Aku lahir dalam keluarga sederhana di Kota Yogyakarta. Aku bersyukur tinggal di tengah keluarga yang harmonis, bapak dan ibuku selalu terlihat baik-baik saja karena sejak kecil aku tak pernah melihat mereka bertengkar di hadapanku dan adik-adikku.
Keadaan nyaman di tengah keluarga yang kualami berbanding terbalik dengan relasiku dalam pergaulan dengan teman-teman. Aku pribadi cenderung pendiam dan pemalu dalam pergaulan dengan merekanku.
Penolakan demi penolakan…
Ketika kelas empat Sekolah Dasar, aku mendaftar menjadi misdinar di parokiku. Itu pengalaman pertamaku bergabung dalam suatu komunitas, yang juga mempertemukanku dengan teman-teman baru.
Aku yang pemalu dan pendiam jarang sekali berbaur dengan teman-teman misdinarku. Mungkin karena hal itu,mereka lalu mengucilkanku. Dikucilkan, dibentak dan selalu dicari-cari kesalahan saat bertugas sebagai misdinar menjadi pengalaman pertamaku ditolak dalam pergaulan.
Sejak saat itu aku makin merasa kesulitan dalam berbaur dan bergaul dengan teman-teman baru. Aku tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri. Pendiam dan pemalu seolah makin menjadi ciri khasku hingga aku beranjak remaja.
Menjadi pendiam dan pemalu sebenarnya sering membuatku merasa tak nyaman dengan diriku sendiri. Ingin rasanya punya banyak teman dan dapat bergaul dekat dengan teman-teman di sekolah seperti yang lain.
Namun ketika aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, aku justru kembali mengalami pengalaman dikucilkan oleh teman-teman di kelasku. Setiap hari menjadi bahan ejekan dan bahan bercandaan, membuatku merasa tertekan. Ditambah perasaan selalu sendiri membuatku merasa takut setiap berangkat ke sekolah.
Aku makin tidak percaya diri. Aku tak pernah menceritakan pada siapapun apa yang kualami karena aku merasa malu tak punya teman. Semua kusimpan sendiri dalam hati.
Mengejar penerimaan…
Pengalaman ditolak dalam pergaulan, merasa sendiri dan kesulitan dalam bergaul, tanpa sadar membuatku memakai topeng untuk tampak selalu baik supaya diterima.
Ketika temanku butuh bantuan, aku tak pernah menolak untuk membantu. Meminjam apapun dariku selalu kupinjami, dan ketika ada teman yang minta dibayari makan di kantin sekolahpun selalu kusanggupi. Padahal untuk memenuhi kebutuhan sekolahku dan memberiku uang saku tiap hari ibuku harus bekerja keras menjual makanan dan tak jarang harus hutang sana-sini.
Seolah semua jerih payah ibuku tak pernah sungguh terpikirkan olehku saat itu, karena yang ada dalam pikiranku hanya supaya aku diterima.
Pengalaman penolakan sungguh berdampak bagiku dalam setiap relasi yang kujalani, termasuk relasiku dengan teman laki-laki. Aku masih ingat sekali bagaimana saat itu perhatian sekecil apapun dapat dengan mudah membuatku terlena, membuatku merasa diterima dan dicintai.
Mengejar penerimaan membentukku menjadi pribadi yang tak bisa tegas mengambil sikap. Akupun mengalami pelecehan seksual dalam relasi yang kujalani dengan teman sekolahku di Sekolah Menengah Atas. Sungguh menyakitkan ketika menyadari kalau dalam relasi itu aku hanya dimanfaatkan.
Namun kesalahan itu tak membuatku belajar atau setidaknya lebih hati-hati dalam berelasi dengan lawan jenis. Beberapa tahun berlalu, aku kembali jatuh pada kesalahan yang sama.
Menjalin relasi dengan laki-laki di usia awal aku beranjak dewasa, tak banyak yang berubah dariku saat itu. Aku terus mengejar penerimaan karena takut akan penolakan. Itu seolah menjadi satu-satunya kebutuhan yang tanpa sadar terus mengejar untuk dipenuhi.
Relasi yang kujalanipun kembali menjatuhkanku dalam relasi yang tidak sehat, karena aku selalu menuruti apapun yang diminta supaya aku diterima, dicintai dan tidak ditinggalkan. Aku kembali membiarkan diriku mengalami pelecehan seksual. Meski saat itu aku menyadari kalau relasi yang kami jalani tidak sehat dan salah, namun aku seperti tidak mau tahu. Satu hal yang pasti, aku terus mengejar penerimaan.
Patah yang mengubah…
Mengejar penerimaan membuatku makin terperosok jauh dalam dosa. Semakin lama bertahan dalam relasi yang tidak sehat justru membuatku makin terlena dan makin tak mau tahu apakah itu dosa atau tidak. Makin dekat, makin tak sehat, hingga suatu alasan akhirnya membuatnya memilih untuk berpisah dariku.
Rasanya saat itu aku seperti ditampar keras oleh kenyataan, seperti dipukul jatuh hingga rasanya sulit untuk kembali berdiri. Semua yang sudah kulakukan supaya aku diterima dan dicintai, berakhir juga dengan penolakan dalam pilihannya untuk berpisah. Pengalaman ini menjadi pengalaman patah hati yang paling menyakitkan bagiku saat itu.
Aku menangis, merasa hancur, merasa sangat marah, merasa sangat bodoh dan takut. Setelah itu, setiap hari dalam pikiranku terus terngiang relasi yang kujalani dan ternyata berakhir dengan perpisahan.
Itu membuatku semakin tak berdaya, aku merasa frustasi. Tapi semua kusimpan sendiri dalam hati karena malu dan merasa bodoh jika harus menceritakannya. Aku tak menemukan tempat berbagi yang dapat mengertiku. Maka untuk pertama kalinya saat itu aku kembali mengadu dan menangis dalam doa setelah lama tak pernah kujalin relasi yang sungguh dengan Tuhan.
Meski merasa berdosa, merasa bersalah, tapi datang padaNya menjadi satu-satunya tempat bagiku saat itu untuk mengadu dan mengaku. Perlahan aku justru mengalami pertobatan.
Saat itu bertepatan dengan masa Pra Paskah. Aku yang sebelumnya tak pernah berpantang dan berpuasa, entah bagaimana menjadi terdorong untuk berpantang dan berpuasa. Seolah itu sebagai silih atas rasa berdosa dan rasa bersalahku, karena tidak menjaga dan menghargai diriku sendiri.
Perlahan hari-hariku makin terasa ringan, hingga tiga hari setelah Paskah aku mendaftar untuk bergabung dalam komunitas Magis Yogyakarta yang saat itu membuka pendaftaran formasi 2016.
Mengolah diri, mengolah hidup di Magis Yogyakarta kala itu menjadi awal pengalaman titik balik dalam hidupku. Mengolah sejarah hidup menjadi pengolahan yang sangat berdampak bagiku. Aku menjadi mampu berdamai dengan diri sendiri, pribadi-pribadi yang melukaiku dan peristiwa-peristiwa luka yang kualami.
Awalnya sangat sulit bagiku. Namun perlahan, dengan terbuka mengungkapkan dan menceritakan apa adanya seluruh pengalaman dan perasaanku dalam setiap pengolahan dan sharingku justru membuatku semakin mampu menerima diriku apa adanya dan berdamai.
RahmatNya sungguh luar biasa bagiku dimana sepanjang 2019 aku diijinkanNya menjalankan Latihan Rohani Anotasi 19 secara terbimbing. Dalam satu pengalaman doa mengkontemplasikan Kisah Sengsara Yesus, disitu hadir kembali peristiwa ketika aku mengalami bullying, dikucilkan di sekolah dan di sampingku ada Yesus penuh dengan luka. Tuhan sungguh mengerti akar lukaku karena penolakan.
Dari kontemplasi itu Tuhan membuatku mengerti bahwa Dia sudah menanggung penolakan dan hinaan bagiku. Aku yang penuh dengan dosa namun Tuhan tetap setia mencintaiku. Menemukan pengalaman dicintai oleh Tuhan kemudian merubahku menjadi pribadi yang lebih percaya diri, mau mengambil setiap kesempatan untuk mengembangkan diri dalam setiap sharing pengalaman, dan yang kemudian memanggilku untuk menerima. Menerima setiap pribadi yang datang padaku untuk didengarkan. Menerima dan mencintai diriku yang kemudian menggerakkanku pula untuk mencintai sesamaku lewat pekerjaanku, apa yang kubuat dan apa yang kujual dalam usaha yang kujalankan saat ini.
Pengalaman patah karena perpisahan kala itu kumaknai sebagai tamparan keras, yang justru membuatku kembali menoleh pada Tuhan yang ternyata selalu ada di sampingku dan sudah lama menunggu dan setia mencintaiku.
“God never takes a day off
to love, to care, to guide and protect
us in every moment of our life”.
Rooswita Ayu Setyaningsih
Biasa dipanggil Ayu, tertarik dengan makanan sehat sebagai bentuk syukur dan cara menghargai hidup dan ingin punya usaha produksi makanan sehat. Kesibukan saat ini merintis usaha makanan sehat dan masih menjadi anggota aktif Magis Yogyakarta sebagai pengurus dan Saroh (sahabat rohani/animator) sejak 2017 setelah selesai formasi Magis Yogyakarta 2016. Motto hidup “When you believe in yourself, everything is possible”.