Bapakku

Cover Buku Bapakku (Dok. Penerbit Kanisius)

 

Judul Buku     : Bapakku

Penulis            : Agustinus Setyodarmono, SJ

Penerbit          : Kanisius, 2019

Tebal               : 152 halaman

Sosok seorang bapak adalah pemimpin keluarga. Bapak seringkali menjadi figur idola, panutan, dan sosok ideal bagi anak laki-lakinya. Bapak juga sering disebut sebagai cinta pertama dari anak-anak perempuannya. Tentu memiliki seorang bapak yang ideal amatlah menyenangkan, tetapi bagaimana jika sebaliknya?

Sosok bapak yang tidak ideal ini yang dialami oleh penulis, yakni Romo Agustinus Setyodarmono, SJ. Imam Jesuit ini yang akrab disapa Romo Nano merupakan Magister Novisiat St. Stanislaus Kostka, Girisonta, Jawa Tengah. Bapak yang tidak afektif, tidak memahami anaknya, cenderung dingin, dan tidak pernah berinisiatif untuk berkomunikasi membuat penulis mengalami kesulitan berelasi dengan bapaknya.

            “Aku tidak memilih sendiri bapakku dan keluargaku. Tiba-tiba saja aku harus  terlahir sebagai anak bungsu dari pasangan suami-istri dengan lima anak. Kadang aku bertanya pada diri sendiri, andai aku dilahirkan kembali dan boleh memilih    sendiri siapa bapakku, ibuku, dan saudara-saudari kandungku, apakah aku mau  memilih keluarga yang kumiliki saat ini?” (Setyodarmono: 2019)

Dalam buku ini, penulis membagikan dengan otentik pengalaman-pengalaman personalnya yang mendalam perihal membangun relasi dengan bapak kandungnya. Tidak lupa penulis memberikan pula perjumpaan yang menyembuhkan dalam sosok-sosok bapak lain dalam perjalanan hidupnya.

Sebagai seorang anak, penulis mengharapkan sosok bapak yang afektif dan perhatian, bapak yang mendengarkan, mampu berbicara dari hati ke hati, dan memahami anaknya. Akan tetapi, sungguh disayangkan situasi ideal ini jauh dari realitas kehidupan penulis. Dalam buku ini digambarkan dengan sangat terbuka perjuangan penulis dalam mengolah dan menerima pengalaman memiliki seorang bapak yang demikian. Bapak yang diam seribu bahasa, tidak pernah menanyakan kabar, tidak pernah menyapa, bahkan tidak mempedulikan anaknya ketika membolos sekolah membuat penulis merasa seperti tidak memiliki seorang bapak.

Pengalaman akan bapak yang tidak ideal menumbuhkan luka batin dalam diri penulis. Kerinduan akan seorang bapak yang ideal menyebabkan ada luka menganga yang menuntut disembuhkan oleh sosok bapak yang penulis dambakan. Sikap diam si bapak inilah yang membuat diri penulis frustrasi. Dalam buku ini penulis secara gamblang mencurahkan perasaannya dalam berbagai peristiwa bersama bapak.

Penulis mencoba membagikan refleksinya melalui rangkaian peristiwa dari masa kecil sampai masa dewasa sebagai seorang imam. Tidak hanya berhenti pada pengalaman relasi bersama bapak kandung, penulis menceritakan pula perjumpaan-perjumpaan dengan sosok-sosok bapak lain dalam hidupnya. Beberapa sosok bapak itulah yang pada akhirnya mengisi ruang kosong yang tidak dapat diisi oleh sosok bapak kandung. Kekurangan dan kerapuhan dalam diri bapak kandung dilengkapi oleh kelebihan dan keutamaan dari sosok bapak yang lain. Figur-figur bapak itu antara lain, pastor paroki, pamong di seminari, serta rekan jesuit senior di Belanda dan Australia. Bapak-bapak itulah yang membantu penulis meredakan luka batin dan menerima sosok bapak kandungnya.

Penulis menyadari bahwa dia memiliki sosok bapak yang diam dan jauh dari kata ideal, tetapi Tuhan menganugerahkan kepadanya perjumpaan-perjumpaan dengan bapak-bapak baik yang mengkompensasi kekurangan bapaknya. Bapak kandung pun dia sadari sebagai bapak yang mencintai buah hatinya secara berbeda. Penulis juga semakin mencintai bapak apa adanya. Pengalaman hidup yang telah direfleksikan ini membantu penulis dalam proses membina para novis Serikat Yesus dalam mengolah sejarah hidup mereka bersama bapak masing-masing.

Perjalanan dan pergulatan hidup dalam memahami dan mencintai bapak sejak kecil sampai dewasa dinarasikan dengan sangat baik. Bahasa yang ringan dan perasaan yang tajam amat pembantu pembaca masuk ke dalam cerita. Buku ini mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca yang memiliki pengalaman dan pergulatan yang serupa. Lebih daripada itu, buku ini membantu pembaca merefleksikan pengalaman sebagai anak dalam berelasi dengan bapak.

Refleksi pengalaman yang otentik dalam buku ini mampu membantu pembaca menerima sosok bapak masing-masing apa adanya. Secara pribadi, buku ini membantu  saya mengolah dan merefleksikan pengalaman berelasi dengan bapak. Saat membaca buku ini, saya  dibantu untuk mensyukuri bentuk-bentuk khas dan unik cinta bapak kepada saya yang selama ini tidak saya sadari.

Pengalaman luka yang disebabkan oleh bapak yang tidak pernah hadir intensif secara fisik dalam hidup saya dapat terolah dengan baik. Saya tidak lagi protes pada sosok bapak yang tidak hadir penuh untuk saya. Justru saya bisa mensyukuri kehadirannya yang tidak sering namun berarti dalam hidup saya. Kesimpulan yang muncul dalam diri saya adalah bapak mencintai saya seutuhnya dengan caranya yang khas. Pada akhirnya saya bisa menerima dan berdamai dengan sosok bapak yang hampir tidak pernah hadir itu.

Maka dapat disimpulkan bahwa buku ini sangat baik untuk membantu proses pengolahan sejarah hidup. Buku ini juga sangat baik untuk bekal bagi para bapak dan calon bapak dalam membangun relasi dengan anak, serta berjuang menjadi bapak yang terbaik bagi  anak-anak mereka.


Fr. Escriva Pamungkas, SJ

Seorang skolastik Jesuit yang sedang belajar filsafat di STF Driyarkara. Lahir dan besar di Kota Gudeg, Yogyakarta. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus pada tahun 2020. Berminat pada Spiritualitas Ignatian dan dunia kuliner.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *