakarta tahun 2024 asal Kab. Sidoarjo, Jawa Timur. Saat ini aku bekerja sebagai Legal Officer di salah satu perusahaan farmasi di Jakarta. Sebagai perantau warga baru Jakarta, sering bingung sih mau berkegiatan apa di sini. Tapi Puji Tuhan, ada MAGIS yang ternyata… It’s a perfect place to grow!

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *