Menerima Ketakutan sebagai Rahmat

Virtual Christmas Caroling

Ketika hendak memulai proyek Virtual Christmas Caroling untuk MAGIS Indonesia, aku memang sempat maju mundur. Takut ga bisa lah; takut menyulitkan orang lain lah. Wah, banyak, ya takutnya? Padahal semua itu masih dalam pikiran, belum dicoba. Syukurlah, setelah perjumpaan dengan Rm Koko selaku moderator MAGIS Indonesia yang baru di minggu ke-2 bulan Desember 2020 via Zoom Meeting, seperti ‘ditantang’, sifat ‘senggol bacok’ dalam diri saya sukses tersulut: okay, let’s do this! Jauh sebelum pertemuan itu, sebetulnya saya sudah mulai meraba-raba kira-kira metode apa yang tepat untuk melakukan virtual choir ini. Membidik kira-kira siapa yang akan bermain music, bagaimana teknisnya, lagunya apa yang sekiranya mudah dan indah untuk dinyanyikan dan didengarkan, dsb. Kira-kira apakah lagu yang dipilih itu dapat mengakomodir semua yang ingin terlibat maupun yang tidak.

Ketika pendaftaran untuk penggarapan proyek ini dibuka dan kemudian akhirnya rekaman audio pengiring jadi (kira-kira sudah H-7 menjelang Natal), aku sungguh semangat dan terharu.  Teman-teman MAGIS Jakarta dan Jogja lintas angkatan bermunculan dan mau terlibat.

Dalam formulir pendaftaran, aku mengajak teman-teman menceritakan secara singkat motivasi dan ketakutan untuk mengerjakan proyek ini. Motivasi mereka didominasi rasa rindu menyanyi dalam koor yang terhenti akibat pandemi COVID-19. Sementara pada bagian ketakutan, wah, beragam! Aku juga mengisi kolom ketakutan tersebut demikian: takut ga keburu. Bayang-bayang jadwal kerja, jadwal kuliah lanjutan beserta kuis-kuis untuk persiapan ujian akhir semester, serta menyiapkan platform pengeditan video dan audio, walah langsung auto terngiang di telinga sepenggal lagu dangdut klasik nan mengena itu: kau yang mulai kau yang mengakhiri, Fanya!

Dengan timeline batas akhir pengumpulan di tanggal 23 Desember 2020, di awal proyek ini dimulai aku memohon maaf terlebih dahulu kepada teman-teman yang terlibat, apabila ada yang tidak menggarapnya terpaksa ditinggal. Sedih sekali saat memutuskan ini karena saya merasa bersalah seakan tidak cukup memberikan kesempatan bagi yang ingin terlibat tapi terhambat karena semuanya serba mendadak. Tanggal 22 Desember malam, penggarapan mencapai 30%, puji syukur! Sembari menunggu audio dan video yang belum terkumpul, saya optimis tanggal 24 Desember bisa selesai karena hari kerja dan kuliah terakhir adalah tanggal 23 dan keesokannya sudah libur.

Di hari terakhir pengumpulan, paginya  pukul 8:00, sesaat sebelum aku mulai hands on patient, aku mendapat panggilan telepon. Seseorang yang saya kasihi sampai pada titik kritis terberat dari 10 setelah bulan terakhir ia sakit. Saya diminta mendoakannya. Spontan, muncullah disposisi batin; tidak sampai hati saya memohonkan agar ia tetap diizinkan bertahan karena pasti sakit sekali rasa pada tubuhnya, tetapi saya juga tidak sanggup untuk memohon yang terbaik menurut Tuhan – alias kalau Tuhan mau panggil, panggillah saja, Tuhan. Saya takut untuk ikut mau-Nya Tuhan. Teringatlah lagi ngambek-nya aku kepada Tuhan di awal tahun, saat perjalanan penyakit itu baru saja dimulai.

Saat itu, aku berdoa agar pekerjaan hari itu dapat saya kerjakan dengan lancar dan tetap tenang. Tiga jam berselang, aku mendapat panggilan telepon lagi dan jawaban atas ketakutan saya terjadi. Mau-Nya Tuhan adalah hidupnya selesai, tepat di hari itu. Saya tetap memohonkan rahmat untuk tenang dan fokus sampai seluruh pasien selesai ditangani. Tidak dapat dihindari, air mata pecah juga saat pukul 12:00 ketika mendaraskan Doa Malaikat Tuhan. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.” Atas kesombongan di awal tadi, aku jadi takut jangan-jangan tadi jalan kepulangannya menjadi tidak tenang karena saya tidak ingin berserah dengannya.

Selesai bekerja, bergegas aku menyusul ke rumah sakit dan ikut mengantar jenazah untuk disemayamkan di rumahnya di Bandung. Karena seluruh keluarga memang seminggu terakhir sudah menemani terus di Bekasi, kondisi rumahnya kosong. Rasanya aku telah membuat keputusan tepat untuk ikut ke Bandung karena akhirnya bisa membantu berbebah. Tengah malam di pergantian hari, aku baru sempat menengok lagi file audio dan video yang masuk. Turut masuk beberapa pesan dari teman-teman MAGIS yang telah mengetahui kondisi saya saat itu, satu dua orang menanyakan, apakah proyek virtual choir masih sanggup dikerjakan. Saya paham maksud teman-teman tanpa tendensi untuk mengejar-ngejar, tetapi sungguh untuk mengecek apakah saya bisa menyelesaikannya dalam kondisi seperti itu. Aku masih berjuang menyanggupi. Di sela-sela menjaga jenazah, aku menggarap proyek tersebut. Mendengarkan lagu We Wish You A Merry Christmas berulang kali nyatanya tidak lantas membuat saya ngamuk, mengingat saya sedang berduka. Berduka ya berduka, Natal ya Natal, batin saya. Saat itu saya seperti mati rasa.

Keesokan harinya ternyata menjadi lebih sibuk, termasuk mengatur agar suasana duka tetap menegakkan protokol kesehatan. Malam harinya, aku kembali membuka proyek virtual choir. Mungkin karena terbawa suasana Malam Natal dan emosi yang campur aduk, seperti anak SD yang panik belum bikin PR untuk dikumpulkan esok hari, aku melanjutkan proses editing sambil menangis. Syukur masih bisa sambil senyum-senyum juga. Aku senang melihat ekspresi teman-teman yang bernyanyi dengan penuh cerah, penuh sukacita Natal. Belum sampai menyelesaikan, karena badan sudah lelah, aku ketiduran.

Tanggal 25 Desember 2020 rasanya menjadi hari pertama saya tidak Natalan. Banyak sekali pesan ucapan Natal di ponsel yang terlewat. Siang hari setelah pemakaman selesai, saya langsung pulang ke Depok, kemudian lanjut mampir sebentar ke klinik untuk tes swab antigen. Di sepanjang perjalanan saya masih terus menggarap proyek tersebut, berusaha mengejar deadline yang tinggal hitungan jam. Sesampainya di rumah, setelah mandi dan bersih-bersih, ternyata sudah pukul 18:00. Proses editing terus dikebut sambil makan malam. Ketika pukul 19:00 spontan aku teringat form pendaftaran virtual choir. Ketakutan timbul: ini sungguh enggk keburu.

Puji Tuhan, Proyek Virtual Christmas Caroling ini akhirnya terpublikasi pada tanggal 26 Desember 2020 pagi, hari Natal ke-2 sekaligus Pesta Nama St. Stefanus Martir Pertama. Terlepas dari rasa syukur proyek ini selesai, aku sungguh merasa bersalah terhadap teman-teman yang terlibat, khususnya bagi yang menyanyi, karena sudah aku tetapkan timelinenya tapi akulah pula yang melanggarnya sendiri.

