Apakah niat baik selalu diterima? Belum tentu! Ada kalanya gayung bersambut. Ada kalanya gayung itu malah dibuang. Rasanya bagaimana? Jangan ditanya lagi Ferguso. “Sakit”, itulah jawabannya.
Kenyataan ini terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Tak pandang bulu! Mari kita mulai dari yang paling sederhana. Apabila ada teman yang sedang kesusahan dan kita menawarkan bantuan, tidak semua tawaran baik yang kita sampaikan itu diterima bukan? Bahkan, malah kita kadang dituduh menganggap rendah kemampuannya dan sebagainya. Meskipun, pikiran semacam itu tidak ada sedikitpun tinggal di ruang hati kita. Namun, itulah realitas. Ada ruang yang tak bisa kita kontrol dalam hidup ini, yakni pola pikir, rasa-perasaan, serta keputusan orang lain.
Idealisme dan Realitas
Terkait benturan antara realitas dan niat baik, St. Ignatius punya kisahnya. Setelah mengalami pertobatan dan berziarah ke Yerusalem, Ignatius sudah memantapkan diri untuk mengabdi dan melayani Tuhan di Yerusalem. Sebuah niat yang baik dan tulus bukan? Namun Ferguso, gayung tidak bersambut.
Ignatius diminta kembali ke kampungnya. Ia tidak diizinkan menjaga tempat-tempat suci di Yerusalem. Ignatius sempat keras kepala dan melawan. Namun, karena diancam akan diekskomunikasi oleh Gereja yang diwakili oleh pemimpin Fransiskan di Yerusalem, Ignasius akhirnya taat. Ignatius kembali ke Spanyol.
Menjadi Anak-anak
Ignasius bingung, akan melakukan apa selanjutnya. Niat baik cum sucinya tidak direstui. Rupanya, Tuhan sudah punya rencana lain buat Ignatius. Ia kemudian memutuskan untuk belajar bahasa Latin agar bisa masuk universitas di Spanyol, lebih tepatnya di Barcelona agar dapat berkuliah Teologi. Namun, sedihnya, Ignatius harus belajar dari nol dan ikut kelas anak-anak. Ia sempat ditertawakan karena dengan usia yang sudah kepala tiga, tapi masih harus duduk belajar bersama anak kecil. Di usia yang semakin tua, ia menjadi anak-anak yang belajar mulai dari hal yang paling sederhana.
Situasi yang sedemikian pelik dan berat ini, Ignatius lalui dengan tuntas. Ia menikmati semua tahap itu. Ia menampilkan kerendahan hati di hadapan kehendak Tuhan yang sering kali tidak pernah jelas dan penuh kejutan. Mungkin itu yang artinya iman. Penuh tantangan, ketidakpastian, tapi mau terus berserah dan percaya bahwa Yang Ilahi akan menuntun menemukan jalan yang paling tepat.
Menjadi Manusia
Ferguso, kisah Ignatius sebenarnya kisah biasa seperti kita pada umumnya. Pengalaman niat dan mimpi yang baik dan mungkin juga mulia ternyata tidak semuanya sesuai rencana. Kita yang saat ini sedang membaca, kalau merenungkan lagi kisah perjalan hidup kita, mungkin akan terkejut, betapa banyak hal luar biasa yang telah terjadi. Ada banyak mimpi ataupun harapan baik kita yang tidak atau belum terwujud. Meskipun demikian, menyadari betapa Tuhan telah begitu baik dan memberi kesempatan bagi kita untuk terus berziarah di bawah kolong langit ini adalah hal yang perlu dinikmati agar tetap waras dan gembira.
Menjadi rendah hati untuk memulai segalanya dari nol juga sebenarnya hal yang sering kita alami. Sebagaimana Ignatius yang harus menjadi anak kecil ketika belajar bahasa Latin, kita pun sering harus rendah hati dan belajar mendalami hal baru dalam hidup, baik yang terjadi karena perubahan hidup, suasana, pekerjaan, studi, dan sebagainya. Sering kali kita mengalami, manakala kita mau membuka diri untuk belajar dan tidak malu, kita pun berkembang dengan menggembirakan. Sebaliknya, mana kala sudah merasa hebat dan enggan untuk rendah hati, segala usaha kita pun tersendat-sendat.
Manusiawi sekaligus Ilahi
Semuanya jika kita perhatikan dengan saksama, sesungguhnya merupakan proses yang manusiawi sekaligus ilahi. Manusiawi karena siklus seperti itu akan selalu terjadi. Mengapa? Karena hidup kita penuh dengan kejutan. Yang menentukan jalan hidup kita bukan cuma keputusan kita, tapi juga orang lain dan keadaan di sekitar kita. Momen belajar hal baru pun sama. Mengapa? Karena perubahan akan selalu terjadi. Menolak atau mengakui, perubahan adalah hal pasti di bawah kolong langit ini, Ferguso. Gak percaya? Tuh ngaca aja, dibandingkan lima tahun lalu, wajahmu yang sekarang masih sama atau sudah semakin menua? Bukankah kamu perlu mengakuinya untuk tidak merasa insecure atas sesuatu yang alamiah sebenarnya.
Proses hidup ini pun sesuatu yang Ilahi. Banyak momen mengejutkan yang membawa hidup kita ke arah yang baru, penuh makna, dan nilai. Orang sering mengatakan, bahwa hidup ini ditentukan oleh pilihan kita dan juga kehendak alam atau nasib. Namun, tahukah kamu bahwa penentu nasib seorang manusia adalah tangan Yang Ilahi. Memang Ia tidak kelihatan, tapi kuasanya senantiasa berpengaruh. Selain itu, fakta bahwa kita masih hidup pun berarti bahwa Sang Ilahi masih percaya, bahwa kita mampu menjadi lebih baik.
Memeluk dan Memberi Diri
Seperti Ignatius, kita perlu memeluk dan memberi diri. Memeluk seluruh proses manusiawi diri kita sendiri yang selalu bersentuhan dengan realitas yang tak pernah pasti dan seideal mimpi. Pada saat yang sama pula, kita perlu selalu memberi diri seutuhnya pada Yang Ilahi yang senantiasa menuntun kita menapaki perjalanan panjang hidup menuju keabadian.
Lebih dari itu, kita pun semakin sadar bahwa niat baik kadang tidak selalu baik. Sebab, apa yang kita pikir baik, belum tentu itu baik bagi Tuhan. Mengapa? Keterbatasan manusiawi kita sering membuat kita tidak mampu memahami keutuhan rencana Ilahi. Namun, lagi-lagi bukan itu persoalannya. Yang menjadi tugas kita adalah terus mencari yang terbaik, rendah hati, penuh semangat untuk belajar, serta senantiasa berserah seutuhnya pada Tuhan, agar Ia menuntun kita seturut jalan terbaik yang telah disiapkan bagi kita.
Apakah Tuhan Kejam?
Jika niat maupun mimpi/harapan baik tidak selalu diterima, lalu di mana wajah Allah yang katanya selalu mendengarkan dan mahamurah pada manusia? Begitu kejamkah Dia? Sekilas memang nampak demikian, Ferguso. Namun, dalam sejarah hidup Ignatius dan tentu saja sejarah hidup sebagian dari kita, bisa kita temukan bahwa setelah melewati serangkaian peristiwa dalam hidup, entah yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, toh kita tetap saja dipercaya. Entah sadar atau tidak, kita terus dituntun mendekat kepada-Nya. Kita dibawa kepada sebuah kehidupan yang terberkati, penuh harapan, meski di tengah terpaan gelombang tantangan.
Tentu Ferguso, yang namanya badai kehidupan akan selalu ada. Pun hal ini sebenarnya sama dengan lautan. Bukankah yang menjadikan laut disebut laut adalah adanya gelombang dan badai, selain bahwa airnya asin, dan sebagainya. Poinnya adalah badai dan tantangan hidup yang tak pernah surut adalah ciri alamiah kehidupan. Kita selalu diberi kesempatan untuk memilih mau seperti apa di hadapan tantangan itu. Mau mengandalkan diri sendiri dan kurang percaya pada Tuhan sehingga hampir tenggelam seperti Petrus ketika diminta berjalan di atas air, ataukah mau terus berjuang sambil berserah sepenuhnya pada Tuhan, sehingga mampu melampaui aneka tantangan hidup dengan penuh iman dan harapan sebagaimana Ibu Maria maupun St. Ignatius Loyola?
Pada akhirnya, sebagai orang beriman dan hendak MAGIS di bawah kolong langit ini, kita perlu bekerja sekeras mungkin dan pada saat yang sama berserah diri seutuh mungkin pada Tuhan agar mampu menjalani hidup ini dengan penuh gairah, harapan, dan cinta. Dan jangan lupa Ferguso, Tuhan sering kali memberi lebih dari yang kita minta. Ia tahu apa yang paling kita butuhkan di hati terdalam, lebih dari yang kita inginkan dan mimpikan. St. Ignatius sudah membuktikannya. Pengalaman penolakan di Yerusalem dan belajar Latin bersama anak-anak di Barcelona sudah membawa Ignatius untuk menolong banyak jiwa mengenal dan mencintai Tuhan lebih dekat.
Salam AMDG