🎵 Wise men say, only fools rush in,
but I can’t help falling in love with you.. 🎵
Malam itu sayup-sayup tembang milik Elvis Presley yang dinyanyikan kembali oleh Kina Grannis terdengar mengalun dari speaker di kafe Djournal.
Saat mendengar lagu itu, kami bertujuh yang saat itu tengah circling mendadak terdiam entah kenapa, begitu juga dengan Dite. Dia berhenti bercerita.
“Kenapa lagunya tiba-tiba ini ya,” kata Dite sambil tertawa.
Aku ikut tertawa kelu, tapi tidak tahu harus berkata apa pada Dite.
Berjam-jam sebelumnya, seharian itu, pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiranku hingga sepanjang perjalananku menuju Lippo Puri Mall adalah bagaimana harus bersikap dan apa yang harus kukatakan kepada kawan yang ayahnya baru meninggal dunia?
Bagaimana aku bisa menghiburnya?
Ayah Dite baru saja meninggal bulan lalu. Aku sungguh terpukul ketika mendengar kabar itu. Aku belum pernah menghadapi kematian anggota keluarga dekat seumur hidupku. Jadi tahu apa aku soal memberikan penghiburan kepada orang lain tentang lara yang tak pernah kurasakan?
Rencananya aku akan bertemu dengan Dite bersama teman-teman Sauh lainnya di Puri Mall sore itu. Dan aku sungguh tidak tahu bagaimana bisa membantunya melewati rasa duka itu.
Saat aku tiba, Dite ternyata sudah datang duluan bersama yang lain. Aku memeluknya dan menanyakan kabarnya sebentar lalu berjalan ke tempat circling kami. Sore itu Dite, Melissa, Bene, Adeline, Yessie, Joe dan aku memutuskan untuk ngopi di Djournal, sebuah kafe yang cukup sepi di lantai dasar.
Kami cuma bertujuh. Hari itu Wawan tidak datang karena sedang sibuk menyiapkan thesisnya. Begitu juga dengan Agnes, yang sedang mengikuti sebuah seminar di Bandung.
Sebelum memulai, meski telat beberapa hari, kami menyempatkan merayakan ulang tahun Bene (yang disponsori oleh Melissa dan Joe), dengan sepotong red velvet dan pemantik api, pengganti lilin ulang tahun.
Lalu mulailah kami saling berbagi kisah-kisah yang terjadi dalam hidup kami sepanjang sebulan itu. Malam itu semua cerita menyentuhku.
Bercerita kepada kawan-kawan Sauhku ini memang tampak sederhana tapi sangat membantu mengurai simpul sesak di jiwaku. Bersama mereka aku tahu bahwa aku dicintai dan akan selalu didengarkan dengan tulus.
Malam itu kami banyak berbagi kisah tentang pengampunan dan kekhawatiran. Pengampunan untuk keluarga yang melukai hati, pengampunan kepada diri sendiri yang sering tidak menghargai proses kehidupan dan kekhawatiran tentang mimpi dan kehidupan kami.
Namun kurasa kisah Dite lah yang paling menyentuh kami. Kisah yang Dite bagikan adalah tentang hari-hari menjelang kepergian mendiang Ayahnya.
Sebulan setelah masuk Magis, Dite mengatakan pada kami bahwa karena tuntutan pekerjaannya dia harus pindah ke Yogyakarta. Saat itu dia sempat mengungkapkan keresahannya karena dia ingin terus ikut Magis di Jakarta, tentu bakal lebih repot kalau dia harus bolak balik Yogyakarta-Jakarta untuk perbul tiap bulan.
Sudah terlanjur nyaman dengan kehidupan di Jakarta, sudah menemukan teman-teman dan komunitas baru yang menyamankan, lalu mengapa harus balik ke kampung lagi?
Tapi Dite menemukan jawabannya.
“Aku sekarang tahu mengapa aku harus pindah Yogyakarta saat itu, “kata Dite malam itu, “biar bisa sama Bapak.”
Berada di Yogyakarta beberapa bulan ini memberi kesempatan berharga untuk Dite agar bisa tinggal dan bercakap-cakap dengan Bapaknya.
Betapa berharganya hari-hari itu, menit-menit terakhir itu bagi Dite. Perpisahan memang memilukan, kematian memang tak terelakkan. Tapi bahwa Dite bisa menemani Ayahnya sampai akhir jalan, aku yakin itu adalah sesuatu yang seumur hidup akan selalu disyukurinya.
Dengan angkuh aku datang sore itu dengan niat mau menghibur Dite, tapi ternyata Ditelah yang menghiburku dengan cerita yang dibagikannya.
Lewat kisahnya Dite mengingatkanku bahwa sering kali hidup tampak tak masuk akal dan berjalan tak sesuai harapanku, namun aku harus percaya bahwa setiap tangga, tembok, luka, bahagia, pertemuan, perpisahan, kematian diijinkanNya terjadi dengan misinya masing-masing dalam kehidupanku dan yakinlah rencanaNya adalah yang terbaik bagiku.
Dite menyadarkanku tentang itu.
…
Saat masuk Magis aku menganggap aneh ide untuk mengumpulkan sembilan orang asing dalam sebuah kelompok dan “memaksa” mereka untuk bertemu dua kali setiap bulan untuk bercerita tentang luka-luka dan gelap-gelap mereka.
Tujuannya apa? Untuk apa mengorek-ngorek luka yang telah lama disimpan rapi lalu menunjukkannya pada orang-orang yang aku kenal dekat pun tidak.
“Untuk apa? Apa yang dicari?” pikirku kala itu.
Sehari setelah bertemu di Puri Mall kami berkumpul lagi di perbul ke lima. Selepas mengikuti materi tentang Discerment dan sharing di dalam circle tentang konsolasi dan desolasi kami, aku memandangi tiap-tiap kami yang hadir di sekitar meja di belakang SMP Kanisius itu, dan tersadar betapa aku sudah mengayuh jauh bersama jiwa-jiwa yang berhati baik ini.
Kami bukan kelompok paling aktif, atau paling mesra dalam formasi ini. Group WA kami bukan yang paling ramai. Kami juga kumpulan orang-orang introvert yang susah terbuka terhadap satu sama lain di awal-awal pertemuan kami.
Tapi kami sama-sama membawa luka dan cerita. Kami sama-sama mempertanyakan “Magis” kami dalam hidup kami masing-masing.
Dan dalam perjalanan peziarahan kami, kami lalu menawarkan pundak, telinga dan hati kepada masing-masing kami, menitipkan lelah dan lara kami pada satu sama lain.
Kami telah menyelam di kedalaman bersama-sama, menemani satu sama lain mengunjungi tempat-tempat di kedalaman jiwa kami yang belum pernah mau kami kunjungi sebelumnya.
If I took a look of how far I’ve come with them, really I’ve gone a long way.
Aku mengerti sekarang mengapa aku menantikan pertemuan-pertemuan bulanan kami ini. Karena Sauh inilah konsolasi dan penghiburan rohani yang kurindukan dalam hari-hari penatku.
Saat bertemu, kami sama-sama melemparkan Sauh kami sebentar.
Berhenti mendayung sejenak dan mendengarkan.
Melepaskan beban hati sesaat dan didengarkan.
Mungkin itulah mengapa setiap bulan kami mau meninggalkan janji dengan teman dan kegiatan-kegiatan lain untuk bertemu, mengapa Adeline dan Bene mau datang jauh-jauh dari tempat tinggal mereka di ujung-ujung Jakarta, mengapa Dite bertekad untuk pulang pergi Yogyakarta-Jakarta setiap bulan, berjam-jam perjalanan dengan kereta api.
Karena dengan berbagi lara kami menggayung asa.
Dengan menyelam bersama di kedalaman, kami mendapati bahwa kerinduan kami akan penemuan damai di dalam diri sama-sama tercermin.
Sore itu, di jalan pulang usai perbul dari Kanisius menuju ke tempat tinggalku, tak sadar aku menyenandungkan salah satu lagu yang diputar oleh kafe Djournal pada hari Sabtu itu. Lagu yang menemani kami saat Adeline sedang berbagi cerita; sebuah bait dari lagu Iris yang dinyanyikan ulang oleh Kina Grannis:
🎵 And you can’t fight the tears that ain’t coming,
or the moment of truth in your lies;
when everything feels like the movies,
and you bleed just to know you’re alive 🎵
Kesadaran tentang luka membuatku lebih memaknai hidupku. Namun perjalanan pemaknaan tidaklah selalu mulus. Maka terimakasih sudah menawarkan penghiburan yang teduh bagiku, Sauh. Terimakasih banyak, teman seperjalanan.