Hidupilah Hidupmu Selagi Kamu Hidup!

Clouds (Dok. Pinterest)

Judul                : Clouds
Negara             : Amerika Serikat
Genre               : Drama musikal
Rilis                 : Oktober 2020
Durasi             : 121 menit

“Kamu tidak perlu sekarat untuk bisa memaknai hidup.”

Quote ini menjadi kalimat penutup untuk Clouds, salah satu film yang aku tonton dalam menemani hari penuh kegabutan. Clouds merupakan film drama musikal yang diadaptasi dari buku berjudul Fly a Little Higher : How God Answered a Mom’s Small Prayer in a Big Way karya Laura Sobiech. Buku tersebut merupakan memoar tentang perjuangan anak Laura, Zach Sobiech, dalam meraih mimpi menjadi musisi sambil melawan penyakit kanker tulang.

Kisah ini dibuka dengan sebuah performa dari Zach Sobiech menyanyikan lagu  Sexy and I Know It dalam suatu konser musik di sekolah untuk menggantikan posisi sahabatnya, Sammy, yang kala itu sedang demam panggung.

Awalnya, ketika melihat sosok Zach, aku geli  karena dia tidak punya alis dan rambut paska kemoterapi. Sok asik banget ini anak, batinku. Tapi, anggapanku soal Zach berubah setelah mengikuti alur ceritanya. Film ini sukses membuatku begitu tersentuh, tersentil dan nyaris tersandung karena aku diajak kembali mensyukuri banyak rahmat yang sudah kuterima sampai saat ini, khususnya rahmat dicintai.

Perjuangan Zach Sobiech dalam melawan penyakit kanker diawali dengan keputusannya menolak untuk melakukan kemoterapi (lagi). Proses kemoterapi cukup membuat Zach traumatis karena rasa sakit dan efek yang ditimbulkan membuat rambut dan alisnya botak (baca : kayak alien). Padahal sebelum kankernya semakin ganas, Zach sudah dinyatakan bebas kanker, namun ternyata kondisi itu tidak berlangsung lama karena kanker jilid 2 yang kembali menyerang Zach justru makin ganas dan menyebar ke organ lain. Serangan ini juga membuat Zach harus mengadakan operasi dadakan ditengah rencana kencannya dengan seorang gadis bernama Amy. Setelah tragedi operasi dadakan itu, sempat terjadi ketegangan antara Zach dan Amy, namun akhirnya mereka kembali berbaikan dan menjadi teman dekat.

Adegan paling menyentuh buatku adalah saat Laura Sobiech memiliki ide untuk membawa Zach ke Lourdes dan melakukan ritual penyembuhan (dicelupkan dikolam). Ketika menonton adegan itu, bulu kuduk merinding dan terhanyut dalam lantunan lagu yang menjadi backsound, mataku pun mulai berkaca – kaca, ada suatu perasaan keberserahan diri yang muncul kala melihat bagaimana Zach dan Laura meminta pertolongan Bunda Maria guna memperoleh mukjizat kesembuhan. Aku kira itu akan menjadi adegan selanjutnya bahwa sepulang dari Lourdes, Zach akan sembuh, tapi ternyata tidak, keadaan Zach justru semakin parah.

Perasaan dominan yang muncul disepanjang film ini sungguh campur aduk ; ada rasa syukur, haru biru, sedih, terutama karena aku merasa menjadi sosok Zach yang begitu beruntung dilingkupi oleh supporting system yang sangat baik. Ibu, Ayah, dan ketiga saudara kandungnya sungguh sangat mencintai Zach dengan segala keterbatasan Zach. Ibunya harus siap sedia menjadi sopir pribadi untuk mengantar Zach pergi kemana – mana (sekolah, rumah sakit, bahkan juga kencan). Ayahnya juga meski disibukkan oleh pekerjaan, namun tetap berusaha menyempatkan waktu untuk makan malam bersama keluarga. Selain peran keluarga yang selalu ada, sosok Sammy dan Amy juga turut menjadi tim pendukung bagi Zach dalam memaknai hidupnya dan mengisi hari – hari terakhirnya sebelum kematian menjemput.

Melaui film ini, aku diingatkan kembali akan cinta Tuhan yang sungguh ajaib lewat kedua orang tuaku, saudara, keponakan, sahabat rohani maupun teman dekat yang menghantar perjalanan (baca : rohaniku) sampai dititik ini. Adegan demi adegan menghantarkanku pada kesimpulan bahwa : Cinta sungguh berdaya guna, satu – satunya alasan orang ingin melanjutkan hidup adalah karena dia dicintai.

Lalu, apa yang menarik? Zach menghidupi hidupnya dengan satu tujuan : Aku ingin membuat orang lain bahagia. Bukankah ketergerakan untuk membuat orang lain bahagia itu juga timbul dari perasaan dicintai dan kemudian ingin membagikan cinta itu ? Bahkan keinginan Zach sungguh sederhana, dia ingin menjadi alasan dari sebuah senyuman seseorang. Pesan ini dituangkan oleh Zach dalam karya essainya, essai ini seharusnya dijadikan syarat baginya untuk masuk Perkuliahan. Namun, kematian Zach terjadi bahkan sebelum dia dinyatakan lulus SMA.

Tujuan akhir dari hidup Zach ini mengingatkanku kembali akan materi Perbul Asas dan Dasar serta Discernment. Bagaimana kita sebagai seorang ciptaan-Nya untuk mampu menempatkan diri : memilah dan memilih sarana terbaik yang bisa mengarahkan kita untuk semakin mampu mengejar tujuan kita à memuji, menghormati dan mengabdi Allah.

Sarana yang Zach pakai adalah dengan karya musiknya. Ia menciptakan sebuah lagu berjudul “Clouds” yang meledak dipasaran dan mampu mengumpulkan dana cukup banyak bagi perkembangan penelitian penyakit kanker tulang (penyakit yang Zach derita). Di sisa hidupnya, Ia mengabdikan dirinya untuk menjadi berkat bagi sesama lewat karya dan semangatnya. Zach mampu menemukan tujuan hidupnya dan menghidupi tujuan itu meski Zach pun juga mempertanyakan kepada Allah : Dosa apa yang sudah kubuat, sehingga aku harus menderita penyakit ini ?

Zach tidak membiarkan Roh Jahat terus mengutuki keadaan dirinya dan mempersalahkan Allah. Dia membiarkan Allah menuntunnya kepada suatu pemaknaan baru, bahwa hidup bukan tentang sebuah durasi panjang atau pendek, sehat ataupun sakit. Namun, bagaimana kita mengisi dan memaksimalkan hidup ini untuk mewujudkan tujuan dan menyelaraskan diri dengan kehendak Allah.

Lantas bagaimana dengan kita ? Apakah kita butuh “masa sekarat” seperti Zach juga untuk memaknai hidup kita ataukah kita bisa mulai memikirkan, memilah dan memilih sarana terbaik yang bisa kita gunakan bagi Kemuliaan Allah yang Lebih Besar ? Mari merenung dan mencecap lebih dalam.

The world is turning, you are learning. What matters most of all you are not alone.
(Bring You Home – Ronan Keating)


Natalia Setyawati

Lia adalah formasi MAGIS 2019.  Pujakesuma alias putri jawa kelahiran Sumatera ini sedang menjadi buruh di salah satu packaging industri di Kabupaten Tangerang. Serendipity merupakan salah satu kata favoritnya, karena dalam menyelam lebih dalam untuk menemukan Tuhan dalam segala sering kali dikejutkan oleh banyak harta karun berharga yang seolah “kebetulan.”

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *