Judul : A Bug’s Life
Negara : Amerika Serikat
Genre : Fantasi, Animasi, & Komedi
Rilis : 18 Desember 1998
Durasi : 95 menit
Pernahkah kita mengamati cara semut dan serangga-serangga kecil di sekitar kita berinteraksi?
Jika belum pernah, film A Bug’s Life garapan Disney punya gambarannya. Film ini mengajak kita untuk zoom in kehidupan serangga-serangga kecil yang biasanya kita abaikan. Kita diminta menggunakan lensa mikro untuk menyorot kehidupan koloni semut pimpinan Ratu Atta yang tinggal di sebuah pulau.
A Bug’s Life adalah kisah heroik seekor semut pekerja bernama Flick yang berusaha menyelamatkan koloninya dari para belalang penindas yang dimpimpin Hooper.
Konflik dimulai ketika Flick tanpa sengaja menumpahkan makanan yang dikumpulkan teman-temannya dengan susah payah untuk para belalang. Hooper pun marah dan mengancam menghancukan koloni semut jika mereka rak menyediakan makanan di akhir musim gugur. Flick, tokoh protagonis yang karakternya terkesan serampangan dan spotan pun memiliki ide untuk keluar dari pulau tempat tinggal koloni semut. Ia ingin mencari bantuan serangga yang lebih kuat dari belalang dan membuat koloninya terlindungi. Tak ada yang percaya rencana dan kemampuan Flick. Hanya Dot, semut kecil sekaligus adik Ratu Atta yang mempercayainya. Dengan keyakinan teguh, Flick pun pergi.
Penyelamatan Flick dimulai ketika ia bertemu serombongan serangga pemain sirkus: kupu-kupu, kepik, belalang kayu, ulat, dan kutu. Film ini menggambarkan dengan jelas bagaimana kesalapahaman antara Flick dan rombongan sirkus menjadi penghambat selesainya misi mereka. Flick yang mengira rombongan sirkus itu adalah serangga militer percaya bahwa mereka bisa mengalahkan Hooper.
Di satu sisi, keputusasaan rombongan sirkus membuat mereka tidak berpikir panjang ketika menerima tawaran Flick untuk bekerjasama. Padahal mereka sudah siap mengeksekusi strategi untuk mengalahkan Hooper, yaitu dengan membuat tiruan burung raksasa yang merupakan pemangsa belalang. Kesalahpahaman antara Flick dan rombongan sirkus serta ketidakjujuran mereka pada koloni semut membuat segala sesuatunya terhambat. Di saat semua menyerah, Dot – karakter yang sejak awal ditampilkan kurang menonjol, memberi semangat pada Flick dan teman-temannya sehingga Hooper terkalahkan dengan rencana awal Flick.
Bagi teman-teman pecinta film kartun dengan segala kesegarannya, film ini recommended. Tapi jika teman-teman suka genre lain seperti action atau science-fiction, lebih baik cari yang lain. Aku pun dibuat tertidur 3 kali sampai akhirnya bisa menyelesaikan film ini.
Dari segi sinematografi, kita tak perlu meragukan kualitas Disney. Film yang cukup sering diputar ketika musim liburan ini memang ringan dan bisa dinikmati sambil ngemil. A Bug’s Life juga punya plot cerita yang sederhana dan sangat mudah dipahami. Akhirnya pun bisa ditebak. Namun jika dicermati lebih dalam, dari segi penokohan, film ini menjadi spesial karena Disney berhasil menghidupkan karakter yang kuat dan khas pada tiap tokohnya. Selain itu, jika dicermati, ada banyak kalimat bijak yang bisa kita refleksikan atau kita jadikan quotes keren di media sosial.
Ketika akhirnya terbangun dari tidurku yang ketiga kalinya saat menonton film ini, aku memutuskan untuk membuat Ind*mie dan memutar ulang A Bug’s Life. Perhatianku terarah pada sosok Flick, si tokoh utama yang sangat spontan dan terkesan ceroboh serta serampangan. Keberaniannya perlu diacungi jempol. Ia tetap teguh pada keyakinannya dan fokus pada tujuannya menyelamatkan koloni semut yang ia cintai.
Satu sisi, aku kasihan pada Flick karena niat baiknya tak dipahami kelompoknya. Tapi aku juga kagum padanya karena ia mengikuti kata hatinya, keyakinannya. Tak mudah bagiku dan mungkin bagi kita semua untuk tetap berharap dan yakin di tengah ketidakpastian. Apalagi mengikuti kata hati. Flick tidak pernah meninggalkan pulau sebelumnya, tidak tahu caranya survive di kota yang dipenuhi serangga asing, dan ia tahu pasti siapa yang akan ia mintai bantuan. Tapi lihat, Flick tetap setia berharap dan berusaha di tengah ketidakpastian. Di tengah pandemi yang membuat segala sesuatu tidak pasti, maukah kita tetap berharap dan berusaha seperti Flick? Kualitas lain yang kukagumi dari Flick adalah caranya berpikir. Meskipun Flick lemah dalam menyampaikan gagasannya, niat baik dan tindakannya yang di luar kebiasaan itu benar. Seringkali kita berpikir dan bertindak dengan cara lama, meskipun situasi menuntut kita berubah. Flick memberi pesan pada kita semua bahwa fleksibilitas dan adaptasi adalah kualitas yang diperlukan untuk tetap bertahan dalam ketidakpastian. Kuncinya adalah niat, proses, dan tujuan yang baik dan benar.
Keberhasilan Flick tak lepas dari Dot, si protagonis kecil yang tak terlalu diberi tempat dalam kelompok maupun plot cerita. Peran kecil membawa dampak besar jika dijalankan dengan setia dan percaya. Dot yang pertama kali percaya dan mencoba memahami Flick. Dot kecil berandil besar menjadikan Flick pahlawan dalam koloninya. Kepercayaan dan pemahaman dari satu orang saja bisa berdampak sangat besar terhadap mereka yang diragukan dalam kelompok. Aku diajak oleh Dot untuk melihat sekitarku. Siapa tahu ada teman di komunitas yang butuh kepercayaan dariku agar potensinya tumbuh. Aku juga belajar dari Dot untuk percaya pada sesuatu yang dianggap mustahil. Bukankah kita sering menemukan bahwa pemikiran sederhana dan lugu dari anak kecil justru menyentuh hati orang dewasa yang rumit?
Ketika film ini hampir selesai, aku teringat perkataan dosen Dinamika Kelompok. Beliau mengatakan bahwa kekuatan kelompok bukan melulu soal jumlah, tapi bagaimana kita menjumlahkan potensi dari tiap anggotanya. Dalam film ini masing-masing serangga punya potensi uniknya. Dalam diri rombongan sirkus, potensi ini jelas terlihat. Tapi mereka masih bekerja sendiri-sendiri, sehingga sirkus tak berjalan maksimal. Begitu pula dengan koloni semut. Flick yang cerdas, Dot yang baik hati, Ratu Atta yang teratur, dan para semut pekerja yang tekun. Secara jumlah mereka besar, tapi mereka terus ditindas karena belum menyadari kekuatan mereka sebagai kelompok. Mereka masih melihat diri mereka sebagai individu yang paling bawah dalam rantai makanan.
Ironisnya dalam satu scene favoritku, si tokoh antagonis, Hooper menyadari kekuatan terpendam itu. Dengan cerdas Hooper mengumpamakan satu semut adalah satu biji gandum. Jika dilempar satu per satu tak akan membuat belalang celaka. Hooper kemudian membuka tampungan biji gandum dan gandum itupun membanjiri belalang hingga mereka tak terlihat. Scene ini mengingatkanku kembali bahwa sebagai sebuah kelompok, mengenali talenta-talenta anggotanya adalah langkah awal yang tak boleh terlewatkan. Untuk membangun kelompok yang solid dan menumbuhkan, talenta anggotanya harus dikenali, diakui, diintegrasikan, dan dikolaborasikan. Jika tidak, kelompok hanya akan stagnan pada jumlah. Kolaborasi akan mengubah 1+1 menjadi 10 atau bahkan lebih.
Terakhir, aku justru tertarik dengan sosok Hooper. Aku tak bermaksud melegalkan kejahatannya. Aku ingin mencoba melihat Hooper dari kacamata yang positif. Seringkali dalam praktek, kutemui klien yang menanyakan alasan mereka mengalami berbagai masalah dan gangguan psikologis. Kita semua sepertinya ingin hidup tenang. Namun setelah selesai menulis sejarah hidup, masalah atau pengalaman luka bisa kulihat seperti kehadiran Hooper dalam kerangka waktu post factum (setelah kejadian). Mari mengambil posisi sebagai Flick atau tokoh lain dalam A Bug’s Life.
Apakah kehadiran Hooper (yang dalam sejarah hidupku adalah pengalaman luka) melulu buruk ? Untukku tidak. Justru lewat Hooper aku diajak untuk mengamini dan mengimani bahwa jika saat ini, luka masa lalu membantuku tumbuh dan berkembang jadi pribadi yang lebih kuat dan menyadari cinta Allah. Tanpa Hooper, koloni semut dan serangga-serangga lain akan tetap ditindas dan bekerja demi para belalang. Sebagai kelompok, mereka stagnan tanpa masalah. Tanpa Hooper, Flick akan tetap jadi Flick yang ceroboh dan aneh di mata koloninya. Tanpa Hooper, serangga-serangga di A Bug’s Life dan kita akan tetap menganggap 1+1 hasilnya pasti 2. Mereka tak akan pernah sadar bahwa sebagai kelompok dan individu, ada potensi besar yang justru terpatik karena luka. Bukankah tanpa pengkhianatan Yudas Iskariot, kisah penyelamatan Yesus tak akan terjadi? Bagiku, memaknai luka adalah soal kemauan meletakkan luka itu dalam ruang dan waktu yang lebih luas lalu memetakannya bersama Allah.
Lidwina Florentiana Sindoro![](http://magis-indonesia.org/wp-content/uploads/2020/12/WhatsApp-Image-2020-12-02-at-23.39.30-150x150.jpeg)
Flo besar di Magelang, Jawa Tengah dan berpetualang ke barat untuk mengejar cita-citanya menjadi Psikolog Klinis Dewasa. Selain sibuk mendengarkan permasalahan orang lain dan membuat konten terkait kesehatan mental, ia juga sibuk mengurus tanaman dan belajar masak. Jangan ragu kontak Flo kalau mau berbagi resep makanan lokal, adopsi tanaman, atau curhat gratis maupun berbayar. Baginya, bergabung di MAGIS 2020 adalah rahmat yang melengkapi petualangan spiritualnya.