Luka Mengkerdilkan, Cinta menumbuhkan

“Kerinduan setiap dari kita adalah diterima apa adanya. Diterima sebagaimana aku ada. Dengan seluruh kelebihan dan kekurangan yang ada padaku.”

Kutipan yang kugunakan sebagai perkenalan awal ini, sangat menarik bagiku ketika mengolah luka akibat  pengalaman Cannonball  yang kualami. 

Ya, tentu saja setiap dari kita punya  kerinduan untuk diterima apa adanya. So, jika kerinduan tersebut tidak terpenuhi, kadang tanpa sadar  kita menjadi terluka. 

 

Cinta yang defisit 

Hai, aku Cecil. Keluargku terdiri dari Ayah, Ibu dan kedua kakakku. Sejak kecil aku ingin selalu bisa dekat dengan Ayah. Ya wajar saja, karena aku dan kedua kakakku perempuan semua. Jelas kami ingin dekat dengan sosok Ayah yang menyayanginya kami. 

Aku memiliki pandangan bahwa pada umumnya anak yang paling kecil/bontot adalah anak yang paling diperhatikan, dimanja dan pokoknya segala kebutuhannya paling diutamakan. Namun, aku tidak merasakan demikian. Orang tuaku terutama Ayah lebih memperhatikan dan menyayangi kakakku. 

Sejak kecil aku lebih diurus simbah, inilah yang membuatku terluka oleh ayah. 

Sejak kecil aku dididik menjadi anak yang baik dan penurut. Alhasil, aku sering merasa tidak nyaman, karena merasa tidak bebas. Sifat Ayah yang keras, pemarah dan kasar dengan ibu, juga membuatku selalu ketakutan. Tak jarang aku melihat pertengkaran, yang salah satunya muncul karena masalah ekonomi. 

Karena pengalaman luka ini, aku tumbuh menjadi anak yang tertutup dan selalu memendam. Aku tak bisa mengekspresikan apa yang kurasakan. Sifat tertutupku juga membuat relasi pertemanan menjadi kurang baik. Aku selalu merasa minder, pemalu dan tidak percaya diri. 

Aku pun mengalami kesulitan ketika harus berinteraksi dengan teman laki-laki. Figur Ayah yang keras, kasar dan semaunya sendiri selalu terbayang-bayang, sehingga membuatku menganggap semua laki-laki sama saja, seperti Ayah. 

 

“Luka Mengkerdilkan” – Pelarian untuk mengejar penerimaan 

Pengalaman penolakan membuat diriku merasa sendiri, sepi dan terabaikan. Aku merasa  tidak ada yang memperhatikan dan memahami diriku. Maka, sejak SMP ku selalu berusaha mencari dan terus mengejar penerimaan, untuk bisa mendapatkan perhatian Ayahku bahkan melalui orang-orang disekitarku. 

Aku berusaha menjadi siswa yang berprestasi di sekolah, serta aktif di berbagai organisasi dan kegiatan di sekolah, gereja dan di lingkungan tempat tinggalku. Pokoknya segala sarana akan kupakai sejauh membantu diriku memenuhi kebutuhanku untuk diterima. 

Selalu  untuk Aku, Aku DAN Aku… semuanya demi kemuliaanku. 

Aku sadar bahwa diriku selalu bersembunyi dibalik topeng kerapuhan dan kesepian. Menjadi Cecil yang berprestasi dan aktif disana sini, kupikir akan terlihat keren dan mencuri perhatian Ayah. Namun ternyata, itu juga tak berhasil membuat Ayah memperhatikanku. Aku masih tak mendapat apresiasi darinya. Semua usahaku selalu sia-sia. 

Sampai akhirnya aku mulai lelah dan muak dengan hidupku, rasanya ingin pergi dari rumah. 

Singkat cerita, ketika SMA kelas 2 aku mendapat  tawaran masuk asrama oleh Suster di sekolahku. Bagiku, itu adalah kesempatan yang sangat menarik yang bisa kujadikan tiket untuk pergi dari rumah. 

Aku berharap rasa kecewa, sedih, sepi dan pengalaman lukaku dengan Ayah akan menghilang seiring kepergianku dari rumah. Namun nyatanya luka tersebut masih tetap sama dan membekas. Kepergianku ke asrama hanya memberi kebahagiaan yang semu. 

Hidupku masih dihantui pengalaman luka, sampai membuatku tak berkembang dan mandek.

 

“Cinta Menumbuhkan” – Gugur, Tumbuh, Berbunga

Cecil – Magis Jogja

Aku sungguh bersyukur karena dapat bergabung dalam Komunitas Magis Jogja. Komunitas ini menjadi sarana untuk mengolah pengalaman lukaku. Proses ini menjadi titik balik dalam hidupku, untuk bisa berdamai dengan pengalaman masa lalu.

Aku bergabung dalam komunitas ini sejak 2017, saat aku kuliah. Sebenarnya motivasi awalku bergabung di komunitas ini karena aku merasa merasa hidupku mengalir begitu saja. Aku tak bisa mengambil makna dari setiap pengalaman hidupku. Saat itu, aku juga sedang galau karena putus cinta.

Melalui komunitas inilah aku bisa berproses mengolah pengalaman lukaku secara intens. Setiap harinya aku dibimbing melalui proses yang panjang, sulit dan up/down. Sampai diriku bisa berdamai dengan Ayah serta pengalaman-pengalaman lainnya.

Aku juga diajak memurnikan motivasi-motivasi yang masih berorientasi demi kemuliaanku, sehingga Aku bisa hidup lebih AMDG (Ad Maiorem Dei Gloriam, untuk Keagungan Allah Yang Lebih Besar.).

Cecil – Magis Jogja

Namun sekitar 2 bulan lalu, pengalaman luka itu kembali hadir. Aku baru saja ditinggal oleh orang yang paling aku sayangi yaitu Ayahku. Aku benar-benar merasakan patah hati yang sepatah-patahnya dan hancur sehancur-hancurnya.

Rasanya aku pun juga ingin mati saja. Untuk apa hidup ini terus Aku lanjutkan dan perjuangkan, jika sudah tidak ada Ayah dalam hidupku? Orang yang memberiku luka sekaligus cinta yang luar biasa, sekarang pergi untuk selama-lamanya. Aku benar-benar seperti dalam mimpi buruk!

Aku sungguh tak ingin semua ini terjadi padaku. Aku tidak siap Tuhan! Banyak hal yang masih ingin kubagikan, masih banyak hal yang belum kucapai untuk membahagiakannya.

Rasa kecewa, bersalah, penyesalan dan kesedihan, kualami seperti tidak ada habisnya. Aku menangis setiap saat, setiap detik. Rasa-rasanya hidup ini hanya untuk menangis, meratapi segala kesedihan dan kerapuhan yang kian menerkamku.

Aku benar-benar terjebak di situasi yang sungguh aku benci. Aku tak mau merasakan dan mengalami ini. Sepertinya, penolakan hidup yang selama ini kualami tidak ada bandingnya dengan rasa kehilangan Ayah.

Aku marah, kecewa dengan Tuhan. Kenapa begitu cepat mengambil Ayah dariku? Baru saja aku bisa berdamai dengan Ayah, sedang menikmati dan merasakan cintanya yang sungguh nyata dalam hidupku.

Dia yang menemani setiap langkah dalam hidupku, sekarang tak bisa lagi dekat, tak bisa kudekap. Yang kurasakan hanya rindu yang semakin sesak.

Aku sadar harus bisa perlahan menerima dan move on. Beberapa waktu lalu, aku kembali mengolah pengalaman luka secara intens atas kehilangan ini. Dengan doa kontemplasi luka past life regression, aku mencoba menghadirkan kembali pengalaman kehilangan tersebut dan mengekspresikan segala apa yang kurasakan.

Dalam doa, aku bisa bertemu dengan Ayah dan bisa memeluknya. Aku merasa sungguh lega,  dikuatkan dan diteguhkan oleh Ayah sendiri. Dia memberiku daya untuk mau terus melanjutkan perjuanganku di dunia ini.

Proses gugur ini juga menjadi titik balik dalam hidupku. Aku merefresh kembali pengalaman-pengalaman cinta Tuhan lewat Ayah dan orang-orang disekitarku. Bagaimana Tuhan senantiasa setia hadir menyapa dan memberiku cinta lewat orang-orang terdekatku.

Keterbukaan hati menjadi kunci untukku bertumbuh. Menumbuhkan kembali cinta, harapan, cita, semangat, keceriaan dan kegembiraan untukku.

Ya…. Aku mendapat energi cinta, kembali untuk bangkit dan berbunga. Dan kini, perlahan aku bisa menjadi pribadi yang tegar dan lebih kuat. “I know I gotta be strong. Cause around me life goes on and on and on”.

Cannonball moment ini membuatku banyak belajar tentang proses gugur, tumbuh, berbunga. Tidak hanya sebuah pohon yang mengalaminya, tapi aku juga mengalami proses ini dalam hidupku.

Bagaimana pengalaman gugur/lukaku diolah sehingga sampailah pada fase bertumbuh/menerima pengalaman luka tersebut, kemudian sampailah pada proses berbunga/menyadari cinta-Nya kemudian bisa berdamai.

Aku perlahan dapat menerima setiap peristiwa pelik dalam hidupku. Tumbuh dan berbunganya energi cinta ini, membuat diriku tergerak untuk bisa membalas cinta-Nya. Konkritnya berangkat dari pengalaman cinta ketika aku mendapat kesempatan memperoleh beasiswa dari SD – kuliah. Maka, tujuan hidupku adalah memberikan beasiswa sekolah kepada anak-anak yang kurang mampu.

Aku mau menjadi sahabat bagi sesama, mau mendengarkan dan menemani. Dengan begitu hidupku semakin hidup, karena semua demi kemuliaanNya yang lebih besar.

“There is nothing impossible with God. But, there is one thing He can’t do:

 “He can’t stop loving you”


Cecilia Anis Oktaviani

Aku Cecil, bergabung di Magis Yogyakarta tahun 2017, dan hingga saat ini masih aktif sebagai pengurus dan sahabat rohani. Kegiatanku saat ini adalah menjadi Tim Inigo Line dan fasilitator retret/pelatihan online di RRPS. Aku tertarik di dunia penelitian pangan dan pendampingan orang muda. Motto hidup “I can color everythings”.

 

 

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *