Resensi Buku “Seperti Dendam, RIndu Harus Dibayar Tuntas”
Judul Buku : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2004
Tebal : 243 hal
Kisahnya dimulai saat Ajo Kawir diajak si Tokek ke rumah Rona Merah, seorang janda gila. Walau awalnya menolak, Ajo Kawir akhirnya mengiyakan ajakan tersebut dengan iming-iming akan melihat “pemandangan” yang lebih hebat dibandingkan “buah pepaya” milik istri kedua Pak RT. Namun tak disangka-sangka, apa yang terjadi akhirnya membuatnya menyesal seumur hidupnya. Dari balik lubang belakang rumah, mereka melihat kedua polisi memperkosa Rona Merah, si Janda gila. Awalnya Ajo Kawir menikmati apa yang dilihatnya, sampai akhirnya ia terpeleset dan ditangkap oleh polisi tersebut. Dengan sangat ketakutan, ia dipaksa untuk menyaksikan setiap detail perkosaan Rona Merah oleh kedua polisi dengan sepucuk senjata mengarah ke kepala Ajo Kawir. Sejak peristiwa itu, tak tahu penyebab pastinya Ajo Kawir menderita Impoten.
Segala cara telah Ajo Kawir lakukan untuk “membangunkan kembali burungnya dari tidur panjangnya”. Tokek yang sangat menyesal pun ikut berpikir untuk membantu Ajo Kawir. Mulai dari mengoleskan cabai sampai memanggil seorang pelacur sudah mereka coba tapi hasilnya nihil. “Burung” Ajo Kawir tetap tertidur. Ajo Kawir akhirnya melampiaskan semua emosinya dengan menjadi tukang pukul bayaran. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Si Iteung, seorang si Jago Silat. yang membuatnya jatuh cinta. Mereka saling mencintai tetapi Ajo Kawir tetap merasa takut dan memendam rahasia terbesarnya. Bayangan ketakutan mulai menghantuinya perihal kemaluannya yang memilih untuk tidur panjang sehingga timbul rasa cemas tidak dapat memuaskan Iteung yang diam-diam terobsesi oleh penis akibat dilecehkan oleh guru sekolahnya. Kisah cinta mereka berdua diakhiri dengan tragedi ketika Iteung kedapatan hamil dan amarah mendominasi Ajo Kawir yang menggiringnya pada pembunuhan kepada orang yang tidak ada sangkut pautnya.
Selepas keluar dari penjara Ajo Kawir memutuskan untuk berdamai dan memilih mencari ketenangan batin dengan menjadi supir truk. ditemani Mono Ompong, keneknya. Dirinya menghindari berbagai kekerasan dan memutuskan melanjutkan hidupnya dalam kedamaian. Bahkan ia ternyata menyayangi anak Iteung sebagaimana anaknya sendiri dan masih merindukan istrinya yang dipenjara akibat membunuh Budi Baik. Dendamnya luntur sebagaimana kesedihan-kesedihan yang terpendam pada dirinya namun rindunya belum dapat tertuntaskan karena masih belum dapat memaafkan Iteung.
Di masa permenungan itulah Ajo Kawir mimpi basah untuk pertama kali. Objek fantasi seksualnya adalah Jelita, seorang perempuan dengan tampang buruk rupa. Pikirannya disesaki mengenai perasaan cintanya kepada Iteung dengan rasa penasaran mengenai jelita dan kemaluannya. Praduga-praduga itu terbukti ketika pada sebuah bilik kamar mandi persetubuhan yang dahsyat terjadi antara ia dan Jelita yang setelahnya hilang secara misterius seperti kedatangannya.
Sampai akhirnya ia memutuskan untuk memaafkan Iteung dan kembali ke rumah untuk membangun kembali kehidupannya dari awal; sebagai sebuah keluarga sederhana yang dimimpikan olehnya.
************
Seperti Novel-novel karya Eka Kurniawan lainnya, Cantik itu Luka (2002), dan Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tutas hadir dengan tema yang tak wajar cenderung nyeleneh dan vulgar. Walaupun begitu, penulis seakan memberikan kebebasan pembaca untuk menginterpretasikan nilai yang relevan bagi setiap pembacanya.
Mengikuti kisah Ajo Kawir, aku seakan diingatkan kembali dengan permenungan akan kerapuhan dan proses berdamai dengan luka batinku. Ajo Kawir, tokoh sentral di novel ini, yang diceritakan sebagai pria tukang pukul, preman pasar yang tidak punya ketakutan akan apapun, pun mempunyai kerapuhan dan rahasia yang terus disembunyikannya. Jalan kekerasaan menjadi jalan satu-satunya untuk menghidar dari kesedihannya. Pelarian Ajo Kawir sebagai tukang pukul untuk menutupi kerapuhannya membawaku kembali pada titik dimana aku menyadari bahwa semua kerja kerasku di bidang akademis hanyalah untuk menutupi kerapuhanku sebagai pribadi yang selalu “kalah kasih sayang dan kebanggaan” yang diterima oleh kakak ku sendiri. Terlahir hanya berjarak 13 bulan dengan kakakku sendiri, membuatku akan selalu terbandingkan dengan kakak sendiri yang selalu menjadi kebanggaan akan prestasi, kepribadian, dan talenta yang dimilikinya. Prestasi akademi, lomba-lomba sampai terlibat aktif di Gereja menjadi jalanku satu-satunya untuk terlihat lebih unggul atau paling tidak setara dengannya. Rasa puas akan disanjung dan dipuji seakan menjadi “pecut” dan “candu” bagiku untuk terus belajar dan mendapat ranking di kelas. Namun pada akhirnya kepuasan, rasa senang ketika dipuji dan dibanggakan tetap meninggalkan rasa kosong dalam diri. Bahwa ternyata kerapuhanku yang haus akan pujian dan kebanggaan yang terus mengontrol setiap keputusanku dan membentukku menjadi pribadi yang takut gagal.
Proses permenungan Ajo Kawir selama menjadi sopir truk dalam dialog-dialog antara ia dan kemaluannya seakan dia telah berhasil menemukan kesadaran bahwa bukan balas dendam dan kekerasaanlah yang akan membangunkan kembali “burung”nya, tetapi dengan penerimaan dan berdamai dengan kerapuhan itu sendiri. Pada titik ini pula, pengalaman Ajo Kawir juga mengingatkanku seakan untuk “memeluk anak kecil” di masa lalu yang ada dalam diriku sendiri dan membisikkan “Aryo, sudah saatnya kamu istirahat, engkau sudah sangat lelah berlari. Tak perlu lagi kau takut untuk gagal. Bahwa engkau amat dicintai dan dibanggakan oleh keluargamu apapun yang terjadi. “ Sampai pada akhirnya bukan kerapuhankulah yang nantinya mengendalikan kehidupanku. (KAW)