Menenangkan Suara “Si Gelap”

Judul Buku      : Filosofi Teras
Penulis             : Henry Manampiring
Penerbit           : Penerbit Buku Kompas, 2019
Tebal Buku      : 320 halaman

Filosofi Teras merupakan buku filsafat populer yang membahas filosofi stoa. Buku ini agaknya sedikit berbeda dengan beberapa buku filsafat yang pernah kubaca –yang biasanya penuh ide filosofis mengawang-awang. Pembahasan filosofi stoa tidak mengangankan masyarakat utopis tanpa kelas sebagaimana dianjurkan Marxisme. Yang dianjurkan stoa lebih personal yaitu hidup dengan emosi negatif yang terkendali dan hidup dengan kebajikan (virtue/arete) atau hidup bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya menjadi manusia.

Cukup menarik bagaimana buku ini melatih dan mengajariku untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, dengan segala persoalan kehidupan yang ada. Beberapa poin penting dari filosofi stoisisme untuk diambil. Pertama, hidup selaras dengan alam: hidup selaras dengan Alam. Dengan arti lain, kita harus menggunakan nalar, akal sehat karena nalar atau rasio adalah yang membedakan kita dari binatang Kedua, adalah tentang mengasah empat kebajikan utama (virtues), yakni kebijaksanaan, keadilan, menahan diri, keberanian. Ketiga,  dikotomi kendali (dichotomy of control). Prinsip ini paling utama di Filosofi Teras. Keempat, saat emosi negatif (marah, sedih, baper, cemburu, frustasi, takut, putus asa, dan lain-lain) menerpa, selalu melakukan STAR (Stop-Think & Assess-Respond).

Aku banyak berefleksi diri saat membaca buku ini.  Karya Henry Manampiring ini memberikan banyak perspektif baru yang sangat menarik. Dikotomi kontrol mungkin adalah salah satu topik favoritku yang dibahas cukup lengkap dalam buku ini. Bahasan itu membuatku merenungkan saat-saat diriku membiarkan hal-hal negatif mempengaruhi caraku berpikir.

Selain itu, Filosofi Teras memberikan penegasan bahwa segala sesuatu adalah proses. Tidak semua orang akan memiliki kemajuan linier di mana segala sesuatunya akan selalu naik dari titik awal hingga akhir. Proses dan perkembangan hidup setiap orang berbeda satu sama lain.

Melalui Filosofi Teras aku tersadar. Selama ini di dalam kepalaku tinggal sebuah sosok, untuk lebih mudah aku menyebut dia, si Gelap. Sosok ini tidak berambut panjang seperti mbak kunti atau bergigi runcing layaknya vampire. Si Gelap punya misi penting dalam hidupku, yaitu mengeluarkan suara-suara yang nuansanya mirip dengan komentar-komentar netizen: pedas, tajam, penuh tuduhan, dan asumsi buruk.

Aku teringat hari-hari yang kujalani setahun yang lalu. Selama setahun kemarin, kombinasi pandemi dan social media mendorong untuk “memanfaatkan waktu sebaik-baiknya” jadi makin berlipat ganda. Panik kalau sesuai pandemi,  semua orang jadi lebih pintar dan keren, sementara aku begini-gini aja.

Saat itu, mulailah kudengar suara si Gelap muncul dan mendiskreditkan performaku selama ini. Ketika aku mendapat pujian, si Gelap akan muncul dan bilang kalau itu cuma formalitas. Ketika aku stuck mengerjakan sesuatu, si Gelap akan bilang aku bodoh. Ketika aku lagi mau nulis caption Instagram atau Whatsapp Status, si Gelap akan mengatakan sok iye. Ketika di akhir pekan, aku menghabiskan waktu untuk nonton konten BTS, si Gelap akan bilang “Orang lain banyak coba hal macam-macam loh, selama pandemi. Ente nonton BTS aja, nih?”

Pokoknya, dia akan selalu mencari kesalahan dan ketidaksempurnaanku, sekecil apa pun itu. Bonus buat si Gelap kalau setelahnya dia berhasil bikin aku ciut, lemah, dan setuju dengan semua perkataannya.

Sebagai warga yang sering dikunjungi suara-suara si Gelap, awalnya sering muncul pertanyaan dalam benakku. “Apakah sebaiknya si Gelap dicuekin dan aku pura-pura enggak dengar aja?” Duh! tapi males enggak sih, akting sama diri sendiri. Kalau ada pikiran yang menganggu, pasti bikin enggak tenang. Susah buat bodo amat dan berharap suara itu hilang sendiri.

Setelah berproses di MAGIS, lama kelamaan pertanyaanku terjawab. Aku disadarkan bahwa memang manusia itu kompleks (rumit). Meski drama kehidupan itu-itu saja, namun tidak ada perasaan atau pikiran manusia yang benar-benar saklek bisa terdefinisi dalam kutub perasaan positif atau negatif. Pikiran dan perasaan saling bercampur aduk sehinga pada akhirnya hidup adalah tentang menerima, mengolah setiap perasaan dan pemikiran yang diizinkan muncul itu.

Sama seperti caraku menangani luka batin, awalnya aku merasa tidak nyaman berhadapan langsung sama suara atau emosi negatif dari diri sendiri. Namun, aku percaya setiap pikiran dan perasaanku adalah valid, dan kalau aku ingin mengontrolnya maka aku perlu mengenal setiap perasaan dan pikiranku, terutama suara-suara si Gelap dengan lebih mendalam.

Caranya? Ya, aku coba mendengarkan mereka. “Tapi Taaa! Kita kan enggak boleh kasih ruang buat negativity!” tangis netizen. Ini bukan soal negativity atau positivity, sih? Manusia memang settingan pabriknya sudah kompleks, jadi aku belajar untuk tidak menyederhanakan ini semua hanya sebagai negative vibe atau positive vibe.

Durasi mendengarkan si Gelap enggak lama-lama, kok. Aku hanya ingin dengar dia mau ngomong apa. Bagiku, proses examen, jurnaling, juga pembedaan roh bisa sangat membantu membedakan suara si Gelap. Mana yang sebetulnya bisa disimak karena mengandung kritik yang valid, dan mana yang cuma noise. Cukup signifikan, ya. Contoh,  “kayaknya lo pernah bikin kerjaan yang lebih oke dari ini, deh. Yakin nggak mau diulik lagi?” dan “Dari lubuk hati terdalam,  lo tahu kan, kalau lo enggak jago-jago amat ngelakuin ini?”

Kalau memang kritiknya tepat dan membangun, ya pastinya akan aku pertimbangkan dan jadikan bahan pelajaran. Justru, aku malah berterima kasih sama si Gelap karena sudah mengingatkan aku biar enggak cepat puas. Hasil yang aku keluarkan juga mungkin jadi lebih baik karena udah melewati tahap perbaikan berulang kali.

Tapi ini hanya ampuh kalau kita dalam keadaan tenang. Sudah adem. Enggak akan ngaruh kalau nantangin suara si Gelap saat kepala sudah ngebul dan rasanya ingin banting barang (wow, sabar bunda). Biasanya kalo udah mumet, aku akan rehat sejenak dan goler-goler. Begitu aku balik, biasanya mood udah lebih santai dan aku bisa nanya ke diri sendiri, “Apakah dengan semua pengetahuan, pengalaman, dan kapabilitas yang lo miliki sekarang, lo udah melakukan yang terbaik?” Kalo jawabannya iya, suara si Gelap aku hempaskan. Kalau jawabannya belum, ya, aku akan bangun dari goler-goler dan balik kerja lagi. Lagi-lagi, melalui suara si Gelap aku jadi belajar jujur pada diriku tentang kelemahan dan kekuranganku.

Seluruh perjalanan dan proses menenangkan suara si Gelap sebenarnya adalah usaha untuk berdamai dengan diriku sendiri, menerima baik sisi terang dan gelapku, sisi kuat dan lemahku. Menerima segala baik-buruk diri adalah salah satu caraku mensyukuri segala rahmat dan anugerah yang Tuhan berikan padaku. Hal ini tentu bukan sesuatu yang mudah karena kita harus jujur mengakui kalau kita lemah dan terbatas, sesuatu yang mungkin selalu kita hindari akibat tuntutan lingkungan yang mendamba kesempurnaan dari segala sisi.

Namun, patut disadari juga bahwa hidup berputar dalam mekanisme yang tidak seteratur mesin. Tidak berputar sekonstan roda. Tidak sesempurna fase metamorfosa. Diatur oleh Yang Punya Hidup, dan berjalan sejalan dengan derap waktu dalam ke-maha ketidakteraturan yang terhubung satu dengan yang lainnya. Tak perlu mengelak dari ketidaksempurnaan hidup karena dari situlah cinta dan penyertaan Tuhan bekerja melengkapi semuanya. Dari situ, kita menjadi utuh.

Prinsip hidup bersama suara-suara si gelap ini juga pernah digaungkan oleh SUGA, member BTS dalam lagu “Interlude: Shadow”: “Yeah I’m you, you are me, now do you know. Yeah you are me, I’m you, now you do know”.

Suara si Gelap ini tidak akan pernah bisa hilang seutuhnya karena dia bagian dari diri kita. Suara si Gelap memang bisa toxic kalau terlalu banyak dikasih ruang, tapi begitu dikasih ruang secukupnya dan dipilah-pilah isi omongannya, aku akan dengan senang hati mempersilakan mereka masuk. Yang terpenting bukan menghilangkan suaranya, tapi menenangkan dan merancang terang-gelap, kuat-lemah itu. Kita tidak akan menjadi manusia yang utuh. Utuh tidak harus sempurna, tapi muaranya adalah seperti yang dicita-citakan Stoisisme yaitu mampu hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.


Yacinta Stefila

Akrab dipanggil Tata dan saat ini berprofesi sebagai abdi negara. Sejak berproses dalam Magis Formasi 2020, ia belajar menyadari bahwa Tuhan ada dalam segala hal, dalam nyamannya tempat tidur, hangatnya sapaan matahari, imajinatifnya novel fiksi, juga riuh rendahnya lagu-lagu boygroup, BTS.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *