Surat Santo Ignatius Untuk Petrus Faber Mengenai Komunikasi: Formasi Tanpa Henti dan Komunikasi yang Berarti

Layaknya seorang Koordinator Humas, Santo Ignatius menghimbau teman-teman Serikat Yesus untuk aktif menyurati satu sama lain. Surat bukan sekedar surat, melainkan sebagai sarana untuk berbagi buah yang didapatkan bagi khalayak umum. Setelah kubaca dan kurenungkan, surat Santo Ignatius untuk Petrus Faber mengenai komunikasi ini sepertinya masih sangat relevan bila dijadikan salah satu acuan untuk berkirim pesan atau tulisan meski lewat media daring sekali pun.

 


 

Sebagai background, dalam suatu kesempatan untuk mengupayakan ongoing formation, aku beserta teman-teman pengurus MAGIS Berjalan Bersamamu (MAGIS Jakarta 2023) diberi tugas untuk membaca Surat-Surat Santo Ignatius Loyola. Dengan membacanya, kami diharapkan bisa menemukan relevansi antara semangat Ignasian serta pengaplikasiannya dalam berbagai situasi dan kondisi. On-going formation ini sendiri dimaksudkan agar formasi tidak menjadi sesuatu yang berakhir begitu saja, melainkan sesuatu yang berkelanjutan sehingga segala simulasi yang telah dilakukan selama waktu formasi yang terbatas dapat diaplikasikan untuk waktu dan kesempatan yang tak terbatas, baik dalam situasi sehari-hari maupun menanggapi fenomena-fenomena tertentu.

Komunikasi menjadi salah satu topik dari surat Santo Ignatius Loyola. Dalam suratnya kepada Petrus Faber, dia menyatakan banyak poin penting dalam surat menyurat, mulai dari pengingat bahwa sebuah surat resmi baiknya bisa dibaca oleh khalayak umum, cara untuk menghindari kesalahan dalam menulis surat, esensi dari sebuah tulisan, serta ajakan untuk membuat surat serta salinannya secara teratur. 

Surat mungkin terdengar asing di zaman ini, tapi pesan-pesan ini sebetulnya masih sangat relevan terutama dalam kita berkirim tulisan via daring seperti personal chat, pengumuman di grup, hingga menulis status di media sosial. Dalam refleksi ini, izinkan aku menuliskan berbagai poin yang aku dapatkan serta relevansinya untuk kita di zaman ini.

 

Memahami platform dan penerima pesan

“Saya ingat telah berulang kali memberitahumu … yakni jika ada anggota Serikat yang ingin menulis surat ke Roma ia harus menulis sepucuk surat resmi yang dapat ditunjukkan kepada semua orang.“

 

Bagaimana jadinya kalau kita menuliskan tentang internal joke di circle kecil kita saat berbicara di tengah forum? Bayangkan jika komunikasi dilakukan langsung, tanpa media apa pun. Bisa jadi teman-teman dalam circle kita tertawa mendengarnya, tapi yang lain tidak mengerti. Bukan hanya itu, beberapa bahkan bisa jadi merasa dikucilkan karena kita memilih membicarakan sesuatu yang tidak mereka mengerti atau tersinggung karena mengartikan candaan kita secara harfiah. Bisa saja maksud kita positif, tapi kesan yang ditimbulkan justru negatif. 

Begitu juga halnya dengan menulis pesan di dalam grup besar atau menulis status di Instagram story, kita harus mengingat bahwa jika yang bisa menerima tulisan kita adalah orang banyak, maka sebaiknya sampaikan sesuatu yang umum dan pantas. Tanpa itu saja kesalahpahaman sangat mungkin terjadi karena intonasi saat membaca tulisan bisa jadi berbeda dengan intonasi yang dimaksudkan penulis. Itu sebabnya, sebelum mengirim pesan pilah kembali apakah platform dan penerima pesanmu akan bisa menerima pesanmu dengan baik ataukah lebih baik kamu mengirimnya di platform dan ke orang yang tepat saja. 

 

Pesan yang memberikan buah

“Kemudian saya memohon demi cinta dan kehormatan Allah Tuhan kita, agar kamu melihat apakah suratmu terarah kepada pelayanan yang lebih besar bagi Kebaikan Ilahi-Nya dan memberi manfaat bagi sesama kita.”

 

Ketika menulis untuk orang banyak, terutama bila tulisan tersebut akan dibaca untuk waktu yang lama, upayakan agar pesannya tidak berisi curahan hati sesaat. Ketimbang menuliskan berbagai hal tak beraturan, alangkah baiknya kita bisa menuliskan sesuatu untuk kemuliaan Tuhan dan bagi kebaikan setiap pembacanya. Dalam menulis MAGNEWS ini contohnya, atau untuk menulis refleksi dalam media sosial kita pribadi. Coba bagikan sesuatu yang menurut kita mampu menjadi sarana kasih Tuhan di hidup kita serta buah-buahnya. Contohnya, ketika menuliskan tentang keterlibatan kita di MAGIS kita bisa menceritakan pengalaman circle-an mingguan kita, dampak kebersamaan yang hangat, serta berbagai pengingat yang diberikan teman circle yang membangun kita. Keluh kesah kita dalam menjalankan formasi tentunya bisa tetap kita sampaikan, namun di forum dan di saat yang tepat, tidak kepada orang yang tidak memahami dinamikanya. Karena, jika untuk orang banyak, maka apa relevansinya bagi mereka?

 

Proses memeriksa dan menyalin kembali tulisan

“Di kemudian hari, jika hal ini tidak dilakukan demi kesatuan, kasih, dan kemajuan rohani yang lebih besar bagi semua orang, aku sendiri merasa wajib untuk untuk menulis dan memerintahmu di bawah ketaatan untuk membaca ulang, merevisi, menyalin kembali setiap surat resmi yang kamu kirim kepada saya”

 

Santo Ignatius menghimbau agar kita tidak malas memeriksa kembali tulisan yang ingin kita bagikan kepada orang banyak. Aku pribadi merasa disentil ketika mendengarnya. Sebagai bagian dari Tim Humas di MAGIS, terutama dengan pekerjaanku sebagai Digital Marketing, aku merasa gagal karena masih banyak typo di sana-sini. Santo Ignatius mengingatkanku untuk menyadari sepenuhnya apa yang aku tulis serta dampaknya bagi orang lain. Jika itu sesuatu yang baik, ia pun mengingatkan untuk menyimpan salinannya. Ini juga alasan lainnya mengapa kita ingin pesan kita bisa diterima secara umum, agar isinya tak lekang oleh waktu meski dibaca jauh setelah tulisan tersebut ditulis. Sama seperti proses jurnaling dapat mengingatkan sejarah rahmat kita sehari-hari, menyimpan salinan suatu pesan yang baik dapat memungkinkan kita untuk melihatnya kembali di kemudian hari atau bahkan membagikannya kepada orang lain lagi. 

 

Pada akhirnya, aku merasa bahwa Santo Ignatius bukan serta merta ingin menjadi guru bahasa kita, tetapi mengingatkan kita akan identitas yang kita bawa ketika kita berkomunikasi. Aku bukan hanya diriku sendiri ketika menuliskan pandanganku terhadap sesuatu di depan orang banyak. Bagi teman kuliahku, aku adalah seorang anak komunikasi, yang diharapkan dapat berkomunikasi dengan baik. Bagi orang yang mengenalku di Gereja atau mengetahui agamaku, aku adalah seorang anak muda Katolik, sudah selayaknya berlaku sebagaimana yang diajarkan Tuhan melalui Gereja Katolik. Setiap identitas yang kubawa membawa suatu ekspektasi dan bingkai sendiri. Sungguh suatu pengingat untukku bahwa opini pribadiku bisa memberi kesan yang salah atas suatu identitas yang kubawa. 

Dalam kesempatan dan lingkup yang lebih personal bolehlah aku berbagi dengan jujur dan terbuka atas segala curahan hatiku untuk sekedar melepas penat. Tapi, semoga aku bisa terhindar dari mengatakan sesuatu yang sifatnya hanya sesaat, bisa ku sesali di kemudian hari, tapi membawa persepsi yang salah untuk waktu yang lama, bahkan untuk selamanya.

Ini juga bisa menjadi berbahaya untuk kita pribadi. Mengingat jejak digital bisa terekam selamanya, ujaran kebencian yang sekali kita tulis saja bisa muncul dalam pencarian ketika HRD ingin memeriksa kita di tahap penerimaan karyawan. Pertanyaannya, dengan sarana komunikasi yang menuntut kita untuk reaktif, apakah kita bisa tetap reflektif memilah-milah? 

Jika boleh mengutip Harold Laswell dalam teorinya, sebetulnya Ignatius Loyola juga ingin mengingatkan kita bahwa kita harus berkomunikasi secara sadar akan siapa kita dan identitas yang kita representasikan, apa pesan yang kita katakan, dalam platform mana kita berbicara, siapa penerima pesannya, serta dampak apa yang bisa kita timbulkan oleh karenanya. Jika dalam setiap upaya komunikasi saja kita berusaha berdiskresi, maka kita bisa terus berformasi tanpa henti dan menjadikannya berarti.


Gemma G.Y.H.

Meski tinggal di planet lain bernama Bekasi, gadis yang biasa dipanggil Gee ini lebih senang dengan konsep fairy daripada alien. Sehari-hari Gee bekerja sebagai Digital Marketing serta  merintis bisnis teknologi kecantikan dan kesehatan secara remote dari rumah orang tuanya. Di akhir pekan, barulah ia menjadi petualang tempat baru sembari menikmati dinamika bersama orang-orang yang berarti untuknya.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *