Membaca Buku: Membaca Tanyaku – Proses Menggapai Makna

Duduk tenang, menyediakan waktu khusus di tengah padatnya kegiatan untuk membaca bukanlah hal yang selalu menyenangkan.

Benarkah demikian? Apakah hanya karena aku tidak bisa segera tertarik dengan bacaanku, maka aktivitas membaca lantas kehilangan daya pikatnya?

Bagaimana bila melalui membaca aku dimampukan untuk melihat dunia ini dalam bingkainya yang lebih luas, serta menuntunku pada pengenalan diri yang lebih mendalam? Bagaimana bila ternyata membaca itu mampu mengubah diriku?

Setelah peristiwa Pamplona, ketika Ignatius menderita luka begitu hebat yang membatasi gerak fisiknya, Ignatius dimampukan untuk semakin peka mencermati gerak-gerik batinnya. Ignatius sadar bahwa dirinya rindu membaca. Ia selalu ingin sekali membaca untuk mengisi waktu luangnya. Bacaan yang ia inginkan adalah buku fantasi profan (novel ksatria). Malangnya, di rumah tempat ia dirawat, tidak ada satu buku pun yang biasa ia baca selain buku “Riwayat Hidup Kristus” dan sebuah buku lain tentang hidup para santo, dalam bahasa daerah. Ignatius akhirnya membacaka kedua buku itu.

Kerinduan membaca memampukan Ignatius untuk mencecap buku-buku itu berulang kali dan mulai membuatnya tertarik pada segala yang tertulis di dalamnya. Perlahan tapi pasti, ia masuk dalam dunia yang sedang membuka dirinya. Hal yang menarik adalah Ignatius senantiasa menyediakan waktu untuk berhenti dan memikir-mikirkan kembali hal-hal yang dibacanya. Imajinasinya tidak hanya terpaku pada buku yang ia baca. Sekali waktu, ia masih memikirkan hal-hal duniawi (hal yang kerap muncul dan mengisi benaknya). Di lain waktu, Tuhan membantunya memunculkan pikiran-pikiran ilahi mengenai Allah dari apa yang dibacanya.

Berani mengekspresikan tanya

Pertanyaan adalah hal yang selalu menarik. Pertanyaan adalah ekspresi kerinduan manusia untuk melampaui batas-batasnya. Dalam keadaan diri yang terbaring sakit dan tidak tahu pasti kapan akan pulih, pertanyaan justru mendesak Ignatius melampaui batas fisiknya. Saat menimbang-nimbang segala yang muncul dari hasil pembacaannya, Ignatius mulai bertanya dalam imajinasinya,

“Bagaimana kalau aku melakukan apa yang dilakukan St. Fransiskus, atau yang dilakukan St. Dominikus?”

“Bagaimana kalau aku…?” dan

“Bagaimana kalau aku…?”

Pertanyaan yang muncul selama proses membaca adalah kemungkinan-kemungkinan yang membuka diri untuk menjadikan hal itu nyata. Sekali batas diri didobrak oleh pertanyaan, maka semakin banyaklah kemungkinan yang akan muncul.

Selama waktu itu, selain pikiran mengenai Allah, Ignatius juga masih dikuasai pikiran lain mengenai tindakan duniawi yang ingin dilakukannya. Pikiran-pikiran dalam diri Ignatius, yang kerap kali berbeda itu berjalan dalam waktu yang cukup lama. Sampai pikiran-pikiran itu ditinggalkannya karena lelah, lalu ia mencari sesuatu yang lain. Berdasarkan dari kesadaran ini, ia mulai belajar membeda-bedakan berbagai pikiran yang ada.

Fragmen ini menarik, karena membaca tidak pernah hanya berhenti pada hal yang kubaca. Membaca selalu menjadi safari model untuk membangun kerangka pikir yang semakin aku banget. Selain itu, buku yang kubaca ternyata mengajakku untuk terlibat dan memampukanku untuk melampaui segala konsep yang ada di dalamnya. Bacaan, selain menawarkan bingkai ide bagi semesta, menuntutku untuk berani melampaui bingkai yang dengan susah payah kulibati. Karena sekali pertanyaan muncul dalam pikiranku, maka terbukalah berbagai celah untuk melihat diriku yang lebih.

Adakalanya juga, terdapat pertanyaan yang justru menjebak dan menjerumuskan sang penanya untuk masuk dalam belantara keputusasaan – membuatnya terjerat dalam sempitnya pemikiran dan rendahnya harga diri. Untuk yang kedua ini, kita mesti waspada. Pembacaan yang baik senantiasa seperti yang dialami Ignatius: selalu menghadirkan “saudara kembar” dari suatu hal (yang ilahi senantiasa ada di balik yang insani). Pembedaan roh yang menuntun pada perubahan hidup yang lebih baik yang sebaiknya diaktualisasikan.

So…

Ketika dimaknai dalam kerangka pikir ini, apakah membaca masih menjadi hal yang membosankan, menjenuhkan, bahkan wasting time? Bukankah membaca itu memberi ruang dan waktu bagi diri untuk berani mengajukan pertanyaan? Bukankah ada benarnya bahwa membaca itu menuntun sih pembaca pada jalan setapak transformasi diri?

Bila membaca tidak semata melibati apa yang dibaca, melainkan menuntun pada petualangan melampaui bacaan dan pengenalan diri yang semakin mendalam, maka pastilah masalahnya bukan pada apa yang kubaca.

Sampai saat ini, aku masih meyakini bahwa memiliki kerinduan untuk membaca adalah energi utama untuk menggapai makna. Saat kerinduan yang ada dilakukan, maka ia akan memampukan seseorang untuk melihat jauh; tembus, melampaui bacaannya

Bagaimana bila kerinduan membaca itu belum ada? St. Ignatius mengajak kita untuk memohonkan rahmat itu. Memohon rahmat untuk memiliki kerinduan agar rindu membaca, ialah permohanan yang pantas untuk dimohonkan.

Lalu, beranikah aku berhenti sejenak dalam pembacaanku dan membiarkan segala pertanyaanku muncul dan kemudian kulibati kemungkinannya satu persatu?


Fr. Yohanes Ignasius Setiawan , SJ

“Give Our Lord the benefit of believing
that his hand is leading you, and accept the anxiety of feeling yourself in suspense and incomplete”
– Pierre Teilhard de Chardin, SJ –

Yohanes Ignasius Setiawan (Anes) adalah frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Palasari, Bali. Masuk Novisiat SJ tahun 2017. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2019. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di STF Driyarkara dan tinggal di Komunitas Kolese Hermanum, Unit Pulo Nangka.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *