Live In Immersion. Awalnya kegiatan ini membuatku merasa khawatir. Khawatir karena tidak tahu apa yang akan terjadi. Khawatir apakah nantinya akan diterima atau tidak. Khawatir karena harus meninggalkan zona nyaman kehidupan di Jakarta setelah sekian lama merantau. Ketakutan juga muncul tatkala membayangkan kalau akan ‘dilempar’ ke daerah-daerah ‘batas wilayah’ kota Jakarta yang terkenal keras dan ngeri-nya. Maklum, pengalaman live in yang kualami banyak terjadi di daerah Jawa Tengah. Sekeras-kerasnya daerah di Jawa Tengah, aku masih bisa merasakan keramahan di sana dan itu menjadi salah satu karakteristik dari orang Jawa. Nah, akan beda cerita kalau itu live in di Jakarta. Hingga akhirnya akupun memantapkan diri “ya sudah, mari berangkat. Los dol (Baca: Lepas) saja.”
Hari pelaksanaan pun tiba. Malam ketika pembekalan sampai paginya, aku merasa kondisiku sangat lelah. Letih setelah perjalanan dinas rupanya menghampiri dan memelukku dengan erat. Tapi ya sudahlah, dijalani saja sekalipun wajah ini tidak bisa menipu kalau sedang lelah. Dan dalam kondisi yang demikian itu, aku pun bertanya-tanya, “Apakah aku yang asing ini akan diterima ya di tempat yang aku sendiri belum tahu kemana?” Apalagi setelah mengetahui bahwa ‘perutusan’ku pergi ke Marunda. Ya, Marunda. Telingaku tidak asing dengan tempat tersebut namun sekaligus menjadi asing buatku. Belum pernah sekalipun aku pergi ke daerah Marunda. Akan jadi bagaimana ya nanti di sana? Masih dengan perasaan yang campur aduk itu, aku dan teman-teman seperjalananku, yaitu Honggo, Indah, dan Sesil pun berangkat. Sungguh, aku bersyukur memiliki mereka sebagai teman seperjalananku karena kami bisa saling melengkapi dan backup satu sama lainnya.
Perjalanan menuju Marunda tidaklah mulus. Hampir disesatkan oleh petunjuk yang diberikan maupun arahan panitia. Untung aku dan teman-teman bertanya kepada supir JakLingko yang menyelamatkan kami dari kesesatan arah itu. Lalu dalam perjalanan tidak henti-hentinya ada orang-orang yang membantu mengarahkan aku dan teman-teman ketika ditanya: mulai dari ibu-ibu di JakLingko, tukang ojek, penjaga Trans Jakarta, hingga supir JakLingko. Bagiku, mereka menjadi perwujudan-Nya selama perjalanan yang menuntun aku dan teman-teman supaya dapat sampai di lokasi dengan selamat. Bahkan beberapa di antaranya tanpa ditanya sudah bertanya kepada aku dan teman-teman mau pergi kemana. Mungkin wajah-wajah kami yang penuh dengan kebingungan sudah menjadi satu tanda untuk mereka. Namun kalau mereka tidak tergerak, tentu saja tidak akan terjadi apa-apa. Ketergerakan mereka ini aku amini sebagai cara-Nya yang ajaib untuk mewujudkan cinta kasih-Nya untuk aku dan teman-teman. Yang mana sungguh, hal yang sama juga aku alami dan rasakan ketika perjalanan pulang dari Marunda. Memang, Dia itu keren sekali.
Setelah berjalan cukup panjang dari titik poin yang disebutkan dalam petunjuk, aku dan teman-teman sampai di rumah Bu Harti. Beliau menjadi semacam koordinator yang menerima dan membantu penempatan live in untukku dan teman-teman. Bertemu dengan Bu Harti dan disambut dengan ramah entah kenapa sudah sedikit membawa kelegaan untukku. Ternyata kekhawatiran dan ketakutan yang kubawa itu hanyalah asumsiku belaka. Dari tempat Bu Harti, pergilah aku ke tempat induk semangku, yaitu tempat Pak Doyok. Pak Doyok dan anak-anaknya menjalankan usaha penyedia jasa pengantaran mancing ngapung dan mancing di bagang (tempat memancing di tengah laut). Tidak lupa ada warung yang dibuka di depan rumahnya untuk melayani orang-orang yang ingin pergi memancing. Datang dan disambut dengan ramah di tempat Pak Doyok ini membuatku merasa diterima. Ketakutan dan kekhawatiranku menjadi orang asing di sana rupanya terpatahkan. Aku justru dianggap sebagai bagian dari keluarga. Sesederhana baru datang kemudian disuruh untuk istirahat dan tidur dulu. Atau ‘dipaksa’ untuk membuat minumanku sendiri dari warung jualannya. Kecil memang, tapi membuatku merasa seperti di rumah sendiri. Berbagai perasaan negatif yang sebelumnya muncul pun menguap.
