Aku dan Peluru Pamplonaku (Refleksi satu semester berformasi di Magis)

Ilustrasi

 

Di penghujung malamku ini, aku teringat akan dikau

Masa itu adalah masa-masa kelam bagiku

Engkau dalam kodratmu: dingin, keras, dan tidak punya hati nurani

Tanpa rasa ampun, engkau menghantam kaki ini

 

Sadarkah kau terhadap yang telah kau lakukan, wahai bongkahan tak bernyawa?

 

Kau bukan hanya menghantam selongsong tulang dengan daging yang membalut

Masa depanku sudah benar-benar kau renggut

Pupus sudah harapanku menjadi kebanggaan dinasti

Juga sirnalah mimpiku untuk menjadi pria dambaan sang putri

 

Namun, kodratmu tetaplah seperti ini

Dingin, keras, dan tidak punya hati nurani

Mau aku marah, mau aku benci, bahkan sampai hampir bunuh diri

Kodratmu tidak akan pernah kau ingkari

 

Kini aku mulai menyadari kelekatanku

Sikap dinginmu menjadi saksi bisu transformasiku

Engkau yang awalnya diam tak bersuara, kini seolah ingin berkata-kata

Engkau yang awalnya tak punya rasa, kini seolah menjadi bisikan penuh makna

 

Aku mulai bisa menerimamu

Mungkin, tanpa “bantuanmu” di masa lalu, kini aku tidak akan menjadi sedemikian

Aku mulai bisa memaafkanmu

Walaupun engkau diam, memaafkanmu adalah cara terbaik menatap masa depan

 

Wahai sebongkah batu yang tuna aksara

Ingatkan aku akan derita itu, yang mana aku merasa terhormat boleh menerimanya

Marilah berjalan bersamaku

Dan temani setiap keputusanku sampai akhir hayatku

 

(Monolog fiktif St. Ignatius Loyola kepada peluru meriam yang menghantam kakinya di Pamplona)

 

“Merasa didorong oleh rahmat Allah untuk menuliskannya, maka dengan kehendak bebasku, aku memberanikan diri untuk mengeksekusinya.”

Puisi “Aku dan Peluru Pamplonaku” tersebut kutulis sebagai napak tilas setengah perjalananku berformasi di Magis Jakarta 2020. Puisi tersebut tidak perlu dipandang sebagai narasi sejarah, tetapi sebagai refleksi kontemplatif dari orang kudus yang pernah hidup dan karya-karyanya masih bisa kita cecap sampai saat ini. Ibarat ujian semester, mungkin ini adalah cara Tuhan seolah untuk menguji kerinduanku: apakah kerinduan ini benar atau pura-pura? Syukurlah, kerinduan ini bukanlah kerinduan yang suam-suam kuku seperti jemaat di Laodikia (bdk. Wahyu 3:16), setidaknya untuk saat ini dan selanjutnya masih perlu diuji lagi secara berkala.

Awal mula memutuskan bergabung di Magis, aku di hadapkan pada dua tegangan: kerinduan untuk mencari air kehidupan di tengah pandemi, sekaligus rasa kecewa terhadap masa laluku. Tegangan itu belum kusadari sebagai sebuah tegangan, sampai aku ngeh menyadari hal tersebut sebagai harta rohani yang perlu diolah melalui pendalaman di Magis. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan pekerja dengan menguburkan talenta (harta rohani) ini hingga Sang Empunya kembali untuk menagihnya (bdk. Matius 25:18).

Bicara soal spiritualitas Ignasian, pastinya tidak bisa dilepaskan dari sosok St. Ignatius Loyola, terutama sejarah hidupnya. Bagiku, sejarah hidup St. Ignatius menjadi bingkai dalam olah spiritualitas bersama circle Ayyalah. Disposisi batinku saat itu hampir selalu berfokus pada masa Pamplona dari St. Ignatius. Aku sangat terkesan dan terkesima dengan penderitaan St. Ignatius sejak di Pamplona, dan aku berusaha merefleksikannya ke dalam diriku. Berlagak playing victim, aku secara egosentris merasa sebagai pribadi yang paling menderita di muka bumi ini. Siapa lagi kalau bukan karena penyebabnya: sang peluru Pamplona.

Aku yakin, setiap pribadi punya pengalaman pahit dengan peluru Pamplonanya masing-masing. Peluru Pamplona itu tidak selalu berwujud sebagai sebongkah batu yang ditembakkan dari meriam, namun bisa berwujud seseorang yang hidup, yang mungkin sikapnya mirip dengan peluru Pamplona itu: dingin, keras,dan tak punya hati nurani. Peluru Pamplonaku tidak lain adalah seorang sahabat yang awalnya sangat dekat denganku. Sebelum masa kelam itu, kami layaknya berelasi sebagai sahabat yang saling terbuka, jujur apa adanya satu sama lain. Namun, semua berubah saat idealismenya berusaha mengintervensi segala impianku. Aku yang saat itu tidak berdaya, hanya bisa pasrah menerima, layaknya kaki St. Ignatius yang dihantam oleh peluru meriam itu.

Melupakannya (peluru Pamplonaku) sebagai masa lalu saja ternyata tak cukup bagiku, karena dalam keseharianku sering muncul ingatan-ingatan yang mengusikku. Tidak jarang, ingatan itu ditunggangi oleh kepentingan roh jahat, yang sudah “bersumpah setia” mengusik kedamaian hidup manusia sampai akhir jaman. Dalam hal ini, ketika terlintas akan ingatan masa Pamplona, aku merasa digoda untuk semakin membenci, semakin marah, semakin bersikap emosional, yang semuanya itu berujung pada keinginan balas dendam.

Apakah hal ini baik? Tentu saja tidak. Perlu diakui memang awalnya aku mengklaim semua baik-baik saja, walaupun di balik layar aku menyimpan dendam yang tidak tersalurkan. Klaim sepihak itu justru menghambat dan bukannya malah mendukung transformasiku. Beruntunglah, melalui Magis aku semakin dilatih untuk membuka pandanganku secara lebih luas. Memperluas horizon (pandangan) dapat meringankan rasa sakit, kata Fr. Anes, SJ pendamping circle Ayyalah. Jadi bukan hanya berpusat pada aku, aku, dan aku saja terus, melainkan bagaimana melihat dari sudut pandang yang lain. Hal ini yang kulatih dengan mencoba meminjam kacamata peluru Pamplonaku, sehingga membuatku perlahan berani berkata ‘Mungkin, tanpa “bantuanmu” di masa lalu, kini aku tidak akan menjadi sedemikian,’ dalam puisiku.

Pada akhirnya, aku menyimpulkan bahwa semua bukan tentang apa yang menimpaku, melainkan bagaimana aku menyikapinya. Perbul asas dan dasar yang lalu telah mengajarkanku untuk melepaskan diri dari kelekatan tak teratur, dan dalam konteks ini adalah perasaan playing victim yang terlalu terlarut pada pahitnya masa lalu. Perlahan aku juga mulai yakin, berdamai dengan peluru Pamplona dan mau berjalan bersamanya, adalah cara terbaik untuk menatap masa depan. O iya hampir lupa, semua ini bukan semata karena usahaku, tetapi merupakan rahmat Allah. Syukur kepada Allah.

“Aku berdoa bagi teman-teman yang masih berjuang untuk berdamai dengan masa lalunya. Aku tahu itu tidak mudah. Yakinlah Allah selalu menyertai dan semoga kalian bisa melewatinya.”

Deus benedicat. Amen.


Ferdinand Prayogo Cahyo Santoso

Ferdinand Prayogo Cahyo Santoso adalah salah satu formasi Magis Jakarta 2020. Dia adalah titisan kota Bengawan yang sempat ngangsu kawruh di Kota Gudheg. Saat menulis ini, dia sedang nguli di kota Hujan sebagai staff sebuah perusahaan swasta yang bergerak di industri farmasetik hewan. Kerinduan akan kasih Allah membawanya pada langkah pertama menapaki jalan Emaus bersama circle Ayyalah.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *