Asian Para Games 2018 dan Analogi Kehidupan

Pekan lalu saya berkesempatan menghadiri salah satu perhelatan besar bidang olah raga di Indonesia, yaitu Asian Para Games 2018. Seperti yang kita ketahui, ini adalah kali pertama Indonesia menjadi tuan rumah untuk acara besar ini. Ceritanya, sebagai tuan rumah yang baik saya ingin ikut memberikan dukungan bagi para atlet difabel, baik yang dari Indonesia maupun dari negara lain. Lagipula, siapa yang tahu, kan, kapan lagi Indonesia akan jadi tuan rumah untuk acara olahraga sekelas itu?

Menjadi bagian dari rangkaianw acara Asian Para Games 2018, walaupun hanya sebagai penonton, buat saya pribadi, adalah suatu pengalaman yang mengundang kekaguman, haru, dan tentunya sarat bahan refleksi (maklum, anak maGis), hehehe…

Salah satunya saat acara pembukaan. Karunia, seorang atlet panahan berkursi roda yang masih belia, hadir di tengah Stadion Utama GBK, membawa sebuah kotak kayu yang ternyata berisi tulisan “ABILITY” dan menyerahkannya kepada Presiden Jokowi. Ini sebagai simbol bahwa para atlet siap mengubah “disability” menjadi “ability”, ketidakmampuan atau kekurangan menjadi kemampuan atau kelebihan yang dapat mengharumkan nama bangsa. Saya yang memiliki indera dan anggota tubuh yang lengkap tapi sering kali merasa putus asa atau mengeluh karena hal-hal sepele menjadi malu dibuatnya.

Tidak berhenti di situ, puncak kekaguman dan keharuan saya rasakan saat menonton pertandingan Para Atletik.

Pertandingan Para Atletik dilaksanakan di Stadion Utama GBK. Saat itu berlangsung beberapa pertandingan sekaligus, seperti lari sprint, lempar lembing, lompat jauh dan lain-lain. Tapi fokus saya saat itu adalah pertandingan lari sprint. Salah satu kategorinya adalah untuk pelari dengan gangguan penglihatan. Saya keheranan saat para pelari yang mengenakan masker penutup mata mulai memasuki track lari dengan penuh percaya diri. Masing-masing atlet didampingi oleh seorang pemandu yang harus berlari bersama mereka dari start sampai finish.

Para pelari tersebut, walaupun sudah pasti bisa berlari cepat, belum tentu bisa berlari dengan baik dan selamat sesuai dengan jalur lintasan lomba. Banyak hal di luar kekuasaan si pelari yang akan menentukan hasil usaha mereka, sehingga mereka harus sepenuhnya percaya kepada para pemandu. Bayangkan saja, saat mereka mempersiapkan diri untuk Asian Para Games ini, berapa banyak hal yang harus mereka kompromikan dan berapa lama mereka telah berlatih bersama dengan para pemandu sehingga mereka dapat berlari dengan pace yang sama!  Lebih lagi, saya yakin bahwa usaha para atlet pasti bukan hanya dilakukan dalam hal fisik, tapi juga mental dan spiritual agar, selain berlari dengan baik, mereka dapat menaruh kepercayaan penuh kepada pemandu masing-masing.

Lalu saya tersadar bahwa apa yang baru saja saya lihat waktu itu tidak lain adalah sebuah analogi tentang kehidupan kita sebagai orang Katolik. Dalam hidup, sebagai manusia yang dilengkapi dan dimampukan untuk melakukan segalanya sendiri, sebenarnya kita tak ubahnya seperti para pelari dengan gangguan penglihatan itu. Walaupun kita bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, kita tidak dapat mencapai tujuan kita dengan baik dan selamat tanpa rahmat dan pertolongan Tuhan. Dalam hal ini, Roh Kudus lah yang menjadi pendamping kita. Seperti hubungan sang pelari dengan pemandunya, semakin sering kita bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan lewat Latihan Rohani, kita juga pasti akan lebih berserah dan percaya kepada bimbingan Roh Kudus dalam menjalani hidup kita sehari-hari, saat bekerja, belajar, melayani sesama, dan lain-lain.

Latihan Rohani adalah alat yang sudah teruji, yang dapat membantu kita dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari. Semoga karena ketekunan kita menjalani Latihan Rohani, kita semakin peka terhadap dorongan Roh Baik yang mengarahkan dan memampukan kita untuk mencapai tujuan hidup kita, yaitu memuji, menghormati, dan mengabdi Tuhan Allah kita. AMDG.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”

(2 Timotius 4:7)


Theresa Sila Wikaningtyas

Sila, pekerja di bidang pembangunan internasional/non-profit yang adalah pencinta anjing kampung (dan anjing jenis lain juga). Mengikuti Magis formasi 2017 karena tertarik untuk mendalami Spiritualitas Ignasian dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. AMDG

 


 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *