Seorang seniman asal Jepang, Chiharu Shiota memamerkan karya seni instalasinya yang bertajuk The Soul Trembles atau Getaran Jiwa di salah satu museum di Jakarta. Uncertain Journey dan Accumulation—Searching for the Destination adalah beberapa instalasi Shiota dalam pameran itu yang bisa dihubungkan dengan refleksi ini.
Pada instalasi Uncertain Journey, pengunjung akan disambut oleh enam perahu terbuat dari logam yang diletakkan tersebar di seluruh bagian ruangan. Meski terpisah dan tersebar, perahu-perahu tersebut saling terhubung oleh benang-benang merah yang melilit kerangkanya. Benang-benang tersebut berlilitan dari kerangka perahu hingga ke bagian langit-langit ruangan. Lilit kanan, lilit kiri, lilit atas, lilit bawah, maupun lilit silang—membuat pengunjung seolah masuk ke dalam sebuah dimensi baru penuh jejaring benang. Jika kita dekati, bentuk jejaring-jejaring tersebut sungguhlah abstrak, penuh persimpangan—terkadang kusut, terbelit, terurai, lalu tersambung lagi. Jejaring-jejaring ini mengingatkan kita pada perjalanan hidup manusia di dunia. Jalur yang kita tempuh tidak pernah pasti, begitu pula tujuan perjalanannya, sebab tak ada peta yang bisa kita gunakan.
Situasi ini menjadi rumit ketika kita dihadapkan pada dunia yang semakin riuh. Ada begitu banyak pilihan datang di hidup kita, tentu dengan masing-masing tawaran imajinasi terbaiknya. Dunia juga semakin berisik dengan membanjirnya informasi lewat media sosial kita. Ting! Ada chat yang harus segera dibalas, ada followers baru yang harus segera diselidiki siapa, ada tren joget TikTok terbaru yang harus diikuti, dan sebagainya. Bunyi notifikasi seolah menjadi pengingat kalau keadaan dunia saat ini tak memberi kita jeda untuk memproses segala hal dengan tepat.
Banyak dari kita saat ini—entah tua atau muda, hidup bagaikan hantu yang melayang-layang. Meski berat badan semakin hari semakin bertambah—karena maraknya konsumerisme, itu tetap tak mampu menarik tubuh kita untuk kembali menjejak tanah. Setiap hari kita hidup pada angan-angan. Ingin karier yang seperti ini, ingin punya followers yang segini, ingin pacar yang setampan atau secantik ini, ingin merdeka keuangan sedini mungkin, ingin menjadi founder organisasi atau usaha rintisan, ingin punya handphone seri terbaru, dan lain sebagainya. Tak jarang, semua keinginan itu hanyalah upaya pemenuhan standar pencapaian saat ini, tanpa kita tahu apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Hingga berujung pada…… rasa kosong.
Untuk memenuhi kekosongan itu, kita akan mencari kekosongan-kekosongan yang lain. Kita beranggapan bahwa hal itu membuat diri kita menjadi penuh. Nyatanya, kita akan tetap merasa haus dan dahaga. Sibuk meminum air dari botol yang kosong membuat kita lupa akan kerinduan meminum “air” yang sesungguhnya. Yang menyejukkan dahaga dan membasahi hati kita yang kering. Kita kehilangan dambaan dan makna hidup, “Yang penting aku minum! Yang penting aku terus mencari botol, perkara kosong? ya nggak tahu….”.
Jejaring benang-benang kita semakin rumit. Perahu kita macet akibat jejaring benang yang menjadi jalur tempuh kita kusut. Semakin lama, jejaring jalur-jalur pencapaian itu bahkan meliliti tubuh kita, sampai kita tenggelam di dalamnya, tersembunyi tanpa jati diri, dan menghilang dari Sang Ilahi.
Kita pun semakin haus, tetapi tak bisa bergerak karena terbelit dan terbentur sana-sini. Dalam keadaan yang demikian, kita cenderung akan tersadar, bahwa kita butuh ditemukan oleh Sang Ilahi. Sebab, Ia yang akan memberi air kehidupan untuk melegakan dahaga atas kekosongan diri kita. Ia adalah sumber kepenuhan utama dalam hidup manusia. Kerendahan hati dan kesediaan diri kita untuk ditemukan oleh-Nya, adalah modal awal yang penting untuk melepaskan kita dari jerat jejaring pencapaian kosong tersebut.
Setelah lepas dari jeratnya, kita bisa kembali mengarahkan perahu kita untuk sedikit demi sedikit berjalan kembali menempuh jalur kehidupan. Namun, jalurnya tetap bercabang, tetap rumit, bahkan kadang ujungnya putus. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa melalui jalur yang tak terprediksi tersebut?
Santo Ignatius melalui Latihan Rohani mengundang kita untuk berlatih diskresi. Diskresi adalah salah satu kekayaan Spiritualitas Ignasian untuk menguraikan berbagai pilihan dan kemungkinan atas segala kegelisahan, sehingga kita bisa dengan tegas mengambil pilihan yang membawa kita pada konsolasi (kebahagiaan dan kepenuhan rohani). Diskresi bukan hanya sebagai alat untuk menyelesaikan persimpangan-persimpangan atau perkara-perkara dalam hidup kita. Melalui diskresi, kita bisa mencapai diri terdalam, yaitu ruang tempat Tuhan berbincang dengan kita. Sehingga, kita bisa semakin baik mengikuti Tuhan dari hari ke hari dan bisa menangkap kedalaman makna atas setiap peristiwa hidup kita.
Lalu, bagaimana cara paling sederhana dan konkret untuk menerapkan diskresi? Pertama, ingat kembali bahwa hanya hidup yang mengarah pada kemuliaan Tuhanlah yang bisa melegakan dahaga kita. Dengan begitu, kita memiliki pegangan untuk mengarahkan segala keputusan hidup kita pada kemuliaan Tuhan. Kedua, ketika kita dihadapkan pada pilihan yang menuntut kebijaksanaan, tenangkan diri kita dan ambil ruang untuk bercakap-cakap dengan-Nya. Ceritakan semua kebimbangan, kegelisahan, dan kecemasan kita pada-Nya layaknya kita curhat pada seorang sahabat–dengan apa adanya dan tanpa rasa canggung. Lalu, buka hati kita untuk membayangkan dan merasakan, “Jika kita mengambil pilihan, mana pilihan yang dengan membayangkannya saja kita merasa penuh dan bersuka cita?”. Terakhir, ambillah pilihan yang membawa kita pada konsolasi tersebut. Lakukan hal ini berulang kali, hingga hal itu menjadi kebiasaan baru kita.
St. Ignatius berkata, diskresi membantu manusia untuk semakin memurnikan panggilan hidupnya. Diskresi membuat manusia bisa semakin cakap membedakan antara sarana dengan tujuan. Dengan demikian, manusia bisa menjadi pribadi yang penuh (content) yang memiliki bekal cukup untuk memilih jalur terbaik dalam perjalanan menuju Sang Ilahi. Kembali ke instalasi Chiharu Shiota, hal ini sejalan dengan karyanya yang berjudul Accumulation–Searching for the Destination. Karya instalasi yang menampilkan puluhan koper tua yang tergantung di langit-langit ini bagai menggambarkan akumulasi dari diskresi kita yang ditempatkan dalam satu “koper” untuk dibawa dalam perjalanan menuju Allah.
Selain itu, diskresi pun bersifat universal, bagaikan life hack kehidupan yang bisa diterapkan oleh siapa pun dan dari berbagai latar belakang. Untuk menutup refleksi ini, mari kita merenungkan kata-kata Taylor Swift dalam pidatonya saat mendapat gelar doktor kehormatan di New York University. Harapannya, kita dapat terbantu untuk semakin memahami bagian dari Spiritualitas Ignasian ini, yaitu sebagai berikut. “Hidup bisa menjadi berat, terutama ketika kamu berusaha melakukan segalanya sekaligus. Bagian dari bertumbuh dan beranjak ke babak baru dalam hidupmu adalah tentang menggenggam dan melepaskan. Yang dimaksud di sini adalah mengetahui apa yang harus digenggam dan apa yang harus dilepaskan. Kamu tidak bisa membawa semuanya sekaligus, segala dendam, maupun semua update dari mantanmu misalnya. Putuskan bagian milikmu yang ingin kamu pertahankan dan biarkan sisanya pergi. Sering kali, hal baik dalam hidupmu lebih mudah, jadi ada ruang untuk itu. Satu hubungan toksik bisa melebihi banyak kebahagiaan sederhana yang luar biasa. Kamu harus memilih, hal apa yang hidupmu punya waktu dan ruang untuk menanggungnya. Berdiskresilah.”
Jadi, sudah seruwet apa benangmu? Dan mengarah ke mana diskresimu?