Ada pepatah, “Tak kenal maka tak sayang.”
Alkisah, sepasang suami-istri miskin tinggal di sebuah apartemen dengan harga sewa rendah. Suatu hari, sebuah kotak dengan sebuah tombol di atasnya dikirim ke apartemen mereka. Malam itu juga, seorang pria datang berkunjung. Dia memberikan si istri kunci kotak tersebut dan menjelaskan bahwa jika dia menekan tombol tersebut, maka seseorang yang tidak dia kenal akan mati dan dia akan menerima sejumlah besar uang.
Pasangan itu bertanya-tanya apakah tawaran orang asing itu benar dan berdebat apakah mereka akan menekan tombol tersebut. Mereka membuka kotak tersebut dan menemukan bahwa kotak itu kosong, sehingga sang suami membuangnya ke tempat sampah. Namun, setelah suaminya pergi tidur, sang istri mengambil kotak itu dari tempat sampah. Keesokan harinya, sang suami melihat istrinya duduk di meja dapur sambil memandangi tombol tersebut. Sang suami mendorongnya untuk menekan tombol itu agar sang istri bisa merasa lega. Akhirnya, sang istri menekan tombol tersebut dan siangnya dia menerima uangnya setelah ada kabar suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan kereta api. Uang tersebut adalah biaya asuransi suaminya. Sang istri yang sedih bertanya kepada orang asing itu mengapa suaminya yang terbunuh.
Orang asing itu menjawab, “Apakah Anda benar-benar mengenal suami Anda?”
Cerita pendek ini berjudul “Button, Button” dan pertama kali diterbitkan pada Juni 1970. Latarnya mungkin ketinggalan zaman, tapi pesannya tetap relevan. Di bulan yang terkenal dengan sebutan “Bulan Kasih Sayang” ini, mari coba kita berefleksi dari pepatah di awal tulisan tadi.
Mengenal yang Dicintai
Bagaimana orang bisa saling menyayangi kalau kenal saja enggak? Atau, mengaku-ngaku bahwa mengenal, padahal aslinya nggak begitu? Kita mengaku dengan bangga bahwa kita orang Katolik. Ngakunya kenal Yesus. Apa benar begitu? Apa keseharian kita sudah menunjukkan bahwa kita sayang sama Yesus?
Banyak sambat, suka ghibahin orang, misuh, korupsi waktu, apa bedanya sama orang yang nggak kenal Yesus? Mengharap dapat balasan atas kebaikan, jadi hanya menolong orang yang kita kenal aja. Rajin misa-puasa-pantang, tapi kelakuan ke orang lain minus atau malah pencitraan. Apa bedanya sama orang Farisi di zaman Yesus kalau begitu? Bedanya mungkin cuma, zaman dulu belum ada istilah panjat sosial (hehe).
Mengasihi Yesus juga tercermin dari kasih sayang kepada sesama dan alam ciptaan. Bukan sekadar yang tinggal serumah dan ada di bawah satu atap, juga pada siapa pun dan apa pun yang kita temui dalam perjalanan hidup. Kalau kata pepatah di Jawa, rasa sayang tumbuh karena terbiasa. Terbiasa untuk membangun relasi dengan menjalin komunikasi.
Yesus bersabda, “Inilah perintah-Ku, agar kamu saling mengasihi.” Mengasihi sesama dan alam ciptaan adalah sebuah perintah, bukan penawaran apalagi promosi untuk dapat endorse. Singkat, padat, dan jelas; nggak perlu pakai uraian hipotesis apalagi daftar pustaka, kan?
Melalui Sabda
Judul tulisan di atas membawa saya mendengarkan kembali lagu Doa Komuni Spiritual. Kalau kita percaya Tuhan Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi dalam rupa roti dan anggur, kita juga percaya Dia hadir dalam sabda-Nya. Santo Hieronimus berkata, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Makin sering kita berjumpa dengan-Nya melalui Alkitab, kita akan semakin mengenal Dia dan kehendak-Nya bagi kita. Di era digital sekarang ini, membaca Alkitab pun ada beragam pilihan cara. Install aplikasi di HP biar mudah dibawa ke mana-mana, bahkan ada yang versi audio maupun video. Sabda-Nya sungguh sangat dekat dalam genggaman, tinggal kitanya mau buka dan menyimak atau nggak? Memilih meluangkan waktu untuk bersaat teduh merenungkan sabda Yesus, atau scroll medsos di saat luang?
Memang kadang, bahasa dalam Alkitab nggak semudah konten Instagram atau quotes inspirasional untuk dipahami, bisa saja membingungkan atau malah mengejutkan; itulah pentingnya memohon rahmat sebelum menyimak Alkitab. Yesus akan memberikan pencerahan yang tepat untuk kita jika kita memintanya; sesederhana itu. Bukankah Yesus juga pernah bersabda, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu”?
Beata Maria Ines berkata, ”Injil ialah mercusuar yang membimbing kita dalam peziarahan menuju hidup abadi.” Selain tanda cinta dari Tuhan, Alkitab juga santapan jiwa. Sama halnya dengan kebutuhan dasar manusia yakni makanan dan minuman untuk hidup, jiwa pun perlu asupan agar bisa berziarah menuju kehidupan kekal. Asupan rohani itu adalah sabda yang disampaikan dalam Kitab Suci; kebutuhan utama bagi setiap umat Kristiani dan bahkan senjata yang menguatkan saat badai kehidupan melanda.
Kemauan
Yang namanya cinta harus diperjuangkan. Di tengah perjuangan hidup, kita juga mesti berjuang agar punya relasi yang mendalam dengan Yesus. Kita perlu dengan rendah hati percaya dan melibatkan Dia dalam keseharian kita. Kalau nggak kenal Yesus semendalam itu, apa kita bisa memahami siapa Dia bagi hidup kita? Apa tujuan kita diciptakan di dunia? Kita tahu moto Ad Maiorem Dei Gloriam, tapi apa kita sudah benar-benar menghayatinya?
Kalau dulu di era pandemi COVID-19, yang sekarang sudah dinyatakan endemi, segala relasi jadi dibatasi kontak fisik. Orang masih bisa saling sua lewat video call, lewat apa pun cara yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi. Yesus tetap sama, dahulu dan sekarang (dan sampai akhir zaman). Kalau waktu pandemi saja kita mau-maunya terjang semua kendala demi tetap menjalin relasi dengan orang-orang tersayang, lebih-lebih lagi seharusnya relasi dengan Yesus yang tak pernah ada batasan?
Ya, batasannya hanya itu tadi, dari diri kita sendiri: kita mau atau tidak?
Di awal masa Prapaskah yang bertepatan dengan hari Kasih Sayang 2024 ini, mari kita masing-masing merefleksi diri: Sudahkah aku benar-benar mengenal Yesus?
Stefani Sisilia Handoyo
Stefani Sisilia Handoyo alias Sisil adalah seorang “pembelajar seumur hidup” yang senang menulis. Punya nama pena Roux Marlet di Wattpad dan platform menulis lainnya, sebagian besar fiksi penggemar. Manusia Joglosemar karena lahir di Semarang, pernah kuliah di Jogja, domisili saat ini dan paling lama tinggal di Solo.