“Proficiat ya.. MAGIS tahun ini sudah selesai.. Siap jadi animator buat formasi selanjutnya, On”
– 14 Juni 2022 –
Begitulah pesan singkat dari pendamping formasiku setelah menyelesaikan Missioning 2022 yang merupakan akhir dari kepengurusan Magis Jakarta 2021. Panggilan itu terasa terafirmasi setelah aku menuliskan diskresi panggilan dan memilih “spiritualitas–animator” sebagai roda perjalananku selanjutnya.
Tahap Orientasi
Secara dinamika kegiatan, proses di MAGIS tidak banyak berubah, tetapi secara peran dan tanggung jawab ini cukup berbeda dengan apa yang kujalankan sebelumnya. Terasa menyenangkan dan ada kekhawatiran sedikit karena akan berhubungan langsung dengan “orang” dan bukan berkaitan dengan administratif lagi. Namun, aku percaya dengan Dia yang memberiku sebuah keyakinan bahwa aku tidak akan berjalan sendirian, dan menerima undangan cinta-Nya jadi salah satu konsolasi pelayanan dalam hidupku.
Saat diumumkan nama partner animatorku, aku tersentak tertawa tipis. Nama yang sangat tidak asing di telingaku saat berformasi dan fun fact-nya: nama panggilannya sama dengan nama saudara perempuanku. Singkat kata, The Coffee Mine jadi tempat pertama kami untuk saling berkenalan agar tidak canggung ke depannya dalam menemani teman-teman formasi. Aku sangat bersyukur ternyata pertemuan perdana ini jadi salah satu yang merekatkan kami dan boleh berbagi pengalaman-pengalaman yang unik serta mengesankan. Melengkapi rasa syukur, aku bertemu dengan pendamping circle dengan ciri khasnya tersendiri. Masih dalam ingatanku, saat keberangkatan community building¸ dengan santainya kami masih sempat berkeliling membeli kopi dengan titipan beberapa teman padahal waktu sudah seharusnya berangkat. Dengan modal keyakinan disertai rasa tidak enak juga, kami mempercepat perjalanan dan akhirnya kami tiba sampai tepat waktu.
Bertemu dengan formasi dalam satu circle untuk pertama kalinya menjadi momen paling canggung bagiku. Untunglah dibarengi dengan pertanyaan panduan meredakan rasa kaku ini. Percakapan pertama kami diwarnai dengan minim rasa tawa, kebingungan dan keheningan, obrolan yang singkat hingga keraguan akan kepercayaan satu sama lain. Aku sempat mempertanyakan diri ini dengan “apakah aku bisa melanjutkan ini sampai akhir?” Pastinya sampai saat ini artikel diluncurkan, aku masih berproses menemani bersama mereka dan belajar untuk saling terbuka dan saling menguatkan.
Proses Repetisi
Berformasi kali ini menjadi kesempatanku melihat kembali perjalanan hidupku dan mencecap setiap rahmat dari materi perbul setiap bulannya. Mengutip dari salah satu pesan frater bahwa Repetitio bukanlah sebuah kemandheg-an dalam progress, tetapi sebuah kemajuan dalam kedalaman.
Menilik kembali pada materi Sejarah St. Ignatius Loyola, aku belajar untuk tidak fokus hanya pada pengalaman Pamplona dan Loyola yang memang jadi pemantik pertobatan Inigo. Namun, ternyata pertobatan butuh proses yang tidak terhenti hanya di Pamplona. Pertobatan itu juga ada di Montserrat, Manresa, dan periode selanjutnya.
“Dua tempat penting bagi Ignatius saat berada di Paris adalah Kolese Montaigu dan Kolese St Barbara. Di Kolese Montaigu, ia belajar lagi bahasa latin selama dua tahun bersama anak kecil karena selama di Spanyol studinya amat terganggu oleh urusan dengan inkuisisi. Setelahnya, ia belajar filsafat hingga meraih gelar licensiat dan master di kolese St. Barbara. Di tempat inilah Ignatius berjumpa dengan Fransiskus Xaverius dan Petrus Faber, yang merupakan teman satu kamarnya. Secara rohani, persahabatan mereka dibentuk oleh pengalaman latihan rohani 1 bulan. pengalaman itu pula yang melahirkan cara bertindak yang sama dalam menolong jiwa-jiwa.” – Bersama Ignatius, Mengenal Allah yang Membentukku ditulis oleh Fr. Leo.
Sejauh ini, aku terus-menerus merefleksikan pengalamanku. Pada tahun ini, aku mencoba merefleksikan diriku di Paris. Ketika aku memutuskan untuk melanjutkan pelayanan dan mengulang kembali setiap materi yang sudah pernah didapatkan sebelumnya, aku mendapat banyak perspektif baru dari setiap pemateri. Dan dalam perjalanan saat ini, aku juga harus berjalan bersama dengan sahabat baru, circle spotify yang sedang berjuang pada pengolahan rohaninya juga. Dalam prosesnya, aku sadari bahwa terkadang aku diputarbalikkan pada perjalanan Pamplona, tetapi seorang pendamping mengatakan bahwa tahapan ini adalah tahap formasi yang sesungguhnya, yang mana kamu akan menemukan bahwa sesungguhnya Allah sedang mendampingimu. Proses inilah yang sedang kunikmati.
Berlanjut di Perbul 2 yang membahas tentang Pengolahan Sejarah Hidup. Aku menyadari bahwa apa yang terjadi di masa lalu memengaruhi kondisi saat ini. Proses itu masih sangat berpengaruh kuat sampai masa mendatang. Namun, sebuah pertanyaan reflektif singkat mengusikku :
“Pertanyaan yang sesungguhnya bukanlah “Apa yang dapat kita berikan satu sama lain?” melainkan “kita dapat menjadi siapa untuk satu sama lain?” dalam Nouwen (2008:133)
Dalam formasi berkelanjutan ini, aku belajar untuk mengolah sejarah hidupku lebih dalam dan juga saling membantu satu sama lain untuk sembuh dari luka. Memang tidak mudah, ketika harus meluangkan waktu untuk mendengarkan orang lain, tetapi kita juga perlu terpanggil untuk menjadi penyembuh untuk orang lain, yang pada efeknya itu juga menyembuhkan diri sendiri secara tidak langsung. Kita dipanggil untuk memberikan hidup kita satu sama lain dan bahwa dengan memberikan diri kita menjadi satu komunitas kasih yang sejati. (Nouwen 2008: 136)
Akhir kata, dalam melanjutkan semester kedua berformasi lagi aku belajar dari kutipan dari St. Ignatius Loyola, “Ajari kami untuk memberi dan tidak menghitung biaya”.