The boy rode along through the desert for several hours, listening avidly to what his heart had to say. It was his heart that would tell him where his treasure was hidden.
– The Alchemist, Paulo Coelho –
Perlu diakui, saya harus membuka kembali file-file terdahulu saat di Novisiat untuk menuliskan kembali refleksi atas sejarah hidupku. Saya perlu membuka lagi album perjalanan bersama dengan bapak, mama, kakak, adik, dan orang-orang yang saya kasihi di masa lalu. Saya perlu mengenang kembali rasa senang dan sedih, luka dan memaafkan, kecewa dan bangga, serta benci dan cinta. Hingga akhirnya, saya dapat menemukan dan merasakan kembali makna “tanpa syarat”.
***
Pada mulanya adalah kata “diam”. Diam, karena pada dasarnya saya merupakan pribadi yang pendiam. Diam, karena saya bukan merupakan pribadi yang sangat afektif, sama seperti Bapak saya yang tidak terlalu banyak berkata-kata. Setiap kali seseorang bertanya kepada saya tentang perasaan, saya agak merasa kesulitan untuk menjawabnya.
Banyak hal terasa “biasa saja”. Bahkan, beberapa tahun lalu, ketika saya sedang liburan seminari, dan menyempatkan diri ke rumah, Ibu saya kerap kali bertanya, “Bagaimana kabarmu di seminari?”
“Ya, biasa saja.”
“Kabar kok biasa saja.”
“Memangnya, apa lagi, ya? Nyatanya, semua berjalan dengan normal. Aku dapat berdinamika sesuai jadwal yang diberikan. Aku juga dapat bergaul bersama teman-teman dengan baik.”
Bukankah itu juga merupakan sesuatu yang biasa terjadi? Entah ya, mungkin karena banyak hal telah sering terjadi, termasuk kasih dari keluarga dan Tuhan sendiri, semuanya itu tampak “biasa”. Mungkin karena banyak hal terasa “biasa”, segala sesuatu tampak mengalir begitu saja.
Sering kali, dalam berefleksi, saya termenung. Apakah dalam sesuatu yang “biasa” ini, sebenarnya terdapat yang luar biasa ya? Artinya, dalam proses menulis sejarah hidup, saya mulai bertanya, “Kenapa ya saya kerap kali mengatakan biasa saja? Apakah hal itu justru merupakan cermin bahwa saya kesulitan untuk mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya? Apakah hal itu menjadi tanda bahwa, “I am actually not okay”? Proses bertanya, menjawab, dan menimbang-nimbang ini lantas mengundang saya untuk mengenang kembali lembaran hidup saya. Saya mencari dan menyusun kembali puzzle yang tercecer, hingga akhirnya memahami “siapa diriku”.
Kadang-kadang, saya merasa heran dengan teman-teman yang dapat bercerita panjang-lebar, serta mengisahkan kedekatannya dengan Ibu, atau Bapak mereka. Memang, dalam keluarga sederhana saya, tidak ada yang namanya kebiasaan untuk kumpul bersama dengan intensi saling bercerita satu sama lain. Kendati kami sering makan bersama di depan TV, sejujurnya tidak banyak obrolan tentang pengalaman sehari-hari secara mendalam di antara kami. Apakah ketertutupan ini juga terkait dengan relasi dan pengalaman saya terhadap masing-masing pribadi di dalam keluarga?
Saya teringat pada satu kisah. Ketika saya berusia lima tahun, seorang teman TK saya berkunjung ke rumah bersama dengan ibunya. Awalnya tampak baik-baik saja. Pembicaraan di antara ibu-ibu terasa hangat. Saya dan teman saya dapat bermain dengan penuh persahabatan. Hingga kemudian, entah mengapa, saya merasa posesif dengan mainan saya sendiri, mungkin karena teman saya itu berniat meminjam beberapa mainan untuk dibawa pulang. Saya pun merasa terkejut, dan langsung mengambil semua mainan, termasuk yang sedang dipegang olehnya. Melihat hal tersebut, Ibu saya sepertinya tampak malu dan mungkin juga jengkel terhadap diri saya. Suasana yang awalnya bersahabat berubah menjadi kekecewaan. Tidak lama kemudian, teman saya dan Ibunya berpamitan. Ibu mulai meluapkan rasa kecewanya kepada saya. Tanpa banyak berkata-kata, dia mulai mengambil kain dan langsung mengikat tanganku di atas kasur. Saya merasa takut. Saya juga tidak dapat melawan dan hanya menangis dengan keras. Saya meronta-ronta, tetapi tenaga saya tampaknya tidak sekuat ibu. Hingga akhirnya, saya kelelahan dan tertidur dengan tangan terikat. Ya, perasaan terhadap pengalaman itu masih cukup kuat di dalam benak saya. Begitukah gambaran Ibu saya dulu?
Jujur, sebelum masuk sekolah, saya juga sering kali memanggil salah seorang tetangga perempuan dengan sebutan “Ibu”. (NB: Sebenarnya, saya lebih memanggil ibu kandung saya dengan sebutan “Mamak”) Saya memiliki relasi yang cukup dekat dengannya. Hampir setiap hari, saya berkunjung ke rumahnya. Biasanya, saya juga ikut menemani dia mengantarkan anaknya sekolah. Betapa dekatnya relasi saya dengannya, Ibu bahkan pernah bercerita bahwa saya pernah tidak mau dibantu mengenakan pakaian olehnya sendiri. Saya justru memilih “Ibu saja” untuk memakaikan saya baju, yang merujuk pada tetangga perempuan itu. Lagi-lagi, saya merasa heran, adakah sesuatu yang kurang baik dalam relasi saya dengan Ibu saya, sehingga saya merasa lebih dekat dengan sosok “Ibu lain”?
Mengenang, menuliskan, merefleksikan, dan mengungkapkan setiap detil pengalaman itu kepada Tuhan mungkin bukan sesuatu yang memberatkan. Namun, yang lebih menjadi tantangan bagi saya adalah bagaimana mengungkapkannya secara jujur kepada orang lain, khususnya mereka yang dekat dengan saya. Sebelum masuk novisiat, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya perlu mengungkapkan rasa kecewa saya ini. Saya tidak pernah membayangkan reaksi ibu saya sendiri ketika saya membuka kembali pengalaman masa lalu beserta perasaan yang kualami. Nyatanya, semuanya itu benar-benar terjadi pada Hari Keluarga di Novisiat. Romo Magister meminta para frater untuk berbicara tentang sejarah hidup bersama dengan keluarga masing-masing.
Di malam bersama keluarga, saya membacakan sebuah surat yang telah saya persiapkan kepada masing-masing anggota keluarga. Salah satunya adalah kepada ibu saya. Saya membacanya perlahan-lahan, sekalipun terasa berat, hingga saya tidak dapat membendung air mataku sendiri. Jujur, dalam proses membaca, saya sebenarnya merasa sangat bersalah karena “dengan berani” mengungkapkan rasa kecewa kepada ibu saya sendiri yang sudah melahirkan dan mendidik saya. Saya sebenarnya merasa tidak tega melihat wajah ibu yang mulai pucat. Hingga akhirnya, ketika saya selesai mengungkapkannya, suasana di dalam ruangan bersama itu menjadi hening. Ia pun langsung memelukku. Ia mengungkapkan kata-kata yang tidak saya duga sebelumnya, yakni, “Maaf”.
Mendengar Ibu yang memohon maaf kepada saya, sejujurnya saya merasa sangat terpukul. Ketika anaknya bertanya, “Kenapa Mamak dulu mendidikku seperti ini?” dia justru merendahkan diri untuk semakin menunjukkan betapa besar kasihnya. Hati saya mengatakan, “Tidak. Seharusnya saya yang meminta maaf karena tidak dapat memahami setiap tindakan yang ibu saya lakukan.”
Kemudian, ia pun mulai menceritakan bahwa dulu saya dekat dengan seorang perempuan yang juga saya sebut dengan “Ibu” karena dia sendiri memang menitipkan saya kepadanya. Ibu saya harus berjualan untuk menambah perekonomian keluarga. Dia harus berangkat pagi, dan pulang hingga sore hari. Karena itu, dia juga merasa heran mengapa relasi saya dengannya tidak lebih dekat ketimbang tetangga itu, termasuk keengganan saya untuk dibantu mengenakan pakaian oleh Ibu sendiri. Ibu saya lagi-lagi memohon maaf apabila dirinya sempat melukai anaknya. Apalagi, nyatanya ia memiliki tiga orang anak, termasuk adik dan kakak saya. Kendati tangannya tidak bisa senantiasa terus merangkul ketiga anaknya, kasihnya yang tanpa syarat tetap terus dia perjuangkan.
Seperti yang telah dikatakan, upaya saya untuk mengenang dan mengungkapkan pengalaman masa lalu memang membutuhkan hati yang besar. Akan tetapi, melalui proses ini, saya justru dapat memperoleh buah yang berlimpah. Saya tidak hanya dapat menggali dan memandang kembali sejarah hidup saya, tetapi sejujurnya relasi saya dengan ibu menjadi semakin dalam. Nyatanya, kami menjadi semakin sering berkontak dan bertanya tentang kabar satu sama lain, meskipun kini saya harus tinggal di asrama dan tidak dapat selalu bersama dengan ibu.
Saya meyakini bahwa menatap pengalaman masa lalu itu tidak semudah ketika seseorang menekan tombol DELETE pada keyboard yang dapat dihapus begitu saja. Sekalipun telah dicoba untuk dilupakan, pengalaman itu nyatanya masih tetap ada dan kerap kali terkenang. Apalagi jika pengalaman itu mengandung perasaan yang kuat. Kiranya, mengangkat kembali, merefleksikan, dan mengolahnya menjadi jalan yang terbaik bagi pengalaman itu. Mungkin saja, pengalaman itu hendak menyingkapkan makna lain yang dapat memberikan perkembangan bagi diriku. Mungkin, pengalaman itu hendak mengungkapkan rancangan Tuhan bagi kehidupanku. Dan mungkin saja, sekalipun kerap kali sulit dipahami, pengalaman itu juga dapat mengungkapkan kasih Tuhan yang tanpa syarat dan tampak tersamar melalui orang di sekitar saya.
Tuhan memberkati kita semua dalam setiap proses pengolahan hidup yang tidak pernah berakhir (on going processing).
Pada Hari Ibu Nasional 2020
Ad Maiorem Dei Gloriam