Sebuah Refleksi Formasi MAGIS 2023
Akhir dan Awal
Akhir tahun 2022 adalah masa paling kelabu di hidupku. Aku sudah akan mengajukan resign kerja, tapi ditolak oleh atasanku. Dan Januari 2023 kujalani dengan cuti di luar tanggungan selama sebulan penuh sambil memikirkan keputusanku apakah akan resign atau tidak. Atasanku sungguh pengertian, didukung manajemen rumah sakit tempatku bekerja yang juga memberi kelonggaran.
Bulan Januari 2023, aku mengikuti retreat pribadi di Gedono, Salatiga. Pada bulanitu juga, aku memutuskan mendaftar formasi MAGIS. Dan diakhir bulan itu, aku memutuskan untuk tidak resign.
Kini, menjelang akhir tahun ini, tepatnya Desember 2023, aku menyadari bahwa seluruh kesempatan, pengalaman, dan semua orang yang kutemui dalam perjalanan setahun ini adalah rahmat dari Tuhan.
Komitmen
Sebelumnya aku sudah pernah mendengar tentang MAGIS saat kuliah. Belum ada minat untuk ikut saat itu. Ketika akhirnya aku menghadiri pertemuan pertama secara daring di awal formasi 2023 (domisili di Solo), aku berkomitmen untuk mengikuti proses pengolahan selama hampir setahun. Bentuk pengolahannya pun sangat aku sukai, yaitu dengan menulis. Aku merasa yakin aku bisa menjalani formasi ini sampai selesai walaupun harus secara daring. Bahkan meski saat Zoom pertemuan bulanan harus kuikuti secara sembunyi-sembunyi dan berdalih sedang ikut webinar. Aku sempat hampir putus asa ketika semua teman formasi menyatakan bisa ikut peregrinasi selama lima hari di Jogja, sedangkan aku tak bisa meninggalkan pekerjaan selama itu, tanpa ponsel pula.
Segalanya berubah sejak pertengahan tahun ini, aku kembali mengemban tanggung jawab dan peran yang hampir sama dengan diriku di tahun 2021 yang penuh luka (dan juga cinta!). Aku hanya tak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama dengan itu. Komunikasi dengan pekerjaan terus intens dilakukan bahkan di hari libur. Terlebih lagi di bulan Oktober sedang banyak proyek, mana bisa aku ikut peregrinasi? Saat itu aku merasa sedih sekali, merasa bahwa perjalananku di MAGISharus terhenti karena tidak bisa mengikuti peregrinasi. Sampai-sampai teman-teman formasi menghubungiku karena aku tak kunjung bersuara di grup. (Maaf, ya ….).
Aku sungguh bersyukur bahwa ternyata ada jalan keluar. Spiritual Week. Aku bisa tetap bertahan di Komunitas MAGIS, juga berkesempatan mengikutiperegrinasi di kesempatan lain. Bagiku itu suatu anugerah yang luar biasa dan aku mendapat banyak hal yang juga luar biasa terutama dalam seminggu itu.
Perjalanan
Aku selalu mengawali journaling-ku dengan mengucapkan “Yesus terkasih, syukur atas anugerah hari ini.” Namun, entah mengapa, pada beberapa bulan terakhir, aku merasa kosong. Kalimat pembuka itu jadi semacam template yang kembar dari hari ke hari, terkadang hampa dan tidak genuine. Sebagai seorang perfeksionis, aku bertahan untuk menulis journaling setiap hari, meskipun ada hari-hari tertentu yang rasanya sangat capek dan aku tidak mendapat apa-apa dari examen. Juga ada kalanya dalam pengolahan yang begitu panjang durasinya aku berakhir ketiduran di tengah-tengah dan terbangun kaget. MagCir-an dan SaRoh-an pernah juga terkendala sinyal. Namun, di atas semua itu, aku tetap berjuang bertahan dari bulan ke bulan bagaimana pun caranya, meski mungkin kedengarannya setengah memaksa.
Pengolahan di MAGIS membantuku mengenali diriku sendiri. Sejarah hidup yang membentuk karakterku yang seperti saat ini, dengan orang-orang yang mencintai dan tidak mencintaiku. Mereka yang memberiku cinta maupun luka. Aku semakin dalam lagi mengenali kelekatanku juga panggilan hidupku. Aku belajar tentang gerak-gerik roh dalam hidup sehari-hariku, tentang pengambilan keputusan dalam ketenangan dan keheningan di hadirat Tuhan.
Di samping buah-buah perjalanan pribadi, ada juga rekan-rekan seperjalanan. Sampai akhir, kami berjumlah 11 orang (macam tim sepak bola, hihi). Dalam pertemuan bulanan terakhir, retreat perutusan, untuk pertama kalinya aku bertemu langsung dengan mereka semua. Rasanya seperti mendadak punya 10 orang sahabat baru.
