Terlempar dan Dipertemukan

pribadi

Sayang tapi bukan ayang… Mau move on tapi bukan mantan…

Dua kalimat itu sering diucapkan oleh seorang temanku, dan mungkin menjadi gambaran disposisiku saat ini. Aku datang di maGis seperti seorang yang terlempar begitu saja di dalam dunia petualangan Jumanji. Aku tak tahu mengapa aku bisa sampai di tempat ini. Aku tak tahu mengapa aku dikirim ke sini. Aku tak tahu apa yang membuatku “dipercaya” untuk masuk ke dalam komunitas ini. Sejenak kusangka diriku terlempar sendirian dalam dunia maGis ini, tetapi rupanya semesta telah menyiapkan juga orang-orang yang akan berpetualang bersamaku menaklukan segala tantangan yang menghampiri. Aku yang terlempar sendiri, rupanya ditemani oleh lima sosok luar biasa yang menemaniku mengarungi luasnya petualangan yang sudah menanti.

Aku ingin menyebutkan mereka satu per satu. Tata, sang ibu negara siaga yang siap mendengarkan dan membantu kami semua dalam perjalanan dengan pertanyaan-pertanyaan out of the box-nya, dan dengan kecintaanya pada negeri ginseng nan jauh di sana. Ajeng, pribadi yang mencintai Sang Bunda, dan selalu menyinarkan kelembutan dan kesabaran, membuat kami semua merasa nyaman berada bersamanya seperti ketika sedang bersama Bunda Maria. Niko, sosok pendidik generasi masa depan yang menjadi teladan, pengambil jalan tengah dan selalu siap untuk membagikan rangkaian kebijaksanaan kepada kami semua. Helfi, yang sering menjadi target rayuan mesra dari sosok yang disebutkan sebelumnya, dan yang selalu memberi senyuman lebar di depan kamera. Dan Galuh, yang seringkali random, namun selalu menjadi pihak yang memberi booster semangat dan keceriaan dalam perjalanan kami berenam. Bersama mereka aku berjalan mendaki gunung lewati lembah.

“Api-api kecil berpadu menjadi cukup”

Perjalanan kami tidak mudah. Ada berbagai jalan berliku yang kami lalui. Dimulai dari menyadari bahwa kelompok kami di awalnya adalah yang terkecil daripada kelompok lain yang juga mengarungi dunia petualangan yang sama. Perasaan yang awalnya membuat aku dan beberapa temanku merasa kecil, namun toh pada akhirnya kelompok kecil kami justru membuatku merasa bahwa inilah api kecil di malam hari yang menuntun perjalananku di tengah kegelapan. Tata, Ajeng, Niko, Helfi, dan Galuh membawa api kecilnya masing-masing dan merekalah yang ikut menuntun diriku dalam perjalanan ini. Kisah-kisah yang mereka bagikan dengan murah hati, membantuku menemukan titik-titik kecil dalam hidup yang belum kuamati. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan, membuatku sadar bahwa banyak hal belum tuntas terjawab, bahkan juga pertanyaan yang ada di kedalaman jiwaku. Berbagai pandangan mereka tentang dunia, memperluas cakrawala dan cara pandangku. Refleksi-refleksi mereka, membuat aku kembali menemukan cermin-cermin baru untuk menelisik hidupku.

Dia yang mempertemukan aku dengan mereka adalah Sang Empunya Semesta. Oleh karena itu, satu hal pokok yang paling kucermati adalah kedekatan mereka dengan-Nya. Mereka mempunyai bentuknya sendiri dalam merajut hidup mereka dengan hidup Sang Juruselamat. Semua memiliki kekhasannya masing-masing dalam menyatukan hidup mereka dengan Dia. Akan tetapi, beberapa pokok yang sama di antara mereka dan bisa kusimpulkan, mereka adalah yang dicintai, yang mencintai, yang mau ikut bersama Dia. Tiga pokok itu yang aku dapatkan dari mereka, dan itulah api mereka. Aku menjadi semakin sadar bahwa aku dicintai, semakin mau mencintai, dan semakin mau ikut Dia. Semua itu semakin tertanam dalam diriku, berkat perjumpaan dengan lima sahabat itu.

“Ite, missa est”

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Dia telah memberiku, memberi kami, rangkaian perjumpaan yang sangat berarti. Perjumpaan yang membuat kami mampu mengarungi hutan lebat dan samudra yang luas ini. Akan tetapi, setelah cukup lama bersama akhirnya kami harus mengambil jalan masing-masing. Perjalanan masihlah panjang dan jauh dari kata usai, tetapi masing-masing di antara kami sungguh lebih tahu jalan yang harus diambil. Apa yang sudah dibagikan bersama selama ini, mampu menjadi bekal perjalanan. Aku percaya itu.

Hati-hati di jalan…

 


Fr. Escriva Pamungkas, SJ

Skolastik Jesuit yang tercebur dalam komunitas maGis. Berasal dari Kota Gudeg, namun lebih menyukai babi guling, pizza, dan berbagai jenis pasta. Jatuh cinta pada kegiatan memasak. Baginya, memasak adalah bentuk Latihan Rohani. Part-time traveller dan bertekad menjadikan 70% perjalanannya dalam kategori eco-friendly

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *