Kecil Bagiku, Besar Bagi dia dan Mereka

Bersama teman-teman sebelum menuju lokasi immersion experiment

“Bapak mau dapat anak perempuan ini?” tanya Pak Hengky, rekan Bruder Petrus di Yayasan Atmabrata, kepada seorang Bapak begitu kami masuk getek (perahu kayu) untuk menyeberang kali. Saat itu juga, Kamis, 12 April 2018, sekitar pukul sebelas, aku mendapat keluarga baru, bersama Sila, Frans, dan Eko, di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Reformasi. Kami pun segera nyemplung ke dalam keseharian mereka.

Aku tinggal bersama Pak Yuda yang sedang menganggur, istrinya Bu Nunung yang berjualan bunga, dan lima anak-anak mereka: Sapna yang kerap disapa Genduk (13, kelas 1 SMP), Dian (11, kelas 5 SD), Alfan (8), Anas (7, SD, laki-laki), dan Bunga (3). Kami tinggal di sebuah rumah kecil terbuat dari triplek dan kayu. Letaknya persis di bantaran kali di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Setiap harinya, selama tiga hari, aku membantu Ibu dan Sapna bergantian berjualan bunga tabur di kios kecil seberang kali, di pinggir jalan raya. Dekat situ ada suatu makam umum. Sesekali juga aku dan Frans membantu nenek (ibu dari Bu Nunung) mengoperasikan getek dengan menggunakan kayu, mengandalkan tenaga tangan manusia.

Tentang penghasilan untuk menopang hidup mereka, Bu Nunung sendiri bercerita padaku bahwa per harinya ia mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 40.000 dari berjualan bunga. Sementara nenek menarik tarif getek Rp 1.000 per orang dan Rp 2.000 jika beserta motor, per penyeberangan. Namun keuntungan itu masih harus dikurangi Rp 40.000 untuk disetor kepada pemilik getek setiap hari. Bisa dibayangkan, tentu juga tidak banyak keuntungannya. Jika menjelang sore, Bu Nunung mulai lelah dan Bunga mulai rewel, aku dan Sapna yang akan menjaga dagangan hingga Maghrib. Darinya aku belajar mulai dari memilih bunga-bunga yang hanya diambil bagian kelopaknya untuk dimasukkan ke dalam kantong kecil, juga mengelompokkannya berdasarkan warna bunganya: merah, putih, pink, ungu, dan sesekali dicampur daun pandan. Kantong kecil itu lalu diisi air dan diikat dengan karet, dijual dengan harga Rp 10.000 per 3 kantong, ditambah bunga kering untuk ditabur. Namun ada juga pembeli yang menawar harga, sehingga harganya bisa hanya Rp 5.000 per 2 kantong.

Suatu pengalaman amat berkesan aku alami dengan Sapna. Ia merupakan anak yang mudah mendekatkan diri dengan orang lain, walaupun baru dikenalnya. Ia banyak berbincang-bincang dan banyak bertanya mengenai bagaimana kehidupanku, walau tidak selalu kujawab dengan jujur. Namun rupanya ia anak yang nakal juga: suatu sore, ia mengambil sekitar Rp 5.000 – Rp 8.000 dari hasil berjualan untuk jajan pribadi dan Rp 4.000 untuk ia tabung. Lalu berkata kepadaku:

“Kak, jangan bilang mama ya aku ambil uang ini, nanti bilang aja kakak yang jajanin aku. Uang Rp 4.000 ini aku umpetin di dalam jilbab buat beli jam tangan hari Minggu nanti, habis di rumah dan di sekolah ga ada jam. Aku mau beli jam tangan yang gambar Doraemon. Berapa sih kak harganya? Lima belas ribu ya? Atau dua puluh lima ribu?”

Mendengar pertanyaan dari gadis kecil itu, aku amat terharu. Gigih usahanya menabung beberapa hari terakhir demi terkumpulnya Rp 15.000 – Rp 25.000! Sedangkan aku? Betapa mudahnya setiap hari kuhabiskan Rp 15.000 – Rp 25.000. Jumlah itu mungkin hanya cukup untuk makan siang atau jajan. Bahkan jika makan di restoran tentunya tidak akan cukup. Mungkin Bu Nunung akan merasa rugi juga jika ia mengetahui bahwa per harinya sejumlah Rp 12.000 hilang dari kaleng uangnya.

Saat bekerja mengoperasikan getek

Sapna mengajarkan kepadaku yang telah disibukkan dengan kehedonan kota Jakarta bahwa sesuatu yang mungkin kecil bagiku, bagi kita, namun berarti besar bagi mereka. Betapa seharusnya kita lebih bersyukur akan hidup kita masing-masing yang lebih beruntung dari mereka namun kerap kali kurang menyadari nikmat yang telah kita terima. Sapna, juga mereka yang kecil lainnya, mestinya mengusik gaya hidup kita, kalau betul kita solider dengan mereka. (IN)

***



Irene Nindia

Seorang karyawan yg menghabiskan waktu lebih dari 12 jam setiap harinya di kantor (bukan karena gila bekerja namun karena tuntutan profesi), penggiat travelling & kegiatan outdoor lainnya. Bergabung dengan Magis Jakarta sejak tahun 2015.

 


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *