PATERSON: Menemukan Kejutan-Kejutan Spiritual dengan Journaling

Menonton film bagiku bukan hanya sekadar kegiatan mengisi waktu luang, atau lebih dari menebak ke mana jalan cerita dalam film tersebut akan bermuara. Bagiku menonton film adalah sebuah perjalanan spiritual, di mana setiap personal tentu akan berbeda-beda pengalaman spiritualnya meski melalui jalan yang sama, bukan?

Jika ada yang bertanya apa judul film favoritku, tanpa pikir panjang aku akan menjawab dengan lantang, “Paterson”. Aku rasa tak banyak yang tahu tentang film ini karena memang tidak pernah tayang di bioskop Indonesia. Sempat tayang di Prime Video, tetapi entah mengapa saat ini sudah tidak ada lagi. Beruntung dengan sedikit usaha ekstra aku berhasil mendapatkan salinan filmnya, jadi aku tetap bisa menonton ulang kapanpun aku mau.

Aku mengetahui keberadaan film ini berkat penelusuranku melalui mesin pencari Google dengan kata kunci ‘rekomendasi film bertemakan puisi’, dan “Paterson” adalah salah satu judul film yang muncul dari pencarian dengan kata kunci tersebut. Aku sangat menyukai puisi dan sesekali juga membuatnya. Karena dalam puisi kata yang sedikit bisa mengatakan banyak hal. Aku menyukai puisi karena dalam puisi tidak ada perkara salah atau benar tentang bagaimana menuliskannya atau mengartikannya. 

Paterson merupakan film dram komedi romantis yang menampilkan aktor kenamaan, Adam Driver, seorang supir bus yang gemar menulis puisi. Film ini berkisah tentang keseharian berulangulang selama seminggu sang tokoh utama, Paterson. Namun, dibalik kehidupannya yang dibilang cukup menjemukkan itu, Paterson ternyata gemar menulis puisi. Film yang mengangkat puisi ini lah yang menjadi favoritku dan selalu kutonton ulang paling tidak sekali dalam setahun. 


Jika diibaratkan, menonton film Paterson sama seperti mengamati gelas bening yang hanya terisi setengahnya. Sebagian orang akan melihatnya sebagai gelas yang setengahnya berisi air, dan sebagian lagi  melihatnya sebagai gelas yang setengahnya kosong. Tidak ada yang salah dari kedua pendapat tersebut, tergantung dari sudut pandang sang pengamat. Begitupun dengan film “Paterson”, aku melihat film ini sebagai film yang sarat akan makna, penuh dengan pengalaman yang menyenangkan. Film ini menyuguhkan banyak sekali “ruang kosong” yang memberiku banyak tempat untuk berefleksi. 

Suatu hari, aku pernah memaksa temanku untuk menonton film ini, dan responnya sesuai dengan dugaanku, “Film ini sangat cocok untuk penderita insomnia, aku bahkan tertidur di menit kelima film dimulai, dan terbangun lima menit sebelum film berakhir, dan aku merasa tidak melewatkan detil apapun,” katanya kesal karena hampir mati bosan dengan film yang aku rekomendasikan. 

“Paterson” berdurasi hampir dua jam, berisi bagaimana Paterson melalui harinya dimulai dari bangun pagi, sarapan, berangkat kerja, pulang ke rumah, membawa anjing peliharaannya jalan-jalan, dan mampir ke bar untuk menikmati segelas bir. Kegiatan yang benar-benar sama mulai dari hari Senin sampai hari Senin berikutnya. Tokoh utama yang benar-benar merupakan pria biasa, dengan pekerjaan biasa, melalui hari-hari yang biasa dalam kehidupan rumah tangganya. Laura, istri Paterson adalah sosok yang sangat mengagumi karya-karya suaminya pun sebaliknya, Paterson sangat mengapresiasi semua impian istrinya yang suka berubah-ubah. Namun, di belakang hal-hal biasa yang aku sebutkan sebelumnya, setiap orang punya ‘kehidupan lain’ yang patut untuk dirayakan. Dalam kasus Paterson: menulis puisi.  

Lalu, apa yang menjadikan film ini terasa sangat istimewa?

Bagiku, film ini merupakan bentuk penghargaan bagi  insan-insan yang terkadang merasa hanya menjadi tokoh pelengkap dalam gegap gempita kehidupan ini. Yang merasa sedang menjalani kehidupan yang biasa di antara orang-orang luar biasa yang sering kita jumpai. Paterson secara ‘intim’ berhasil memvisualisasikan relasi antara keheningan-keheningan yang biasa manusia alami dalam kehidupan mereka tanpa harus membubuhkan adegan-adegan berlebihan hanya untuk kebutuhan artistik. Aku merasa begitu dekat dengan kisah dalam film ini. Mungkin jika keseharianku dijadikan film, kurang lebih akan mirip dengan kisah Paterson, kecuali adegan bangun pagi bersama istri, bagian ini tentu saja akan sedikit menyinggung kaum tuna asmara macam aku ini,  he-he-he.

Sama seperti Paterson, aku pun punya kehidupan ‘lain’ dalam puisi-puisi yang kubuat. Dalam kasusku, menulis puisi juga berarti  menuliskan pengalaman bersama Allah. Jauh sebelum mengenal istilah jurnaling dalam komunitas MAGIS, ternyata aku sudah memulai aktivitas jurnalingku dengan menulis puisi. Memang, isi tulisanku memiliki tingkat kedalaman yang berbeda jika dibandingkan dengan sebelum bergabung di komunitas MAGIS. Sebelumnya, apa yang kuamati hanya berpusat pada apa yang bisa kulihat, sentuh, dengar, dan kucium aromanya. Tapi di balik semua itu ada yang luput dari perhatianku; keberadaan-Nya. Pada akhirnya, aku mulai membuka diri atas Ia yang selalu hadir di dalam apa yang bisa kulihat, sentuh, dengar, dan segala hal yang bisa ditangkap oleh panca indra, menyadari gerak-gerak batin dalam hari-hari yang terasa biasa namun berkat kesadaran akan hadir-Nya di hari-hari yang terasa biasa-biasa saja itu ada banyak tanda cinta yang kuterima.

Melalui film “Paterson”, aku juga dibawa pada titik untuk menyadari kenyataan bahwa seberapa tinggi mimpi yang ingin aku wujudkan, mayoritas dari kita tetap akan terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja. Bangun sebelum matahari terbit, menghabiskan sepertiga hari di depan layer komputer, lalu pulang tanpa sempat melihat langit oranye. Kemudian di atas kendaraan pulang, isi kepala hanya lamunan tentang keinginan yang tak kunjung terwujud. Sampai di rumah, mulai membayangkan skenario hari esok yang akan sama persis dengan hari ini. Sederhananya, seiring berjalannya waktu setiap orang akan terbiasa untuk menjadi biasa saja.  Namun, dengan menulis jurnal, aku diingatkan bahwa setiap pagi  adalah hadiah bagi tambahan usiaku, memiliki sesuatu untuk dikerjakan demi menyambung hidup adalah berkat yang tak bisa semua orang sadari, dan atas harapan-harapan yang tak jadi kenyataan adalah cara Allah mengarahkan untuk melihat keindahan dari hal-hal yang selama ini sudah kumiliki. 

Menulis jurnal adalah cara paling sederhana untuk mengatasi keterbatasan memori kita. Bukan hanya sekadar menuliskan keseharian secara kronologis, lebih dari itu menulis jurnal adalah latihan untuk melatih kepekaan atas perasaan-perasaan yang kita miliki. Bukankah perasaan senang, sedih, marah, bosan, atau kecewa adalah anugerah dari Allah? Tentu akan sangat disayangkan jika perasaan-perasaan tersebut kita biarkan berlalu begitu saja tanpa menyertakan Allah dalam menemukan pola-pola gerak batin kita. 

Ada masa di mana aku merasa dilanda kekalutan tak berujung, kesedihan tak terperikan, dan nestapa yang sepertinya tak kenal ampun. Saat dalam situasi tersebut, membaca kembali jurnal yang kutuliskan seminggu lalu, atau bulan-bulan yang lalu, atau bahkan jurnal dua tahun lalu seringkali berhasil menyadarkanku bahwa semakin lama aku menunduk, yang terjadi hanyalah akan semakin banyak pelangi yang terlewatkan untuk bisa kunikmati.  Ya, dengan menulis jurnal tentu tidak akan menyelesaikan masalah apapun yang sedang aku alami, tapi akan sangat membantu mengurai benang kusut. Tak membuatku seketika menemukan jalan keluar, namun akan sangat membantu menyapu kabut pikiran. 

Dalam mempelajari Spiritualitas Ignasian, kita diarahkan untuk berlatih menemukan Allah dalam segala hal. Dalam suka dan duka, di dalam segala perasaan yang sedang kita rasakan. Oleh karena itu, jurnaling menjadi sarana yang sangat keren kalau kita ingin lebih mengenal diri kita. Semakin kita mampu mengenali diri kita beserta perasaan-perasaan yang menyertainya, semakin dalam pula pengenalan kita akan kehadiran Allah dalam kehidupan kita.

Setiap penyair tahu bahwa tiap halaman kosong dalam buku catatannya akan membawanya pada kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas. Begitu pun tiap-tiap orang yang mau membuka diri untuk menulis jurnal, kita akan dihadapkan pada kejutan-kejutan spiritual yang istimewa dalam hari-hari kita yang terasa biasa-biasa saja ini. Jadi, sudahkah kamu menulis jurnal hari ini?

 


Richard Atmoharjono Simamora

Richard Atmoharjono Simamora atau lebih dikenal akrab dengan sapaan Rcd (baca: er-ce-de). Sehari-harinya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan Jasa Konstruksi di Jakarta.  Mimpinya sederhana, malam tak kesulitan untuk tidur dan pagi tak kesulitan untuk bangun.

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *