Bukan perkara yang mudah menjalani masa kecil yang penuh dengan perundungan. Apalagi jika perundungan itu terjadi beriringan dengan rentetan tanda tanya dalam diri yang tak terbalas, “Kenapa aku berbeda?”
Sejak kelas empat atau lima sekolah dasar, aku sudah menemukan perbedaan dalam diriku. Ya, memang keganjilan itu tidak langsung aku sadari saat itu juga, itu sedikit demi sedikit kusadari hingga lulus SMA.
Aku berbeda dengan anak laki-laki pada umumnya. Ketika anak-anak laki- laki pada umumnya senang bermain sepak bola, aku lebih suka nyanyi-nyanyi di taman belakang rumah dengan menggunakan selendang. Aku lebih senang bermain dengan teman-teman perempuan.
Ketika ikut theater atau ada tugas drama, aku selalu senang melucu bergaya seperti perempuan. Ya, aku memang sedih dengan segala perundungan yang dilakukan oleh orang-orang, tapi aku lebih sedih karena bingung kenapa aku berbeda dengan kakak laki-lakiku sendiri.
Kami hanya terpaut usia tiga belas bulan saja. Ketika kecil kami tumbuh bersama-sama. Kami selalu melakukan apapun bersama, sekolah bareng, makan bareng, main bareng. Kami pun sering dibelikan pakaian yang serupa untuk Misa di Gereja, atau acara-acara lain.
Hingga akhirnya, kami bertumbuh namun terlihat semakin berbeda. Kakakku lebih macho, badannya bisa besar, jago main alat musik, suaranya lebih bagus. Dia pintar ngomong, lebih supel dan sangat lucu.
Dia adalah cetakan muda dari Bapak. Semua yang baik terlihat ada dalam dirinya kala itu. Kondisi kami yang sangat berbeda secara tak langsung menimbulkan perbandingan di antara kami.
“Kok gak bisa main gitar, Mas mu jago kan!”
“Kok kowe kemayu to? Kaya mas mu kuwi lho, gagah? Masmu menang terus renang’e lho!”
“Mas Joko mirip banget sama Bapak ya, kok kowe beda ya?”
Ya aku kalah banding. Memang aku sedih karena itu sampai bertahun-tahun dan yang kulakukan adalah terus “menggenjot” nilai akademisku, karena mungkin cuma itu yang bisa membuat aku terlihat “lebih pintar” atau “lebih rajin” dibandingkan dia; tapi aku lebih sedih karena terus ada tanda tanya besar dalam diriku.
Sampai akhirnya aku menemukan jawaban dari semua tanda tanya itu. Aku tidak diharapkan lahir bukan sebagai bayi laki-laki, tetapi sebagai bayi perempuan.
Ya ketika mengandung bayi kedua, Bapak dan Ibu sangat mengharapkan bayi perempuan setelah anak yang pertama. Tetapi harapan itu hancur ketika hasil USG menunjukkan bahwa janin yang ada di dalam kandungan Ibu adalah laki-laki.
Bapak ibu mengatakan bahwa setelah melihat hasilnya, ibu bapak mencoba menerima dan mensyukuri apa yang Tuhan kasih. Tapi mungkin harapan itu sudah “terdengar” di alam bawah sadarku di dalam kandungan. Entah mungkin ini rasionalisasiku saja, tapi mungkin itu jawaban paling mendekati yang bisa menjelaskan semua tanda tanya dalam diriku.
Bukan perkara yang mudah untuk menerima semua itu. Bahkan ketika proses pengolahan luka batin dan rekonsiliasi itu telah dilakukan.
Bahkan ketika semua luka itu telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Ada saja momen dimana luka tersebut terpantik. Perasaan sakit akan kembali perih ketika mengalami setiap “momen jatuh” hingga aku berpikir “Apakah aku ini produk gagal?”
Ada juga momen dimana aku mempertanyakan cinta-Nya. Mengapa Tuhan membiarkan atau bahkan membuat aku mengalami banyak kesedihan di masa lalu, sampai aku bisa berpikir bahkan dari kandungan pun aku sudah gagal memenuhi harapan bapak-ibu. Belum lagi dengan rentetan kejatuhan, kesalahan dan kegagalanku memenuhi harapan orang lain di waktu dewasa.
Setiap orang mempunyai Cannonball Moment yang berbeda-beda. Ada kalanya serangan itu besar, menimbulkan luka yang dalam secara personal; tetapi ada kalanya luka bisa berbentuk empati terhadap masyarakat yang menjalani kehidupan yang sulit seperti masa pandemi ini.
Tetapi apapun bentuknya, Cannonball Moment akan selalu memberikan Transformation Moment dalam hidup seseorang. Hal itulah yang terjadi pada Inigo.
Lima ratus tahun yang lalu, Inigo, seorang panglima perang Spanyol terkena peluru meriam saat perang di daerah Pamplona. Luka yang sangat parah membuatnya harus terbaring lumpuh di ranjang Puri Loyola, menjalani pengobatan yang menyakitkan, proses penyembuhan yang membosankan sampai kenyataan pahit yang harus diterimanya bahwa tak mungkin lagi bagi Inigo menjadi seorang panglima perang.
Namun Cannonball Moment yang awalnya menghancurkan kehidupannya, mengubahnya menjadi pribadi yang kita kenal dan teladani sampai saat ini, Santo Ignatius Loyola. Itu juga yang akhirnya perlahan mengubah hidupku.
Proses Ignatius dari Cannonball Moment, transformasinya, segala pergulatan yang ia pun alami ketika di Manressa sampai akhirnya meyakini ia memang pendosa tetapi dicintai Allah, menjadi suatu peneguhan bagiku.
Apapun kondisinya, seberapa sering aku gagal, Tuhan tetap menjadi yang pertama mencintaiku bahkan ketika aku “gagal” pertama kali ketika masih dalam kandungan. Cinta-Nya begitu nyata lewat cinta Bapak Ibu yang begitu tulus.
Kalau Bapak ibu secara ikhlas minta maaf kepadaku tentang apa yang terjadi padaku dan selalu mengangkatku ketika berulang kali kujatuh, akupun harus secara ikhlas mengampuni diriku sendiri atas semua kegagalan-kegagalan yang kulakukan.
Akupun mulai bisa mengambil semua hal positif dari apa yang terjadi di masa laluku. Bahwa dengan aku yang seperti ini, aku bersyukur bahwa aku punya sisi feminim yang lebih mampu mendengarkan, perhatian, kelemah lembutan, yang kadang kurang dipunyai oleh laki-laki pada umumnya. Bahwa tak ada produk gagal yang diciptakan Tuhan karena Ia menciptakan manusia sangat amat baik adanya.
Pengolahan Cannonball Moment inilah yang pada akhirnya semakin membawa pada kesadaran tentang menemukan Tuhan dalam segala hal bahkan dalam hal yang menyakitkan sekalipun. Dia yang selalu akan memberikan gambaran besar dan sudut pandang baru tentang segalanya. So, what’s your cannonball moment?
Kusworo Aria
Aryo, pemuda kelahiran Purworejo, Jawa Tengah ini selain gemar bekerja Senin-Jumat sebagai Accountant, sangat suka berendam di kolam renang dan diajak karaoke minimal 2 jam di akhir pekan sebelum pandemi menyerang. Walaupun jarang posting, jangan pernah ragu untuk follow IGnya @kusworo_aria karena pasti di follow back. Pecinta makanan berbumbu kacang ini sangat bersyukur bergabung dengan MAGIS Formasi 2019 karena dapat merasakan “pulang” di minggu kedua.