Menjadi Manusia yang Content


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Apa yang pertama kali kamu lakukan setelah bangun pagi? Bangun, memposisikan diri untuk duduk dan menyambut saat teduh, melakukan meditasi, atau memilih untuk membuka gawai? 

Kebanyakan dari kita, termasuk aku, lebih memilih opsi nomor tiga. Bagiku, gawai adalah pusat duniaku yang mana semua hal penting dan menarik ada di sini. Saat bangun pagi, aku selalu kepo untuk mengecek siapa dan pesan apa saja yang masuk ke nomorku. Rasanya lepas dari gawai selama 6-8 jam saat tidur akan membuatku jadi kudet, takut sekali tertinggal banyak informasi. 

Padahal, sering kali memilih untuk mengintip pesan WhatsApp sesaat setelah bangun tidur, membuat semangatku dalam memulai hari yang baru turun. Mengapa demikian? Karena aku merasa dijejali banyak sekali informasi atau berita yang membuatku membayangkan sekian banyak strategi untuk menjalankan hari yang baru. Aku merasa sibuk dan paling dicari, tapi ujung-ujungnya jadi stres. 

Apa yang kupikirkan tentang ritme hidup di tengah kehidupan modern yang sangat dinamis dan menyibukkan ini, ternyata berbanding terbalik dengan tulisan yang kubaca dalam buku The Things You Can See Only When You Slow Down karya Haemin Sunim. Aku mencoba memusatkan fokusku pada bab pertama buku ini, yaitu tentang Rest; Why Am I So Busy? When Life Disappoints, Rest a Moment dan Bab kedua terkait Mindfulness; Befriend Your Emotions and When You Are Feeling Low. Kemudian aku mencoba membuat korelasi tentang keresahanku terhadap ramainya dunia sekitar dan mengapa sering kali kepala ini terasa penuh dengan pikiran-pikiran kecil (overthinking). Terlalu sering memikirkan hal-hal kecil membuatku larut dalam kecemasan karena merasa pikiranku bundet (seperti benang kusut).  

Haemin mencoba menjabarkan bahwa manusia menganggap pikiran dan dunia–secara independen–adalah bagian yang terpisah. Setiap kali orang bertanya, “Di mana pikiranmu?” Secara spontan kita akan menunjuk dada/hati atau kepala kita, bukan malah berpikir tentang suatu objek seperti langit, awan, atau pohon. Kita menyadari secara jelas, ada batas terkait yang terjadi dalam pikiran dengan hal-hal lain di sekitar diri kita. Kita menganggap bahwa pikiran yang bersarang dalam tubuh adalah rentan dan kecil jika dibandingkan dengan dunia luar yang sangat luas. Saat melihat dunia luar, kita hanya bisa terfokus pada hal-hal kecil yang menarik perhatian kita. Dan ternyata, hal kecil yang menyita perhatian kita itu, kita pandang atau nikmati sebagai bagian dari seluruh dunia kita (our entire universe). Realitas ada karena pikiran kita ada. Tanpa pikiran ada, tidak akan ada alam semesta.

Apa yang menjadi fokus pikiran kita, itulah yang menjadi dunia kita. Sebagai manusia, kita tidak bisa memaksakan diri untuk bisa tahu dan memahami semua hal karena itu justru akan membuat kita menjadi overwhelming. Bayangkan jika kepala kita dijejali banyak hal, tidakkah suatu saat dia akan meledak? Oleh karena itu, penting sekali untuk bisa menyortir hal-hal yang dirasa bisa dikonsumsi oleh diri sendiri. Kita pun bisa memusatkan pikiran kita terhadap dunia yang menjadi perhatian kita, terutama yang bisa memberikan kebahagian dan makna di dalam hidup. Lensa pikiran yang bijaksana akan membantu kita memfokuskan diri pada sesuatu yang baik.

Di sisi lain, Haemin juga menuliskan bahwa kesibukan yang kita miliki tidak akan menjadi sebuah masalah apabila kita menikmati dan melakukannya dengan penuh kesadaran. Bisa jadi, di situlah sumber kebahagiaan kita. Jadi, sebetulnya bukan dunia yang sibuk atau berisik, riuh itu hanya ada di pikiran kita saja. 

When your mind is joyful and compassionate, the world is, too. Kita memandang sesuatu melalui kacamata kita sendiri. Sebagai contoh, kubangan lumpur bagi sebagian orang tampak menjadi sebuah hambatan untuk melewati sebuah jalan, tetapi di mata anak kecil, bisa jadi ini merupakan sebuah arena bermain sekaligus belajar yang mengasyikkan. Sekali lagi, segala hal dalam hidup ini bisa tampak berbeda dari kacamata yang berbeda pula. Penting sekali untuk melatih pikiran tentang bagaimana memandang sesuatu dengan kacamata yang positif. Aku mengerti diperlukan banyak pengertian dan kebesaran hati saat belajar menerapkan hal ini. Tak jarang, kita suka menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap sesuatu; things should be as ideal as my expectations yang kemudian sering membuat kita kesulitan untuk punya toleransi dengan keadaan sekitar, dan kecewa bila berhadapan dengan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan. 

Salah satu kunci untuk bisa merawat energi positif adalah menjadi manusia yang “content”. Being content diartikan sebagai sebuah kondisi yang mana kita bisa menikmati setiap hal atau momen dalam hidup kita, tanpa perlu selalu larut dalam ambisi-ambisi tertentu. Hidup yang content, bukan berarti hidup yang santai, mengalir tanpa perjuangan, atau seolah-olah tak punya target dan obsesi khusus. Namun, yang lebih ditekankan di sini adalah bagaimana seseorang bisa belajar untuk menikmati proses bertumbuh dan merasakan sebuah keutuhan saat menjalani sesuatu. Tentunya, ini membutuhkan kesadaran secara penuh; sadar dengan apa yang kita pikirkan, bertindak dengan penuh kendali hingga akhirnya kita bisa menghargai setiap proses yang kita lalui. Menerapkan hal ini dalam kehidupan modern yang serba sat-set dan instan akan membantu kita menghargai setiap waktu yang kita lewati bersama dengan pribadi-pribadi dan hal-hal yang ada di sekitar kita. Lebih dari itu, menyadari secara penuh waktu dan keberadaan kita di masa kini (present) akan membantu kita berdamai melepaskan beban akan masa lalu. 

Mengutip quote dari film Finding Nemo “When life gets you down, just keep swimming”. Tak perlu berlarut-larut dalam setiap kesedihan karena kamu tidak bisa hidup di masa lalumu. Salah satu cara untuk mengusir pikiran-pikiran kalut terkait trauma atau luka masa lalu adalah dengan menikmati momen saat ini (keep your mind in the present). Selaras dengan slogan St. Ignatius, yaitu finding God in All things, menyadari secara penuh keberadaan kita beserta dunia sekitar kita akan menuntun kita menemukan banyak sukacita. Tawa dan suka cita bisa melunturkan hati yang keras dan juga membuka pintu untuk bertumbuh. Ketika kita menyadari bahwa kita memiliki cinta yang berlimpah di dalam hati, kita bisa menjadi orang yang baik bahkan terhadap orang asing. Sebaliknya, tanpa punya cinta, relasi kita akan selalu terasa aneh dan asing, bahkan dengan keluarga atau orang terdekat kita. 

Meskipun demikian, sebagai manusia, ada kalanya kita merasa kewalahan dengan diri yang terbebani banyak pikiran. Saat ini terjadi, cobalah untuk mengambil jeda sejenak, ambil waktu hening untuk pergi ke tempat tenang seperti alam, hening bersama pepohonan atau sekadar memandangi air sungai. Momen ini akan membantu kita menganalisis perasaan yang muncul hingga kemudian secara perlahan membantu kita menjadi lebih tenang. Cara ini sangat baik dilatih dalam mengontrol reaksi dan aksi kita terhadap kondisi-kondisi yang kita pandang tidak ideal. Selain itu, menuliskan hal-hal yang menjadi beban pikiranmu seperti kewajiban membalas e-mail, memberi makan ikan, menyelesaikan tugas kantor, dan lain-lain dalam secarik kertas juga dapat membantu meredakan kecemasan. Katakan pada dirimu, kamu bisa kerjakan semua itu saat dirimu sudah lebih tenang, istirahatkanlah pikiranmu, semua pasti bisa dihadapi.

Yang terakhir, masing-masing dari kita pasti pernah menghadapi fase terendah dalam hidup. Dalam Spiritualitas Ignasian kita kenal dengan istilah cannon ball moments atau batu-batu besar kehidupan. Kejadian-kejadian tersebut tentunya memberi efek putus asa dan bahkan membuat kita patah hati. Menerima kenyataan tersebut saja tidak mudah, apalagi diminta untuk berteman dengannya. Analogi dari Haemin bagi saya cukup masuk akal, emosi negatif bisa ibaratkan seperti seseorang yang mencoba memasukkan tangannya ke dalam sebuah akuarium penuh lumpur dan mengobok-obok airnya. Apa yang ia lakukan akan membuat air di dalam bak tersebut menjadi keruh atau tidak jernih. Dalam kondisi ini, kita tidak bisa melihat ikan-ikan di dalam bak tersebut dan untuk membuatnya jernih, kita harus menunggu semua residu tersebut turun dan mengendap di bawah.

Sama seperti emosi negatif, kita tidak bisa memaksakan diri untuk menemukan cara instan melupakannya, semakin dipaksa, pikiran itu akan selalu muncul dan mengganggu kita. Alih-alih demikian, beri diri waktu untuk berdamai dengan hal itu; all you need to do is waiting, it is just temporary. Jangan sampai kita terlarut dalam lautan emosi tersebut, beri diri waktu untuk mengamati dan memahami hal apa yang memantik emosi kita. Saat kita mau belajar untuk rendah hati menerima kondisi tersebut, kita kemudian bisa berefleksi dan mengambil banyak buah-buah baik dari peristiwa yang kita alami. Tak perlu ngoyo saat belajar mengelola emosi atau luka, ketika hatimu sudah siap, luka itu akan sembuh dengan sendirinya.

When our mind is peaceful, the world is, too. 


Anastasia Novi Praptiningsih

Novi bergabung di Magis pada tahun 2021 bersama Circle Rosela. Seorang ambivert yang diberi kesempatan untuk belajar musik bersama anak kecil. Suka menghabiskan waktu dengan jalan kaki sembari mengamati dunia sekitar dan mojok di kedai kopi sambil mendengarkan simfoni orkestra dan nyanyian dari Taizé. Kutipan lirik lagu favorit: Every good gift, all that we need and cherish, comes from the Lord in token of his love.”

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *