Sebuah Pencarian: Di manakah Hatimu?  

Gereja di Kampung Koh

“Everything you’ve ever wanted is on the other side of fear.”

Sebuah kutipan yang kudengar dalam sesi MAGIS JCAP 2017 yang kuharap sudah didengar sejak dahulu, yang hingga kini terus bergema dalam diriku.

Keraguan dan kecemasan menghimpitku dan begitu menyesakkan di masa-masa persiapan acara MAGIS JCAP 2017 karena sungguh tidak disangka-sangka, saya dan teman-teman Magis Indonesia diberi peran dan tanggung jawab menjadi fasilitator untuk membawakan materi Ignasian di Kamboja nanti, dalam Bahasa Inggris yang jarang saya pergunakan dalam keseharian. Tetapi saya merasa dikuatkan dengan kalimat ini, confidence comes from competence—karena persiapannya bersama-sama, dibimbing dan diarahkan, tidak sendirian—dan semangat serta support dari Magisers yang terus mengingatkan ini adalah sebuah kesempatan berproses mengenali, mengolah diri dan menemukanNya yang akan menjadi pengalaman berharga, hal ini mengalahkan ketakutan-ketakutanku.

Beberapa hari pertama di Siem Reap adalah untuk berbagai preparasi, terutama berlatih untuk presentasi dalam bahasa asing, karena meski sudah memahami materinya, bahasa menjadi sebuah tantangan untuk menyampaikan isi dan maksudnya. Saat para peserta dari berbagai negara telah hadir dan JCAP Magis dimulai, merasakan kesatuan meski berbeda-beda latar, rasa semangat untuk berbagi dan melayani mereka begitu tinggi. Rasa cemasku yang tidak berujung itu kembali lenyap. Memasuki harinya untuk menerangkan materi, rasanya luar biasa deg-degan karena masih ada rasa takut terlihat bodoh dan tidak bisa menguasai materi, apalagi dengan animator masing-masing negara, yang sudah mempraktekkan latihan rohani lebih dulu dan tahu luar dalam Spiritualitas Ignasian. Saya menemukan diri begitu tinggi hati. Betapa sulitnya melakukan ini semua hanya untuk kemuliaanMu yang lebih besar, Tuhan. Bantuku melakukannya untukmu, bukan untuk diriku sendiri maupun siapapun, seruku dalam hati.

Memimpin games untuk anak-anak sekolah minggu

Hari-hari selanjutnya, saya sangat bersyukur karena bisa merasakan sukacita yang begitu melimpah dari companionship dan berbagai kegiatan: penyampaian materi Ignasian, bisa memperkaya pengalaman lewat cerita teman-teman di Magis circle, canda tawa dari berbagai permainan.

Sesungguhnya, tema “I know where my heart is” menurutku adalah sesuatu yang begitu berat dan dalam, yang belum bisa kujawab sepenuh hati seperti ungkapan alm. Sch. Richie, “I know where my heart is. It is with Jesus.” dan tersadarkan bahwa relasiku dengan Tuhan belum cukup kuat dan mendalam. Ketika memasuki persiapan immersion dan mengikutinya, saya pun masih merenungkan hal ini. Sebenarnya apa yang diinginkan Tuhan bagi hidupku? Ditambah lagi pertanyaan “Di mana magismu?” oleh seorang Frater juga menjadi bekal refleksi untuk direnungkan setelah pulang.

Pada salah satu acara di JCAP, ada sesi tentang diskresi yang dikaitkan dengan lingkungan hidup (ekologis) oleh Fr. Gabriel Lamug-Nañawa, SJ, seorang imam Serikat Yesus yang bermisi di Kamboja dan mengkoordinir Ecology Program Jesuit Service-Cambodia. Sebuah presentasi ekologi yang tidak dapat saya lupakan karena impact-nya yang membuka mataku akan penggunaan plastik dalam keseharian. Tindakan nyata meski tampak kecil seperti mengurangi penggunaan sedotan, kantung plastik, dapat berpengaruh banyak pada kelangsungan ekosistem secara global. Ia juga menerangkan betapa mengenaskannya kondisi hutan-hutan di dunia yang ditebang oleh korporasi yang tamak, terutama yang sedang terjadi saat ini di hutan Prey Lang, Kamboja, yang situasi politik negaranya pun sedang bersitegang. Kita semua turut bertanggung jawab atas apa yang dikonsumsi, dipakai, serta pelestarian alam.

Salah satu pengalaman ketersentuhanku dengan kepolosan dan sikap lepas bebas: ketika berada di Kampung Koh dan mengunjungi salah satu keluarga selama beberapa jam, empat anak kecil menarik tangan kiri dan tangan kananku dan mengajakku pergi ke tepi sungai, sambil terus berceloteh dalam Bahasa Khmer berusaha mengatakan sesuatu yang tak kupahami. Saya memang tidak mengerti apa yang mereka katakan, tapi lewat tawa dan jenakanya, kupaham mereka ingin mengajakku bermain. Awalnya, saya punya pemikiran sendiri harus melakukan apa, ekspektasi tersendiri saat immersion—yaitu dapat membantu dan memberikan diriku dalam pekerjaan yang mereka lakukan—ternyata malah diberi kesempatan untuk “bersantai”, melepas ketegangan dan menikmati ajakan Tuhan untuk ada buat anak-anak ini. Ah, setelah lama tidak bermain, berlari dan bersikap konyol seperti ini…akhirnya Yenny yang kecil kembali lagi. Tertawa lepas tanpa harus ada alasan. Dan betapa bersyukurnya saya akan anak-anak ini yang menjadi pengingat bahwa dalam hidupku pun perlu adanya istirahat, tidak melulu bekerja, melayani dan sibuk aktif sana-sini itu baik. Lalu kusadari juga bahwa kesibukanku malah membuatku tidak bisa berfokus pada hal yang penting, yaitu relasiku dengan Allah dan orang-orang terdekatku…

Di sebelah rumah kunjungan, saya tertegun ketika kumelihat Sr. Ayumi dari Jepang yang tidak lancar berbahasa Inggris sedang bermain dengan bayi dan anak-anak, melihat wajahnya yang berseri dan terus tersenyum di antara orang-orang rumah itu, mengingatkanku pada kisah Maria dan Martha—di mana sayalah Martha-nya, selalu sibuk, selalu mencari the next interesting thing / task to do, tapi apakah ingat untuk ‘menjadi’ diri sendiri dan ada buat orang lain, apa adanya diri saya?

Sedangkan dua keluarga yang dikunjungi di pagi hari itu, mencerminkan betapa the dignity of work itu begitu nyata. Keluarga pertama yang kukunjungi tampaknya tidak bekerja, tidak bercocok tanam pula, dan tidak ada air bersih di bak penampungan airnya. Sang Ayah duduk saja termenung di bawah tangga rumah panggungnya yang kehilangan setengah lantai papannya, tidak melakukan apa-apa. Sang ibu sibuk menggendong anaknya yang masih bayi, sedangkan ada tiga anak kecil usia balita berkejar-kejaran satu sama lain hanya dengan mengenakan kaus kebesaran yang sudah dekil, sampai terguling-guling di tanah yang penuh sampah beling dan kemasan plastik yang warnanya sudah memudar. Kami memunguti sampah di pekarangan rumah, karena untuk berbincang tidak memungkinkan, meski sesungguhnya kami penasaran sekali mengenai keseharian mereka dan bagaimana mereka menopang hidup.

Sehari sebelumnya, kulihat seorang ibu yang bagiku—kasarnya—seperti “gembel”, seperti tidak mandi berhari-hari, dan baju yang sepertinya tidak diganti berhari-hari, namun tersenyum terus yang membuatku tidak nyaman. Lucu memang, Ibu itu hadir, entah penghuni atau tetangga rumah ini dan membuatku tidak nyaman lagi sepanjang memunguti sampah. Ketika jari luka karena memungut beling, saya tahu yang terbaik kulakukan adalah mencucinya dan lap ke kain kroma yang sedang kukenakan supaya tidak infeksi. Tiba-tiba seseorang datang tergesa-gesa dengan wajah cemas, dan tidak lain tidak bukan si ibu “gembel”, membawakanku plester elastis yang bersih. Di tempat kotor penuh sampah seperti ini, begitu tulus hati ia memberikan plester untukku dan mencemaskanku, seorang asing yang memandangnya rendah. Saya amat malu pada diri sendiri, kuusap airmata haru campur malu, rasanya ingin menutupi wajah karena sikap dan penilaianku, tapi apa daya… Tanganku kotor penuh tanah.

Rumah kedua pagi itu, saya bertemu dengan suami istri yang sudah usia lanjut namun begitu enerjik dan hidup, mereka berkebun, menanam sayur dan buah. Untuk seusia mereka, di mata saya mereka begitu sehat, masih tegak, berjalan cepat, airmukanya segar.  Pekarangannya bersih, berbeda sekali dengan keluarga sebelumnya, mereka mengumpulkan botol plastik dan ditempatkan di baskom. Rumahnya lebih kecil lagi, hanya gubuk terbuat dari jerami, yang dindingnya dihiasi foto-foto keluarganya dan foto orang-orang kudus. Ketika kami datang dan mengucapkan Merry Christmas, wajahnya bersinar, ia menggenggam kedua tangannya dan mulai berbicara dalam Bahasa Khmer dengan cepat dan lantang kepadaku. Kata teman lokal kami, ia sedang mendoakanku dan memberkatiku. Bagaimana mungkin rasa haru tidak menghampiri?

Karena ia sudah selesai bekerja, ia meminta kami untuk duduk di pondoknya yang sederhana. Kutawarkan diri untuk memijatnya, cukup yakin dengan kemampuanku, yang dengan senang hati disambut. Setelah selesai memijat, ia menyuruhku berbaring dan mengikuti arahannya karena ia mau menunjukkan padaku bagaimana memijat yang benar dan ia sukai. Eh, tanganku ditarik dan bokongku ditendangnya (dipuntir!) hingga tulangku berbunyi! Duh, tidak mungkin bertahan untuk tidak mengikuti gelak tawanya saat itu melihat wajah linglungku. Siapa sangka sih saya akan dipuntir di Kamboja?

Perbedaan dari dua keluarga tersebut membuatku melihat bagaimana mereka bisa hidup sederhana namun bahagia. Pada keluarga kedua, meski sudah tua dan bekerja selain karena kondisi ekonomi yang mengharuskan, kuyakin itulah yang membuat mereka begitu “hidup”, bersemangat dan punya hidup yang berkualitas. Ada aktivitas yang membuat mereka sibuk, jadi banyak bergerak, banyak berinteraksi dengan sekitar, ada tujuan untuk dijalani setiap harinya. Kontan kuteringat masa-masa belum mendapat pekerjaan dan rasanya memang sangat tidak menyenangkan, hampa dan idle, dan bersyukur atas pekerjaan yang saat ini kumiliki, kembali malu terhadap sikapku yang masih menggampangkan kesempatan bekerja, padahal banyak orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Dengan berbagai kendala bahasa dan karenanya tidak bisa banyak bantu bekerja/apa yang sedang mereka lakukan, persentuhan dengan masyarakat lokal yang miskin membuat saya menyadari betapa mereka dikasihi, dirawat dan diperhatikan Tuhan yang menciptakannya. Bahwa cinta Tuhan yang tulus dan sederhana ada di dalam keluarga mereka, terwujud dalam kepolosan dan kenaifan yang mereka miliki.

Kampung Koh Immersion

Semua peserta immersion di Kampong Koh beserta Sr. Jeeranan

Menjelang akhir acara, saya menyadari bahwa inti dari melayani dalam MAGIS JCAP ini (dan pelayanan secara luas) tidak memerlukan diriku yang hebat-hebat dan sempurna, melainkan diri yang mau taat pada arahan, setia dan tulus dalam melakukannya, serta pentingnya melibatkan orang lain, dengan menyadari kelemahan pribadi lalu belajar meminta bantuan, pentingnya persiapan yang baik, serta betapa semua yang saya dan teman-teman bisa lakukan ini hanyalah dari rahmat Tuhan yang memampukan kami. Adapun semangat yang kami terima dan dapatkan dari keseluruhan acara selain persahabatan antar negara, rasa kesatuan dalam naungan komunitas Magis ini, adalah bahwa Spiritualitas Ignasian–yang disebut-sebut spiritualitas orang sibuk–serta latihan rohani tidak terbatas hanya untuk para Yesuit, melainkan bisa dilakukan dan dijalani oleh orang awam bahkan anak muda sekalipun: mereka yang merindukan persahabatan dengan Allah, yang dalam perjalanannya menatap dan mengenali diri, akan semakin peka akan perjumpaan-perjumpaan dengan Ia yang tidak pernah meninggalkan kita serta selalu menemui kita di mana kita berada.

Keyakinanku dalam menjawab berkata “I know where my heart is” dan pertanyaan “di mana magismu?” mungkin belum sekuat itu saat berada di sana. Harapku adalah semakin hari, kalimat tersebut tidak hanya menjadi sebuah slogan yang diucapkan ringan saja tetapi meniadi sesuatu yang diyakini sungguh-sungguh dalam hati dan mengingatkanku untuk selalu bergerak menghidupi motivasi murni, untuk kemuliaan Allah yang lebih besar. (YL)



Yenny Lestari

Yenny adalah seorang pecandu musik klasik yang bekerja sebagai desainer grafis dan merasa sejak bergabung dengan Magis formasi 2016 dengan tujuan menemukan teman-teman seperjalanan dalam pencarian makna, hidupnya semakin berwarna baik itu gelap maupun terang.

 


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *