Ignatius di Montserrat
Suatu hari dalam perjalanan pertobatannya, Ignasius melakukan ziarah Bunda Maria di Montserrat. Di sana, ia menyerahkan pedangnya di altar dan selepas itu memberikan jubahnya pada orang-orang miskin di luar kapel. Pedang dan jubah yang diserahkan atau dilepaskan Ignasius secara personal menjadi simbol kuat dari tekadnya mengabdi Tuhan – lepas dari rasa lekat tak teratur, jiwa besar, hati rela berkorban. Pedang dan jubah bagi seorang ksatria adalah lambang keputraannya sebagai bangsawan. Masa lalunya, perang, kuasa, citra, dilepaskan – dan ia memulai hidup baru. Proses melepaskan ini bukanlah sesuatu yang mudah, namun apa yang ganti ia terima nyatanya sungguh lebih ‘besar’, yaitu hati yang tertuju kepada Allah yang hadir dalam hidupnya.
To be Saint means to be myself
Thomas Merton, biarawan Trappist di Amerika, menuturkan: for me to be saint means to be myself. Apa artinya bagi kita? Kekudusan bukan selalu berarti melindungi hosti sampai mati di panggang di atas api, bukan berarti menyesah diri dengan catena pecut sampai punggung berdarah. Kekudusan itu bisa dicapai dengan menghayati hidup kita, apapun peran dan pekerjaan-tugas kita. Sejarah hidup kita, yang menjadi medan perjuangan mencapai kekudusan, tidak selamanya bombastis seperti Ignasius, yang rusak kaki fisiknya, namun ternyata kaki dalam batinnya makin kuat mengikuti jalan Allah. Lain dengan St. Br. Alphonsus Rodriguez (Bruder Jesuit zaman awal Serikat Yesus, bertugas di Spanyol sebagai penjaga pintu, menjual segala miliknya setelah anaknya meninggal lalu bergabung dengan SJ), yang bisa membuka hati terhadap kunjungan Tuhan – entah melalui pengalaman luka ataupun cinta dalam tugasnya sehari-hari: membukakan pintu dan menerima tamu. Sejarah hidup kita, bagaimanapun itu, menjadi ruang dan waktu perjumpaan kita dengan Tuhan – di mana kita menyiapkan diri diubah, ditrans-formasi, semakin mengenal, mencintai dan mengikuti-Nya.
Puzzle-Ku, Sejarah Hidup-Ku
Pedang dan jubah yang pantas kita serahkan kepada Tuhan rasa-rasanya adalah sejarah hidup kita, sejarah hidupku. Sejarah hidup adalah wajah, gambar, citra – semuanya mengenai diriku, yang selama ini membentuk dan menjadikanku. Mari kita ingat pengalaman Ignasius. Menyerahkannya kepada Tuhan bukan juga berarti meninggalkannya lepas-lepas, menjadi orang lain. Ignasius tetap menggunakan semangat militannya untuk memperjuangkan Panji Kristus. Menyerahkan kepada Tuhan berarti menerima sungguh wajah, gambar, citra, semuanya mengenai diriku, untuk diarahkan, dibimbing, dipakai Tuhan, melaksanakan kehendak-Nya. Nah, apa yang mesti kita terima sebagai milik, lalu kemudian diserahkan kepada Tuhan, kalau kita sendiri tidak tahu apa yang harus diterima dan lalu diserahkan?
Adalah suatu tawaran, suatu analogi, mengenai proses kita memasuki sejarah hidup dan kemudian nanti memaknainya. Mari kita umpamakan pengalaman-pengalaman sejarah hidup kita adalah kepingan-kepingan puzzle. Kepingan-kepingan puzzle hidup kita memiliki beraneka bentuk. Ada yang cekung, cembung, lancip, tumpul, warna merah, biru, kuning, bahkan hitam serta putih. Kita tentu tahu itu; namun sudahkah kita mengenali dan menyadarinya? Ada luka dan ada rahmat yang membentuk serta mewarnai hidup kita. Proses menulis sejarah hidup adalah proses mengumpulkan kembali, menatap, menyentuh dan merasakan, lalu meletakkannya pada bingkai wajah hidup kita.
Apa yang mau kita serahkan kepada Tuhan, kalau kita sendiri tidak menyadari, mengenal, menyentuh dan memiliki apa yang mau kita serahkan itu sendiri? Dengan mengenal, menyentuh, meraskan mana cekung-cembung hidup kita, lalu menyusun dalam bingkai hidup harian kita, kita berproses dalam formasi untuk menyerahkan hidup kita diarahkan oleh kerinduan terdalam mengabdi Tuhan. Cekung-cembung, hitam-putih, luka-rahmat, tidak dibedakan menjadi buruk dan baik ya! Keduanya punya potensi yang sama untuk membentuk wajah puzzle hidup kita. Kalau semua hitam, lalu gambarnya seperti apa? Atau jika semua putih? Kalau cembung semua bagaimana? Kadang salah meletakkan, kadang sulit menemukan. Maka ada Pamplona, ada Manresa, ada waktu berkuda-berkelana, ada waktu duduk menyadari diri tidak bisa ke mana-mana – seperti Ignasius, itulah yang membentuk kita menjadi milik Tuhan. Keberanian kita untuk menyentuh, mengenali, mengakui, dan meletakkan-menyerahkan adalah hakiki dalam proses ini.
Examen
Seperti dalam langkah examen: Kita mencoba meneliti, mengenali, menyadari diri kita selama seharian ini, dan dengan begitu kita bisa lebih bersyukur dan juga mengendalikan diri. Kepada rahmat-rahmat kita bersyukur, dan kepada kecenderungan negatif dan dosa, kita menyadari, mohon ampun dan membangun niat baru. Begitu bukan? Kita memang manusia yang rapuh. Yang kita lakukan itu yang tidak kita ingin lakukan. Ignasius pun pendosa. Namun, apa yang membuat kedekatannya dengan Tuhan semakin bertumbuh? Dari sisi Allah yaitu Rahmat. Dan dari manusia adalah usaha menyadari dan mencoba memperbaiki diri terus-menerus dalam hidup. Menulis dan kemudian memaknai sejarah hidup membantu kita lepas dari kelekatan kita, termasuk luka-luka kita. Menulis dan menyadari itu menyembuhkan, memulihkan. Kita sedikit demi sedikit mengenai gambar, warna, dan bentuk puzzle kita. Kita menyentuh akar-akar dari segala tindakan dan perasaan-perasaan kita. Kenapa aku mudah marah jika disinggung soal Ayah atau Bapak? Mengapa aku cepat sekali merasa sedih dalam hati ketika mendegar teman-temanku bercerita mengenai cita-cita mereka? Mengapa aku takut sekali menjalin hubungan dengan lawan jenis – dalam arti membangun relasi? Mengapa aku seperti mandi keringat setiap guru mulai menanyaiku tentang tugas yang belum aku kerjakan? Kita bisa mengendalikan dan mengarahkan hidup kita dengan baik jika kita menangkap sungguh akar-akar di dasarnya.
Kita menulis sejarah hidup, mengenal diri kita apa adanya, dan menerimanya sebagai cara Tuhan membentuk dan memanggil saya sebagai anak-Nya. Siapa tidak rindu dicintai dengan ‘kendati’ dan tanpa syarat? Dan jika satu-satunya cara Tuhan mencintai kita adalah lewat pengalaman sejarah hidup beserta pribadi-pribadi yang ada di dalamnya, ke mana dan di mana lagi kita menemukan cinta Tuhan? Dengan menuliskan lalu berproses menerima, kita sedang berdamai dengan diri kita sendiri dan berjalan menuju kemerdekaan batin. Rasa takut untuk masuk dalam kegelapan selalu ada. Namun, percayalah kita berjalan bersama Tuhan. Lilin yang bisa dipegang nyalanya selama teman-teman berjalan itu adalah kejujuran dan keterbukaan hati. Dengan kejujuran dan keterbukaan hati, kita mampu masuk lebih dalam, menyentuh dan memeluk puzzle hidup kita, dan dengan hati lapang menyerahkannya kepada Tuhan untuk dijadikannya sarana untuk mengabdi-Nya.
Cermin
- Nah, teman-teman di mana kautemukan Montserrat-mu? Apa pedang dan jubahmu, yang hendak kauletakkan di altar dan pergi mengikuti Ignasius sampai kepada Tuhan? Sudahkah aku memulai sesuatu yang penting dalam hidupku: yaitu mengumpulkan dan memeluk puzzle sejarah hidupku – yang adalah diriku sendiri, yang kuserahkan kepada Tuhan?
Raymondus Braja Restu, SJ
Raymondus Braja Restu (Raymond) adalah frater skolastik Serikat Jesus yang berasal dari Yogyakarta. Raymond masuk Serikat Jesus pada Juni 2014, menjalani formasi selama 2 tahun, dan mengikrarkan kaul-nya pada Juni 2016. Saat ini Raymond tinggal di Komunitas SJ Kolese Hermanum, dan sedang diutus belajar filsafat di STF Driyarkara.
“Your deepest desires are God’s desires.” – James Martin, SJ