Sebetulnya aku merasa tidak bisa berkontribusi apa-apa dalam konteks pekerjaan Pak Doyok dan keluarga. Sebab mengantarkan orang mancing dengan perahu ini membutuhkan kemampuan khusus. Aku yang tidak pernah melaut sama sekali dan kalau mau ngide untuk membawa perahu tentu suatu tindakan bunuh diri. Yang ada malah akan merepotkan dan mengancam keselamatan para penumpangnya. Maka ketika mengantarkan orang untuk mancing, akupun hanya menemani di perahu saja. Rasanya malah justru melakukan tamasya sambil melihat bagaimana realitas kehidupan dari orang-orang seperti Pak Doyok dan keluarga ini. Mereka yang sungguh dekat denganku namun di sisi lain kehidupannya begitu jauh dari apa yang aku alami. Sekalipun tidak bisa berkontribusi, Pak Doyok dan keluarga tetap menerimaku dengan baik di sana. Aku dipinjamkan kamar tidur untuk tidur, masih diberikan makanan yang cukup, disuruh membuat minumanku sendiri, dsb. Apa yang disediakan semuanya sangat sederhana. Bahkan menurutku diberikan dari kesederhanaan yang Pak Doyok dan keluarga miliki. Namun malam-malam istirahat itu terasa nyenyak. Makanan dan minuman yang disajikan pun terasa sangat nikmat. Semuanya itu aku refleksikan bukan karena apanya yang diberikan tapi karena intensi memberikannya itu. Intensi dan semangat memberi Pak Doyok dan keluarga untukku yang asing namun mereka anggap sebagai bagian dari keluarga itulah yang memberikan ‘cita rasa’ yang sungguh spesial. Bagiku seperti mengalami secara nyata bagaimana Penginjil Markus dan Lukas (Bdk. Mrk 12: 41-44; Luk 21: 1-4) si janda miskin yang memberikan persembahan di Bait Allah dari kekurangannya. ‘Cita rasa’ itu datang bukan dari besarnya yang diberikan namun dari intensi, niat, semangatnya dan itu yang lebih berharga.
Ketika berpamitan pulang, entah kenapa ada perasaan sedih dan lega. Lega bahwa akhirnya perjalanan immersion ini telah selesai. Sedih karena aku harus meninggalkan rutinitas dan tempat yang menyambutku sebagai rumah ini untuk kembali kepada rutinitas harian yang serba cepat. Apalagi rasanya belum dapat memberikan dan berkontribusi bagi Pak Doyok dan keluarga. Hal ini yang juga muncul dalam pengendapan kemarin. Aku malah tidak merasa bahwa immersion yang tujuannya menjadi pengejawantahan semangat melayani ini terwujud. Wong aku tidak melakukan apa-apa. Yang kurasakan justru pengalaman immersion ini menguatkan asas dasar yang sebelumnya aku rumuskan: untuk ‘berbau’ bagi sesama. Pengalaman untuk ikut masuk, melihat, merasakan, dan berpikir dari sudut pandang mereka yang kecil, miskin, dan terpinggirkan di tengah realitas Jakarta dengan gedung pencakar langit, dengan perkembangan kotanya yang begitu cepat menjadi satu alarm yang mengingatkan. “Jangan lupa pada mereka yang Kaum Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel (KLMTD)!” Mereka yang terjebak dalam kemiskinan struktural itu perlu disentuh dan ditemani juga. Ini yang mendorongku juga untuk tidak lupa berbagi pada mereka yang memang membutuhkan. Rasanya jadi malu juga kala mengingat bahwa untuk memberikan kadang-kadang aku perhitungan. Padahal orang-orang seperti Pak Doyok itu dapat memberikan dengan begitu legowo: memberikan dari kesederhanaan hidupnya. Ini yang kemudian menjadi niat dan komitmen baruku ke depan: untuk berbagi dengan mereka yang KLMTD dengan konteks dan cara yang kupunya.
Apa yang menjadi insight-ku itu rupanya tidak salah. Namun rupanya belum menyeluruh apalagi ketika dengan beraninya aku berkata aku tidak menjalani pelayanan sebagaimana yang diharapkan dari immersion ini. Ini aku temukan ketika berdiskusi pasca pengendapan dengan rekan yang sudah tidak bersua sekian lama, yaitu Fr. Bayu Aji, SJ. Dalam cerita-cerita kami, Fr. Bayu Aji justru menawarkan refleksi dari sudut pandang yang berbeda. Aku memang tidak berkontribusi langsung dalam pekerjaan yang memang dilakukan oleh Pak Doyok dan keluarga. Namun bukannya aku tetap melayani melalui konteks yang aku bisa? Sesederhana mencuci piring, membantu jualan, membantu mengangkat-angkat barang, menemani anak-anak yang ada di rumah Pak Doyok bermain, menemani ngobrol Pak Doyok dan keluarga. Memang apa yang kulakukan bukan hal-hal besar, tapi bukankah itu suatu pemberian diri dari apa yang aku punya? Aku diingatkan lagi untuk tidak terbuai dengan konsep-konsep pemberian diri yang besar. Pemberian diri sebagai suatu bentuk pelayanan, tidak dilihat dari besar dan kecilnya apa yang kuperbuat atau apa yang kuberikan. Sebagaimana sudah ditunjukkan Pak Doyok dan keluarga, ia ditunjukkan dari niatnya, kemauannya, semangatnya terlebih dahulu. Lewat hal-hal kecil itulah aku melakukan immersion yang sesungguhnya, sebagaimana Sang Sabda menjadi manusia. Dalam cara-Nya menjadi manusia itulah Dia pun melakukan immersion terhadap kehidupan umat yang dikasihi-Nya itu.
Mengakhiri tulisan ini, aku kira ada beberapa poin refleksi yang bisa kupetik. Pertama-tama bahwa tema immersion, “Teach us to serve as You deserved” tidak lain tidak bukan ialah untuk ambil bagian dalam tindakan-tindakan pemberian diri. Pemberian diri itu menjadi pengejawantahan perbuatan kasih, sebagaimana Dia sendiri sudah memberikan diri-Nya untuk manusia. Yang Dia mau bukanlah iman omong kosong belaka namun iman yang mewujud dalam tindakan. Suatu iman yang hidup. Selanjutnya ialah bagaimana Dia tetap mengasihiku dengan cara-cara-Nya yang kreatif. Pertemuan dengan orang-orang baru yang membantu dalam perjalanan, penerimaan di tempat immersion yang sungguh baik, maupun kesempatan untuk menepi sejenak bersama dengan realitas kehidupan lain di kota Jakarta menjadi saksinya. Kalau aku sudah dikasihi-Nya sedemikian rupa, maka mengacu pada poin refleksi sebelumnya, aku perlu membagikan kasih itu juga kepada yang lain. Tentunya berbagi dengan cara dan konteks yang aku punya. Berbagi dengan cara dan konteks yang sesuai pada masing-masing individu kiranya akan lebih berdaya dan berdampak ketimbang cara-cara yang dipaksakan. Misalnya menemani dan menjadi pendengar cerita teman di kantor yang sedang butuh cerita. Atau melakukan aksi sosial kepada lembaga-lembaga sosial. Atau dalam pendampingan kepada orang-orang muda, mereka diajak untuk berpikir apa yang bisa dilakukan bagi orang-orang KLMTD dan diajak untuk merenungkan perbuatan apa yang bisa diperbuat dalam konteks mereka.
Dengan demikian kiranya iman akan Kristus itu akan selalu hidup. Mewujudkan identitas dan cita rasa kemuridan yang telah Ia sendiri contohkan. Sebab “Firman itu telah menjadi mausia dan diam di antara kita…” (Yoh 1:14). Selamat bersaksi dalam segala usaha dan karyamu!
Pingback: Homepage