Menjelang akhir perjalananku, dalam Spiritual Week dan retreat perutusan, aku mendapatkan anugerah bertubi-tubi. Aku diajak untuk memperlambat gerak dan merasakan hal-hal yang biasanya terlewat begitu saja di tengah hecticness, kecemasan, kekhawatiran sehari-hari. Aku bereksperimen untuk berdialog dengan orang-orang yang mungkin dipandang sebelah mata dan menimba harapan serta kekuatan dari mereka. Bacaan rohani dan kontemplasi film, membuatku menyadari bahwa ada lagi kelekatanku yang lain, yang selama ini kusangkal.
Saat retreat, aku bisa berhenti sejenak dan mundur—agar kemudian bisa jadi lebih kuat, lebih tangguh, lebih siap ketika kembali ke tugas sehari-hari.
Terang
Ada yang bilang, buku adalah jendela dunia. Membuka wawasan pembaca untuk ilmu pengetahuan yang baru, ibarat terang matahari yang terlihat dari balik jendela.
Alkitab juga menuntun pada terang. Setahun terakhir ini, di luar pengolahan MAGIS , hampir tiap hari aku membaca Mazmur dan Amsal berulang-ulang, satu bab sehari (kalau terlewat, biasanya kurapel), tapi baru pada saat retreat perutusan aku mendapatkan AHA! Moment berkali-kali saat membaca Alkitab. Yang paling mengena yaitu di Latihan Rohani 1 hari pertama, bacaan Mazmur 139: Doa di Hadapan Allah yang Maha Tahu.
Dalam retreat, aku dapat memaknai Alkitab lebih mendalam karena ada waktu khusus, doa hening, dan mohon rahmat. Sesuatu yang belum pernah kucoba. Semua pengalaman dan bacaan dalam retreat membuatku menyadari betapa cinta kasih Tuhan melimpah lewat banyak cara bahkan juga terwujud dalam pengorbanan-Nya di kayu salib. Aku pun dianugerahi tubuh yang lengkap, kepandaian, bakat, semua itu pemberian Tuhan secara cuma-cuma.
Pesan
Dalam retreat itu, aku diingatkan juga makna motto hidupku, “fiat voluntas tua” atau “jadilah kehendak-Mu” yang dalam doa Bapa Kami bersambungan dengan “berilah kami rezeki pada hari ini”. Cukup hari ini saja. Segala hal di hidupku telah tertulis dalam Kitab milik-Nya bahkan sebelum hari itu ada, tak perlu aku cemas dan khawatir berlebihan. Saat colloquium dengan Romo Hendra, aku mendapat insight yang lain: Bunda Maria bukannya pasrah pada keadaan saat menanggapi malaikat Gabriel. Kata-kata “terjadilah padaku …” di sana adalah ungkapan imannya. Maria percaya pada Allah; apa pun yang terjadi, dia percaya pada kehendak Allah. Betul-betul pesan yang seolah menamparku yang sering overthinking pada keadaan.
Di penghujung retreat, dalam hatiku muncul banyak niat untuk berbuat sesuatu, yang kusadari bahwa selama ini masih ada totalitas yang tertahan karena aku ada di zona nyaman, ada kelekatan, ada harapan ingin mendapat balasan atas perbuatan baikku. Aku harus bergerak yang mungkin di luar zona nyamanku, menanggalkan kelekatanku, dan tulus memberi apa yang sudah cuma-cuma kudapatkan tadi. Seluruh pengorbanan ini bukan apa-apa jika dibandingkan Tuhan Yesus yang mati disalibkan.
Inilah “salib”-ku. Inilah panggilan perutusanku: menjalani peranku sebaik-baiknya sebagai apoteker di tempat kerja, sebagai anak dan adik di rumah, sekaligus sebagai penulis yang memperjuangkan pesan moral di setiap ceritanya. Semuanya itu berpusat kepada Tuhan. Nama Tuhanlah yang patut dimuliakan lewat semua sarana yang ada padaku, bukan Ad Maiorem Diri Gue, melainkan Ad Maiorem Dei Gloriam!
Stefani Sisilia Handoyo
Stefani Sisilia Handoyo alias Sisil adalah seorang “pembelajar seumur hidup” yang senang menulis. Punya nama pena Roux Marlet di Wattpad dan platform menulis lainnya, sebagian besar fiksi penggemar. Manusia Joglosemar karena lahir di Semarang, pernah kuliah di Jogja, domisili saat ini dan paling lama tinggal di Solo.