Dalam hari-hari selanjutnya, jujur aku masih merasa kopong. Syukurlah badan tidak ikut-ikutan ndablek. Puji Tuhan saya sehat secara fisik, meski seringkali menguap di siang hari karena sulit tidur malam. Kehidupanku tetap berjalan dan  aku berusaha menjaga profesionalitasku dalam bekerja serta tetap menguatkan mental untuk menghadapi 2 pekan pertama di tahun 2021 yang harus diisi dengan ujian akhir semester. Aku sangat takut gagal karena banyak persiapan belajar yang terlewat dalam fase burnout-ku. Ndilalah, terjadi lagi ketakutan itu, saya tidak lulus di satu mata kuliah.

Akhirnya aku menemukan dua perasaan dominan dalam masa-masa kelabu itu: pertama-tama adalah takut, yang kemudian seringkali bercampur dengan perasaan kedua, yakni bersalah. Kita tentu sering mendengar; perbanyaklah afirmasi positif! Jangan sering-sering takut, nanti beneran kejadian! Saya sempat terus-menerus kepikiran narasi tersebut, yang nyatanya membuat perasaan bersalah itu makin membuncah. Atas segala yang terjadi, entah mana yang duluan, keduanya sukses menjadi kelambu yang menghalangiku untuk bertumbuh. Kok kayaknya aku ngga boleh takut, sih… Frustasi juga memikirkannya.

Baru-baru ini aku untuk menyetir mobil di Tol Becakayu dalam kondisi hujan deras. Menyetir saat hujan di jalanan normal saja sudah membuat saya grogi, apalagi ini di tol yang tinggi dan banyak angin, stir menjadi mudah tergoyang. Belum lagi bersaing dengan truk-truk menuju pelabuhan karena saya sedang mengarah ke Ancol saat itu. Dalam ketakutan itu, terbayang lukisan Yesus berdoa di Taman Getsemani. Entah betul atau tidak, namun saya jadi berpikir saat Yesus berpeluh darah sedemikian rupa, apakah Yesus sungguh dikuasai oleh ketakutan-Nya? Saya menjadi merasa ditemani, bahwa ada kalanya ketakutan itu menguasai diri. Yesus pun merasakannya juga.

Sekiranya beberapa kali Tuhan bersabda “Jangan takut! Aku besertamu! Percaya saja!” rupa-rupanya sangat sulit saya terima karena saya terlalu sibuk mengartikannya sebagai ‘aku harus berani’, ‘aku harus melawan rasa takutku’, ‘bersama Tuhan aku tidak akan gagal’, ‘enggak boleh takut’. Memang betul adanya, namun seringkali pengertian-pengertian ala kadarnya itu yang malah menjebak membuat saya jumawa, stress, tambah takut, tambah merasa bersalah. Ternyata yang kejam bukan Tuhan, melainkan aku terhadap diriku sendiri.

Hampir 40 hari berlalu, ada satu hal lain yang saya sadari. Pada hari-hari saya banyak menangis, ternyata bukan karena sedih dipisahkan oleh kematian, melainkan karena saya merasa Tuhan begitu dekat, menyentuhku dengan lembut, menuntunku pelan-pelan merefleksikan ini semua bahwa takut ada agar aku waspada. Bahwa dengan ketakutan yang sungguh ada dan menjadi kenyataan, akan mengantarkanku berseru-seru memanggil Tuhan. Kembali ke peristiwa kematian, hal ini tidak serta merta perlu terus menerus saya jadikan alasan untuk hidup angot-angotan. Susah, memang.

Dengan penuh rasa syukur, saya juga menyadari bahwa tidak ada satu doa pun yang tidak dikabulkan-Nya. Termasuk untuk memohon rahmat untuk mencerna ini semua, meski belum paham, dan tidak berekspektasi untuk sungguh-sungguh paham (iya, agar misteri iman itu tetap ada), rahmat itu tetap diberikan. Saya dikuatkan. Peziarahan harus tetap dilanjutkan.


Maria Stefania Kusumastuti

Bekerja sebagai fisioterapis. Mulai bergabung dengan MAGIS Jakarta pada tahun formasi 2016. Memiliki banyak hobi dan minat yang dipelajari secara otodidak, seorang penikmat pelbagai macam seni.
Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *