Berjumpa dengan Allah Yang Sederhana

Beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan untuk mengambil retret pribadi di rumah retret Sarasvita milik komunitas suster-suster FCJ Yogyakarta. Dari banyaknya opsi kegiatan yang aku pikirkan untuk mengisi waktu liburan, entah mengapa pilihanku dengan mengambil retret pribadi. Sejujurnya, ini merupakan pengalaman pertamaku melakukan retret pribadi dengan bimbingan seorang suster dikarenakan aku perlu melakukan diskresi akan karier dan tujuan hidup. Aku tak punya banyak ekspektasi saat berangkat ke sana, tetapi aku berjanji pada diri sendiri untuk meminimalisir segala bentuk distraksi agar dapat fokus mengikuti setiap kegiatan yang telah disiapkan.

Di hari pertama kunjunganku, aku melakukan percakapan rohani dengan suster pembimbing. Setelah perkenalan dan menyampaikan tujuanku mengambil retret ini, suster memberikan beberapa bahan doa dan renungan yang bisa kucoba secara mandiri, tak ada saran waktu, target, tetapi semua dikembalikan ke diriku sendiri.  Aku pun mencoba memberi waktu pada diriku untuk secara perlahan mengunyah lagi teks Asas & Dasar dari David L. Fleming, SJ. Aku diingatkan kembali tentang tujuan hidup manusia yaitu agar kita dapat hidup bersama Allah untuk selamanya; keinginan dan pilihan kita haruslah mengantarkan kita pada kesadaran akan kehidupan-Nya dalam diri kita.

Momen retret ini sejujurnya sungguh membantuku untuk sejenak menarik diri dari kehidupan ramai. Saat pertama kali bercakap-cakap dengan suster, aku menyadari kondisiku saat itu seperti akuarium penuh lumut yang baru saja diobok-obok, sangat keruh. Kepala dan hatiku penuh dengan perasaan cemas, marah, khawatir, dan takut. Aku pun merasa bersyukur karena rangkaian kegiatan retret yang kujalani saat itu, telah membantuku untuk mengendapkan semua residu dan meredakan badai kecemasan yang melanda diriku. Dan ketika mengingat kembali momen tersebut, aku menjadi sadar bahwa Allah sungguh hadir dan menemani proses diskresiku.

Selama ini, Allah selalu mencoba menyapaku hanya saja karena kebisingan yang ada di dalam pikiran dan hatiku, aku sampai tak mampu mendengarkan sapaan-Nya. Aku akhirnya menyadari bahwa berjumpa dengan Allah dalam keheningan ternyata tak semenakutkan itu. Selama ini aku merasa berada dalam sebuah keheningan identik dengan perasaan kesepian sehingga aku selalu berusaha menghindari hal tersebut. Melalui pengalaman ini, aku jadi mengerti bahwa keheningan adalah waktu yang indah untuk bercakap-cakap dengan-Nya. Dalam konteks berkomunikasi dengan Allah, aku tak hanya mencoba terbuka untuk menceritakan tentang diriku tetapi juga belajar menjadi pendengar yang baik. Ternyata selama ini hubunganku dengan Allah seperti kurang ada timbal balik karena aku lebih banyak berbicara tanpa mau mendengarkan.

Dalam permenungan ini, aku pun mencoba mengingat kembali isi dari tulisan Bruder Matthew (Pemimpin Komunitas Taizé) dalam Letter 2024 Journeying Together yang membahas tentang “Mendengarkan”. Beliau menulis bahwa dalam sebuah hubungan, mendengarkan adalah sebuah tindakan kasih yang berlandaskan kepercayaan. Ketika kita mendengarkan orang lain tanpa pamrih, kita memberi mereka ruang untuk menjadi diri mereka sendiri. Kita memungkinkan mereka untuk mengekspresikan apa yang perlu mereka ungkapkan, bahkan terkadang apa yang tidak dapat dikatakan melalui kata‐kata.

Poin penting yang kucoba garis bawahi adalah bahwa keheningan merupakan inti dari belajar mendengarkan. Sebagai contoh dalam perikop Maria dan Marta diceritakan bahwa ketika Yesus datang mengunjungi mereka, Maria, saudara perempuan Marta, duduk di kaki Yesus dan mendengarkan Dia ﴾Lukas 10:39﴿. Contoh lain yang juga tertulis dalam Alkitab adalah kisah Elia bertemu dengan Tuhan dalam angin sepoi‐sepoi yang hening, bukannya dalam gempa bumi, angin, dan api ﴾1 Raja‐raja 19:11‐13﴿. Dua contoh cerita ini semakin memperjelas bahwa mendengarkan dalam keheningan akan membantu kita memahami pihak lain dan juga diri kita sendiri. Saat belajar mendengarkan dengan hati, kita juga belajar untuk menurunkan ego untuk merespon cerita orang lain.

Mendengarkan berarti menerima orang lain dalam perbedaan, sesederhana belajar memahami bahwa orang lain mungkin punya pandangan berbeda dengan kita. Sebagai anak muda yang memilih untuk bergabung dalam komunitas MAGIS, aku meyakini bahwa mendengarkan merupakan salah satu aspek terpenting dalam proses berkomunitas. Setiap individu yang ada di dalamnya mau tidak mau mencoba melatih kemampuan “mendengarkan dengan hati” agar tercipta komunikasi yang positif dan membangun. Proses mendengar sering kami latih saat circle-an, rapat, atau bahkan dalam sebuah percakapan ringan saat berjumpa dengan teman. Inilah yang kemudian dapat menguatkan kami satu sama lain.

Dalam Letter 2024 Journeying Together, ada pembahasan yang juga menarik terkait ajakan untuk berziarah bersama di dunia masa kini. Saat ini, anak muda dihadapkan dengan banyak tantangan yang di dalamnya juga termasuk kelemahan diri masing-masing. Banyak dari kita yang masih membawa serta luka masa lalu yang menghambat kita untuk melangkah. Tantangan tersebut malah membuat beberapa menjadi merasa sendiri dan kesepian. Bahkan jika mengaitkan dengan poin belajar mendengarkan, banyak anak muda yang lebih suka bungkam dan enggan terbuka dalam kehidupan sosial karena memiliki trust issues.

Dalam prosesku di kepengurusan MAGIS, aku bersyukur bahwa aku akhirnya berani untuk memeluk diriku dan juga merangkul sesamaku. Kami belajar untuk berani melangkah bersama untuk menghadapi tantangan dunia masa kini. Meskipun dalam prosesnya beberapa hal terasa berat dan tak mudah tetapi seperti migrasi besar satwa liar antara Serengeti dan Masai Mara, anak gajah yang lebih muda harus bergantung pada kekuatan gajah dewasa untuk menyeberangi sungai dan memanjat tebing. And It’s like Liverpool motto: You’ll never walk alone, penting juga untuk menyadari, ada kalanya kita perlu digendong atau juga bersikap rendah hati menerima bahwa kita digendong.

Perjalananku bersama teman-teman MAGIS di kepengurusan 2022 dan 2023 ibarat ragi yang dicampurkan ke dalam tepung (Matius 13:33) meskipun memiliki keterbatasan dan masing-masing mungkin merasa kecil, mereka saling memperkuat dan memperkaya dalam proses peziarahan. Terima kasih teman-teman telah membantuku melihat sosok Allah yang sederhana yang hadir melalui masing-masing dari kalian. Sangat banyak nilai kehidupan yang bisa aku pelajari seperti mendengarkan dengan hati dan juga keberanian untuk melihat orang lain sama berharganya dengan diriku sendiri. Aku bersyukur karena Tuhan telah merawatku melalui perjumpaanku dengan kalian. AMDG!

 

 


Anastasia Novi

Seorang ambivert yang diberi kesempatan untuk belajar musik bersama anak kecil. Suka menghabiskan waktu dengan jalan kaki sembari mengamati dunia sekitar dan mojok di kedai kopi sambil mendengarkan simfoni orkestra dan nyanyian dari Taizé. Kutipan lirik lagu favorit: “Every good gift, all that we need and cherish, comes from the Lord in token of his love.”

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *