Lain Ladang, Lain Petualang

Ferdi – Magis Jakarta

Hai anak muda yang tertatih

Kamu tampak terlihat sangat letih

Sudah berapa langkah kau tapaki hari ini?

Marilah ….. duduk sejenak sambil menikmati senja di sini

 

Kutanya apa yang kau bawa

Bentuknya seperti sebuah tas keranjang

Minta ijin untuk kutengok apa isinya

Dan ……. kagetnya aku setelah kulihat sebuah barang

 

Tampak sebuah baju ksatria

Lengkap dengan tanda pangkatnya

Mau kau kemanakan jubah kebesaran itu wahai anak muda?

Tidak cukup nyamankah dirimu sebagai perwira?

 

Adakah engkau ini seorang berdarah biru

Yang keluar istana setelah kejadian itu

Yaitu ketika terhempas sebuah batu peluru

Yang masih nampak jejasnya pada kakimu

 

Aku terbelalak mendengar ceritamu

Harta benda sudah menunggu untuk dijamu

Bahkan wanita idaman sudah menantimu

Tapi mereka kau tinggalkan bak angin lalu

 

Kau putuskan untuk ke lain ladang

Sebagai petualang dengan jiwa perang

Berganti rupa menjadi seorang peziarah

Yang berjalan kemanapun Tuhan ingin kau mengarah

 

Masih merinding ku dibuat dari dengar kisahmu

Ya sudah ………. marilah santai beberapa saat lagi

Habiskan dahulu kopi yang sudah kubuat untukmu

Sebelum kau lanjutkan petualanganmu ini

(Monolog fiktif seseorang penjual kopi yang bertemu St. Ignatius pasca kakinya pulih lalu meninggalkan kenyamanan sebagai bangsawan dari puri Loyola)


Ngomong-ngomong, pembaca sekalian yang terkasih tidak salah dalam membaca judul tulisan saya. Memang, peribahasanya sedikit saya gubah dari kata “belalang” menjadi “petualang”. Bukan bermaksud merusak kearifan peribahasa kita, namun di sini saya ingin sedikit menggubahnya supaya bisa masuk dalam tema tulisan saya, yaitu tentang petualangan diskresi dalam mencari dan menghidupi panggilan.

Nah, apa maksudnya penggantian kata tadi? Tentunya bukan tanpa dasar. Dalam berbagai perikop Injil kita selalu diperkenalkan bahwa panggilan itu adalah suatu pekerjaan di ladang Tuhan. Tetapi, saya juga ingin menggabungkan makna biblis panggilan Tuhan itu dengan cara pandang Ignasian sebagai “petualang”. Kita tahu, bahwa St. Ignatius selalu berdiskresi dan beberapa kali “berganti rupa” dalam mencari petualangan panggilannya, mulai dari ksatria, menjadi peziarah, sampai akhirnya menjadi orang Kudus yang kita semua kenal dengan warisan latihan rohaninya. Itulah mengapa saya mengangkat judul “Lain Ladang Lain Petualang” dalam puisi pengantar saya tadi.

(Sedikit curhat) Sebenarnya sampai saat menulis ini pun saya masih speechless mengapa sebagai umat (laicus) bisa mendapat kesempatan untuk memberikan pengalaman tentang diskresi Ignasian kepada para calon klerus di Seminari Menengah Wacana Bhakti, yang umurnya jauh di bawah saya, bahkan mungkin hampir berjarak satu dekade. Awalnya saya ragu dalam menerima penawaran dari Fr. Egi, SJ untuk berbagi pada kelas tersebut, namun pada akhirnya toh saya terima juga, hehehehe. Pada saat menerima penawaran itu, saya hanya percaya bahwa ini merupakan suatu tantangan iman dan kedewasaan bagi saya. Dan berikut inilah sedikit pengalaman berdiskresi yang bisa saya bagikan dari kelas diskresi bersama Seminaris Wacana Bhakti pada 25 September 2021 yang lalu.

Bicara soal petualangan berdiskresi, hal itu juga sepertinya menjadi suatu hal yang dominan bagi saya dalam mencari panggilan. Seperti St. Ignatius yang barlayar menjauh dari canonball moment (CBM)-nya, saya juga beranjak dari sana. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam perjalanan diskresi panggilan, CBM sering menjadi suatu faktor “pengganggu”. Jika tidak segera didamaikan, atau paling tidak kita punya niat dulu untuk mendamaikan, maka CBM mungkin bisa memperkeruh kacamata diskresi kita. Hal itu terjadi sangat jelas dalam petualangan berdiskresi saya, ketika saya melakukan pembiaran terhadap CBM, maka timbul suatu rasa lekat tak teratur yang membuat saya untuk terikat hidup di masa lalu, sehingga saya tidak mindful dan totally present untuk hidup di masa kini. Dan seperti apa yang sudah saya tulis sebelumnya (pada tulisan lain), bahwa perjuangan untuk mendamaikan CBM ini tidak mudah dan membutuhkan komitmen untuk berproses.

Cara pandang kita terhadap panggilan Tuhan ternyata juga berpengaruh terhadap petualangan diskresi kita. Kalau tadi kita sempat bahas CBM sebagai bias masa lalu, kali ini kita akan bahas cara pandang sebagai bias masa depan. Kita sebagai umat Katolik tentu paham bahwa Gereja menawarkan tiga jenis panggilan kudus bagi umat-Nya, yaitu religius, berkeluarga, dan awam selibat. Saya sempat terjebak pada suatu pemahaman bahwa ada satu panggilan yang “lebih baik” dari dua panggilan lainnya, sehingga saya berusaha keras untuk menggapainya. Cara pandang itu membuat saya jatuh pada fantasi dan kekhawatiran di masa depan, dan lagi-lagi membuat saya tidak mindful dan totally present untuk hidup di masa kini. Setelah merenung lebih lanjut, ternyata semua ladang panggilan tadi sama baiknya, tinggal mana yang cocok sebagai sarana kita untuk memuji dan melayani Tuhan.

Dari bias-bias yang sudah saya bahas tadi, sepertinya saya dituntun pada suatu kesimpulan bahwa : “Panggilan itu bukan tentang kenangan atau kejatuhan di masa lalu, bukan juga tentang fantasi atau kekhawatiran di masa depan, melainkan tentang petualangan apa yang bisa kita hidupi saat ini juga.”. Dalam pengalaman saya, meskipun diskresinya identik dengan pengolahan kehendak bebas berupa manajemen bias, tetapi lebih dari pada itu, saya yakin bahwa Tuhan lah yang selalu menuntun setiap kita dalam hidup panggilan kita masing-masing.

Terakhir, pesan dari Romo Okta, SJ menjadi pengingat bagi kami semua yang hadir, “Kita sudah melihat bukti nyata bahwa Spiritualitas Ignasian tidak hanya milik kita saja (red : warga seminari), tetapi juga milik orang muda Katolik yang hidup di dunia sekuler yang jauh dari biara, dan kelak kalian inilah (red : para seminaris) yang akan membaptis anak-anak mereka (red : saya dan pembicara awam yang lain).” Secara khusus, pesan itu makjleb bagi saya karena faktanya saya pun juga tegar tengkuk dalam menghidupi Spiritualitas Ignasian. Seperti St. Petrus yang selalu terlihat paling heroik dalam membela Sang Guru, tetapi di kesempatan lain ia juga menyangkal-Nya, lalu akhirnya terus melakukan laku pertobatan sampai beroleh mahkota kemartiran. Dalam kelemahan saya itu, saya pun juga mengajak, mari selalu membangun relasi yang baik dengan Tuhan sebagai partner diskresi. Tidak apa-apa jika jatuh, rehatlah sejenak untuk berusaha bangun lagi, lalu datang dengan rendah hati pada Tuhan untuk mohon pengampunan dan bimbingan. Relasi semacam itulah yang saya yakini akan membawa kita masing-masing pada jalan yang dikehendaki-Nya, yaitu dengan menjadi petualang pada setiap petak unik di ladang-Nya.

“Saya berdoa bagi teman-teman yang masih berjuang untuk berdiskresi dalam menemukan panggilannya, baik sebagai rohaniwan/rohaniwati, suami/istri, atau awam selibat. Yakinlah Allah selalu menyertai teman-teman, dan beranilah untuk berpetualang di ladang-Nya. Amin.”

Berkah Dalem.


Ferdinand Prayogo Cahyo Santoso

Ferdinand Prayogo Cahyo Santoso adalah salah satu formasi Magis Jakarta 2020. Dia adalah titisan kota Bengawan yang sempat ngangsu kawruh di Kota Gudheg. Sempat nguli di kota Hujan sebagai staff sebuah perusahaan swasta yang bergerak di industri farmasetik hewan. Kerinduan akan kasih Allah membawanya pada langkah pertama menapaki jalan Emaus bersama circle Ayyalah di formasi Magis Jakarta 2020. Saat menulis ini, dia sudah menyelesaikan formasi Magis Jakarta, dan kembali lagi ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi pasca sarjana.

 

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *