“We create a culture for winners and then there’s lots of losers. And the losers are also many young people who are confused and see the world, but they cannot enter it.”
–Jean Vanier
Para Pencari Kemenangan
Kemajuan peradaban dengan segala kemegahan teknologi yang diciptakan telah memaksa dunia berlari mengikuti kecepatan inovasi. Mereka yang tidak bisa berlari cepat mengikuti ritme kemajuan akan tersingkir. Begitu juga dalam dunia karier, barang siapa tidak bekerja dengan optimal dan cepat tidak akan diperhitungkan.
Mereka yang tidak bisa menjadi yang terbaik dan mengejar pencapaian-pencapaian akan segera diganti oleh orang-orang lain yang lebih pantas. Manusia menciptakan kemajuan dan cepatnya ritme hidup; dan manusia sendiri yang tertatih-tatih kelelahan mengejar laju zaman jika tidak mau dilibas olehnya.
Tanpa sadar kita telah memasuki pusaran kultur yang keras. Kita menyerahkan diri kita untuk diburu oleh pencapaian dan ditekan oleh cepatnya ritme dunia ini. Kita memaksa diri kita sendiri untuk mencapai kemenangan demi kemenangan tanpa pernah bersiap bilamana kegagalan menimpa kita. Kita hidup dalam kultur yang mendewakan kecepatan dan kemenangan, di mana banyak orang tak betah hidup di dalamnya.
Berhenti Sejenak
Mungkin salah satu pilihan yang perlu kita ambil di tengah kultur kompetitif ini adalah berhenti sejenak. Berhentilah sejenak dari pusaran dunia yang serba cepat ini. Mungkin akan ada hal-hal yang tersingkapkan ketika kita mengambil jarak dari hiruk-pikuk dunia ini. Mungkin kita akan mendapati diri kurang memiliki cinta karena sibuk memenuhi tuntutan dunia. Mungkin kita akan menyadari begitu banyak momen bermakna yang kita lewatkan. Mungkin kita akan menyadari bahwa ada banyak orang di luar sana yang tidak mampu berlari sekencang kita.
Dalam kultur seperti ini, mereka yang tidak dapat berlari kencang akan segera disingkirkan, dianggap tidak relevan, tidak berguna, dan menjadi hambatan dari kemajuan. Salah satu kelompok yang harus menanggung akibat ini adalah mereka yang menyandang disabilitas. Dunia memaksa mereka berlari kencang, produktif, dan menjadi relevan di dunia. Dunia telah memakaikan ukurannya kepada penyandang disabilitas untuk memaknai apa yang bernilai dari hidup.
Kultur kompetitif bukanlah hal yang dibutuhkan bagi penyandang disabilitas. Melalui para penyandang disabilitas kita justru belajar untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk. Kita belajar untuk memperlambat tempo kehidupan kita dan memberi perhatian pada hal-hal bermakna yang tidak mendapat tempat dalam dunia yang serba cepat. Hidup bersama dengan mereka membuat kita mampu menikmati indahnya hadir satu sama lain, berbagi makanan, tertawa bersama, dan bermain bersama. Dan dengan demikian, kita memberi ruang pada hidup afeksi, kedalaman hidup, dan perasaan-perasaan kita.
Ketika kita mau berhenti sejenak, pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah kita pikirkan mungkin juga akan mengusik kita. Dalam permenungan kita bersama penyandang disabilitas, kita mungkin akan bertanya pada Tuhan “Tuhan, kenapa mereka dilahirkan di situasi dunia yang diskriminatif?” Pertanyaan ini mungkin membingungkan. Namun, di saat yang sama kita juga dapat bertanya “Tuhan, kenapa Engkau menciptakan manusia yang akhirnya toh akan mati pula?”
Manusia memang terobsesi mengejar keabadian. Bukankah bagus kalau manusia bisa hidup ribuan tahun? Namun, inilah realitas dunia kita: penuh dengan kerapuhan. Kita adalah ciptaan-Nya dan selama kita di dunia kita akan terus berdampingan dengan kerapuhan.
Namun, kerapuhan tidak selalu berarti buruk. Hidup dalam kerapuhan berarti “Aku membutuhkan bantuanmu”. Kerapuhan membawa kita dalam kehidupan bersama. Kultur kompetitif telah menciptakan manusia individualis yang mengejar kesuksesan tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Semua orang berlari kencang mengejar kesuksesan hingga akhirnya ia terjatuh dan sadar bahwa mereka rapuh dan membutuhkan orang lain.
Dari sini kita dapat memahami visi Injil Yesus yang membawa setiap orang hidup dalam kebersamaan. Hidup bersama berarti kita terbuka akan kerapuhan kita dan kita menerima kerapuhan orang lain. Dengan demikian kita saling membutuhkan satu sama lain. Inilah misteri dan kedalaman makna yang dapat kita singkapkan bersama orang-orang penyandang disabilitas.
Referensi : Vanier, Jean. We Need One Another. Massachusetts: Paraclete Press. 2018.
Wawancara Jean Vanier dengan Majalah Primier Christianity
