Di awal tahun 2022, aku memiliki beberapa resolusi yang ingin kucapai. Awalnya, saat semangat itu masih berkobar, rasanya mudah untuk mewujudkannya. Hari demi hari berlalu, semangat itu perlahan mulai padam, aku kalah dengan egoku sendiri, terlena akan hal duniawi yang membawaku kepada kelekatan – kelekatan tak teratur. Aku tidak mampu mengontrol diriku dan aku merasa mulai kehilangan arah. Aku tahu apa tujuanku dan bagaimana cara mencapainya, tapi aku tidak memiliki energi untuk mewujudkannya. Bahkan kalaupun energi itu ada, aku merasa tidak mampu melakukan apa yang seharusnya aku lakukan secara maksimal. Kemudian aku berefleksi, aku bertanya kepada diriku “Apakah aku yang terlalu perfeksionis?” “Apakah aku yang tidak menghargai proses hidup?”
Pertanyaan demi pertanyaan yang menghantui kepalaku pada akhirnya membawaku kepada perasaan bersalah. Aku sadar, perasaan bersalah itu baik adanya, apabila ada dalam batas wajar dan menuntunku untuk bergerak, berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, aku pun tahu ketika perasaan bersalah itu terlalu lama aku rasakan, itu berasal dari si jahat. Si jahat yang ingin membuatku terlena atas kesalahanku, sehingga aku menyerah atas situasi dan kondisiku yang sedang jatuh.
Proses bangkit dari perasaan bersalah, tidaklah mudah bagiku. Aku harus mengakui dan menerima kekurangan dan kesalahanku, mengakui ketidakberdayaanku sebagai manusia biasa. Aku merasakan desolasi, aku tetap berdoa kepada Tuhan, tetapi aku tidak merasakan kedalaman yang sebelumnya aku rasakan. Aku sadar ada sosok yang mencintaiku begitu dalam dan sedang menungguku untuk kembali pulang. Namun, entah kenapa, kedalaman itu tetap sulit aku rasakan. Saat itu, membangun hubungan doa dengan-Nya, aku rasakan sebagai sebuah formalitas sebagai seorang Katolik. Lalu, aku kembali bertanya kepada diriku “Kenapa aku bisa sampai seperti ini?” “Kenapa aku tidak mampu merasakan kedalaman itu?”
Dalam permenunganku, aku mengingat salah satu kalimat dari pembimbing rohaniku, dia mengatakan “Gaby, ketika kamu mampu merasakan dan menamai perasaan itu, itu adalah rahmat yang harus disyukuri, karena tidak semua orang mampu mengalaminya”. Kalimat itu semakin menyadarkanku bahwa aku adalah pribadi yang dikasihi-Nya. Aku terenyuh dan merasa sedih, ada sosok yang begitu mencintaiku, yang setia menunggu aku untuk kembali pulang. Bahkan saat aku jauh dari-Nya, Ia tetap memberikan aku rahmat. Aku membayangkan Yesus yang setia menungguku di depan pintu rumah, berdiri menungguku dengan senyum, menunggu anaknya yang hilang untuk kembali.
Tuhan Yesus, terima kasih karena telah mencintaiku secara total, luar biasa tak terhingga. Ampuni aku yang masih sering terlena akan kesenangan pribadi yang membawaku pada kelekatan – kelekatan yang menjauhkan aku dari-Mu. Terima kasih karena selalu setia menungguku di depan pintu untuk kembali. Jadilah sahabatku selalu sepanjang usiaku, Amin.