Kebahagiaan dan Seluk Beluknya

Sebagai manusia biasa, terkadang kita terlena akan hal-hal besar yang kita beri label sebagai “prestasi” yang dapat orang lain lihat atau yang dikatakan bersifat eksternal. Apalagi saat ini kita dihadapkan pada digitalisasi, yang mana adanya media sosial dijadikan sebagai ajang untuk unjuk prestasi, baik itu lulus kuliah, membangun usaha, hingga mungkin menikah dijadikan sebagai sebuah prestasi. Lantas apakah mencari prestasi atau berprestasi itu salah? Menurut saya, jawabannya tidak, tetapi mungkin teman-teman memiliki pandangan lain, dan tidak apa-apa.

Saya mencoba merefleksikan makna kata “prestasi” bagi diri saya pribadi. Saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan, saya merasa berprestasi apabila saya mampu mempertahankan peringkat di sekolah dan mampu aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah, saya sungguh ingat masa-masa itu.

Namun saya mendapatkan pemahaman yang berbeda setelah saya membaca buku karangan Richard Carlson yang berjudul “Don’t Sweat the Small Stuff” atau bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul “Jangan Membuat Masalah Kecil Jadi Masalah Besar”. Buku tersebut terbagi dalam 100 bab pendek, berisi berbagai macam hal yang saya maknai sebagai acara Richard Carlson untuk menuntun pembacanya dalam mencapai kedamaian dan kebahagiaan. Tujuannya, tak lain adalah menjadi pribadi yang lebih baik bagi diri kita dan orang lain.

Dari 100 bab yang ada, banyak bab yang menyadarkan diri saya akan banyak hal, khususnya akan bagaimana cara saya sebaiknya memperlakukan diri saya dan orang lain. Namun, saya sungguh tersentil ketika membaca bab 87 yang berjudul “Redefine Great Achievement”. Bab tersebut membahas bagaimana kita sebagai manusia sering terkungkung dalam makna “prestasi besar” yang bersifat “eksternal”. Dalam buku tersebut diberikan contoh seseorang yang fotonya dimuat dalam suatu surat kabar. Bagi saya, deskripsi tertentu dalam surat kabar tersebut mungkin akan membawa orang tersebut pada suatu pujian. Rasa bahagia akan pujian tersebut mungkin akan ia ingat dalam hidup, tetapi terkadang bahagia tidak perlu sesulit itu, ada kalanya mampu mencapai fokus adalah suatu kebahagiaan.

 

Lalu saya berefleksi, sebagai manusia biasa, terkadang saya terlalu menggantungkan diri pada prestasi-prestasi besar yang bersifat eksternal. Seolah-olah itu menjadi label bahwa saya sukses menjadi orang bahagia. Terkadang saya berpikir bahwa saya akan menjadi bahagia ketika semua to do list saya selesai, padahal mungkin dalam satu hari saya tidak dapat menyelesaikan to do list tersebut karena adanya kepentingan lain. Pemikiran-pemikiran seperti itu membuat diri saya kurang mensyukuri “small steps” yang saya lalui, padahal kalau dipikir-pikir, untuk mampu menapaki “big steps”, saya membutuhkan “small steps”, bukan? Lalu bukan artinya saya tidak memiliki tenggat waktu dalam mengerjakan to do list. Namun, yang mau coba saya tekankan disini adalah bagaimana proyeksi kebahagian yang terlalu tinggi yang bersifat eksternal yang ada di pikiran manusia yang terkadang dapat menghancurkan hal-hal kecil yang mungkin dapat menuntun dirinya kepada hal-hal yang besar.

Selain itu, karena mungkin terlalu sibuk mencapai proyeksi kebahagiaan yang sifatnya eksternal membuat kita terkadang lupa akan prestasi atau kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri kita (internal). Kita lupa bahwa untuk dapat tetap tenang di tengah masalah hidup, sudah merupakan sebuah prestasi. Bahkan, lebih bermakna bila dibandingkan dengan kebahagiaan yang kita dapatkan karena foto kita yang terpampang di surat kabar sehingga membuat kita mendapat banyak pujian. 

 

Kebahagiaan dapat diukur dari banyaknya pujian yang diberikan orang lain terhadap diri kita, tetapi ketenangan tidak dapat terukur. Dengan memiliki sikap tenang, kita dapat mencari jalan keluar dari masalah yang kita hadapi sehingga meminimalisir masalah lainnya terjadi, kita dapat menjalankan aktivitas kita dengan penuh kesabaran dan tentunya masih banyak buah yang dapat kita petik dari kebahagiaan yang timbul dari dalam diri, yang dalam hal ini saya berikan contoh sebagai “ketenangan”, tentu ada jenis kebahagiaan lain yang dapat lahir dari dalam diri kita masing-masing.

Berbicara tentang kebahagiaan dari dalam diri, menurut saya dapat kita upayakan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah melalui examen dan journaling yang merupakan cara doa yang diajarkan oleh Santo Ignatius Loyola. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, examen dan journaling membuat saya semakin peka atas apa yang sebenarnya saya rasakan, pikirkan dan inginkan. Examen dan journaling membuat saya terhubung dengan-Nya yang menciptakan saya, tapi di satu sisi juga membuat saya terhubung dengan diri saya sendiri. Terkadang, ketika sedang overthinking, saya menuliskan keresahan yang sedang saya rasakan dalam jurnal pribadi saya. Hal ini membuat saya lega dan bahagia. 

Melalui examen, saya kembali mengingat aktivitas saya di sepanjang hari dan mencecap rahmat-Nya yang saya temukan pada hari itu, dan hal tersebut membuat saya bahagia. Examen juga dilakukan sebagai review akan hari yang telah saya lalui dan tentunya pelajaran apabila ada hal yang kurang baik terjadi, sehingga tidak terjadi berulang. Namun di satu sisi, saya sadar bahwa perasaan bahagia adalah semata-mata rahmat dari-Nya yang Ia berikan secara cuma-cuma kepada saya dan Anda. Meskipun demikian menurut saya, patutlah kita sebagai manusia berusaha menjalankan ritual atau hal-hal yang menjadikan diri kita semakin dekat dengan-Nya, sehingga rahmat itu semakin dekat dan menaungi diri kita.

 


Gabriella Natalia

Biasa dipanggil Gaby, seorang yang sangat suka makan bakmi dan minum kopi, gemar mendengarkan podcast dan memiliki kepribadian ENFJ-T.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *