(Refleksi singkat atas peregrinasi 10 hari)
Peregrinasi menjadi salah satu momen paling berkesan dalam hidupku. Peregrinasi yang saya maksud disini adalah berziarah selama 10 hari tanpa membawa bekal, untuk belajar menggantungkan diri pada belas kasih orang lain.
Novisiat, sebagai formasi awal para calon Yesuit, menawarkan kepada para frater novis yang sudah mengalami berbagai bentuk olah rohani khusus untuk melakukan peregrinasi. Pasalnya, ada banyak rahmat yang nanti akan ditemukan selama perjalanan. Tentu, identitas asli perlu disembunyikan.
Saya melakukan peregrinasi bersama Fr Craver. Kami melewati suka dan duka perjalanan kurang lebih sepanjang 300 km selama 10 hari. Rute ziarah saya dimulai dari Wonosobo, Jawa Tengah kemudian ke arah Barat menuju Banjarnegara dan Purwokerto. Lalu kami naik ke utara melewati daerah pegunungan menuju Purbalingga.
Saya masih ingat dengan jelas sampai di daerah itu, kedua kakiku mulai bengkak. Kami kehujanan hampir tiap hari, kurang lebih sudah empat hingga lima hari terlalui. Namun yang membuatnya semakin menarik adalah pemandangan gunung tertinggi di Jawa Tengah, yaitu Gunung Slamet, yang ada di sepanjang jalan.
Sesudah dari Purbalingga, kami ke arah timur menuju Pekalongan, Batang, Kendal, dan Semarang. Di sepanjang pesisir Pantai Utara ini kami kepanasan. Bengkak kaki saya kian parah. Ini rute paling panas dan berdebu, serta sulit mendapatkan penginapan.
Ketika sampai di Alas Roban, keadaan menjadi teduh. Sesudah dari Semarang, saya ke arah Selatan menuju Ungaran dan kembali ke Novisiat Girisonta.
Suka duka saya alami bersama Craver. Sering kami berkonflik di jalan, tapi yang lebih parah lagi adalah ditolak ketika minta izin menginap. Selama 10 hari 9 malam itu kami seperti bola pingpong. Mau minta menginap di sini, dioper kesana, lalu dioper lagi.
Sempat beberapa kali kami tidur di Puskesmas, Koramil, kantor polisi, rumah kosong, teras Masjid, Balai Desa yang dingin, dan Gua Maria. Hanya sekali kami mendapatkan tumpangan menginap di sebuah rumah yang sangat sederhana di Semarang,
Di rumah itu kami mendapatkan pelayanan yang sangat ramah. Kami bahkan diberi selimut tebal dan aqua dingin. Ini indah. Mereka Islam dan mau menolong kami meskipun tahu KTP kami Katolik.
Seperti gembel jalanan
Untuk urusan makan, selalu ada orang yang bermurah hati memberi, baik itu ketika kami meminta atau tidak. Saya merasa betul-betul menjadi seorang gembel, yang hidup dari belas kasihan orang lain.
Dalam kegembelan saya itu, saya banyak teringat akan kenyamanan yang saya alami dahulu. Saya disadarkan dengan menjadi gembel saya belajar artinya bersyukur, bahkan dalam hal-hal kecil seperti makan, minum, air bersih, baju yang saya pakai, dst.
Saya mulai melihat bahwa banyak orang yang membantu saya, hidupnya miskin atau berjuang keras setiap hari untuk mencari makan. Mungkin ada perasaan senasib dan sepenanggungan ketika melihat kami kesusahan.
Salah satu momen menyentuh saya adalah pengalaman dipanggil oleh seorang ibu untuk makan di warungnya.
Pukul 3 sore, saya dan Craver melanjutkan perjalanan dari Banjarnegara ke Purwokerto. Hari itu sangat terik dan kemarin kami kehujanan. Craver sakit kepala dan saya sedikit demam. Saya lewat di depan sebuah warung dan di depannya ada seorang ibu menggendong anaknya.
Saya menyapanya dan lewat begitu saja, meski sebenarnya sedang sangat kelaparan karena belum sarapan. Tapi Saya malu untuk meminta. Anehnya, sepertinya ibu itu tahu kalau saya lapar dan langsung memanggil kami untuk makan.
Di situ air mata saya meleleh, karena merasakan nikmatnya makan nasi padang dan minum es teh. Fr Craver mengatakan pada saya untuk bersyukur, karena boleh mengalami pengalaman diberi tanpa meminta. Mungkin muka saya yang gembel ini memang menarik perhatian untuk dikasihani.
Merefleksikan sepenggal kisah gembel jalanan ini, saya semakin disadarkan bahwa Tuhan senantiasa memelihara hidup kami, bahkan di saat-saat sulit.
Saya teringat kata-kata Yesus, “Lihatlah burung di udara. Mereka tidak menanam, tidak menuai, dan tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya di dalam lumbung. Meskipun begitu Bapamu yang di surga memelihara mereka! Bukankah kalian jauh lebih berharga daripada burung?” (Matius 6:26).
Saya bersyukur dapat merasakan pengalaman peregrinasi. Saya merasakan bahwa Tuhan hadir lewat banyak hal. Mulai dari diberi rambutan tanpa meminta, diberi aqua tanpa bayar, dibuatkan nasi kuning, dilindungi dari marabahaya lewat perjumpaan dengan tukang nasi goreng, dan bahkan diberi bekal untuk melanjutkan perjalanan.
Terlebih yang paling mengesan bagi saya adalah kehadiran Fr Craver sendiri, yang mau menanggung semua kerapuhan saya di sepanjang jalan. Termasuk soal kaki saya yang bengkak dan melepuh, ketika saya mencret di jalan dst.
Lewat partner saya ini, saya belajar rendah hati untuk ditolong dan dikasihani. Kesombongan dan kecongkakan diri dibenturkan dengan pengalaman bahwa tanpa belas kasihan dari orang lain, saya bukanlah siapa-siapa.
Penderitaan memang perlu dihindari. Tetapi tak jarang, melalui penderitaan seseorang mampu melihat segala sesuatu dengan sudut pandang lain. Bahkan seseorang dapat menemukan makna hidup yang baru. Tak jarang, seseorang semakin mampu solider dengan orang lain yang sama-sama menderita.
Saya menyadari bahwa mengikuti Tuhan tidak selalu nyaman. Seringkali kita diajak untuk memanggul salib, supaya bisa berempati dan peduli terhadap orang lain yang menderita. Itu juga yang membuat salib itu manis.