Apa pun yang terjadi, terjadilah…
Pada tanggal 24 Maret 2017, peserta live in harus berkumpul di Johar Baru untuk pembekalan terakhir sebelum ditugaskan ke tempat live in masing-masing. Sepanjang perjalanan dari kantor menuju tempat live in, perasaanku sangat campur aduk dan tidak terkontrol. Membayangkan menetap selama 3 hari 2 malam di sebuah tempat yang jauh dari nyaman membuat rasa takut, khawatir, dan jijik muncul mendominasi. Semua rasa itu membuatku ingin berbicara ke supir taxi online “Pak, putar balik saja ke arah Bekasi”. Namun, aku berpikir bahwa aku harus bertanggung jawab terhadap pilihan yang sudah kubuat. Pada akhirnya aku urungkan niatku untuk putar balik dan membulatkan tekad, “Apa pun yang terjadi, terjadilah”.
Tibalah waktu yang mendebarkan, yaitu pembagian tempat live in dan voila… aku mendapat tugas live in di daerah Kebon Nanas. Shock!! Karena sebenarnya ini adalah salah satu area yang aku hindari. Sebagai informasi, Kebon Nanas terkenal dengan area pemakaman warga etnis Tionghoa dan aku takut membayangkan jika nanti aku melihat hantu. Tapi kembali lagi, itu semua sudah dibagi dan tidak dapat ditolak. Apa pun yang terjadi, terjadilah.
Sebelum istirahat malam, kami diminta menceritakan ketakutan dan harapan dari kegiatan live in di dalam circle live in. Ketakutanku ada dua hal, yaitu takut ketemu hantu dan takut tidak mampu menjalani live in ini. Sedangkan untuk harapan, aku hanya memiliki satu hal saja, yaitu kembali dengan sehat dan waras. Aku benar-benar berharap dengan rasa campur aduk yang dimiliki ini masih bisa membuatku sehat dan waras hingga kembali ke kehidupan normal.
Keesokan harinya kami memulai perjalanan ke Kebon Nanas. Sepanjang perjalanan tidak banyak hal yang kami obrolkan, mungkin teman-teman yang lain pun sibuk dengan pikiran dan rasanya masing-masing. Sesampai di sana, kami disambut oleh seorang ibu, namanya Ibu Erna. Dari Ibu Erna, kami tahu akan tinggal di mana dan bekerja sebagai apa. Lagi-lagi aku dibuat shock, karena aku mendapat induk semang seorang pemulung di pasar dan sebenarnya tempat itu lah yang sangat kuhindari, karena aku tidak suka bau. Kemudian dititik inilah aku menyadari bahwa Tuhan memintaku untuk benar-benar berpasrah. Tidak ada jalan keluar lain selain pasrah dan mengikuti skenarioNya.
Hadiah dari Tuhan
Induk semangku adalah Mak Nur, ia sudah bekerja selama 27 tahun menjadi seorang pemulung sampah di pasar. Ia mengumpulkan botol, plastik, kaleng, dan kardus bekas. Barang-barang bekas tersebut kemudian ditimbang setiap dua minggu sekali dan sekali menimbang, kurang lebih menghasilkan uang Rp 900.000. Namun, Rp. 900.000 tersebut masih harus dibagikan kepada beberapa orang yang membantunya saat mengumpulkan barang bekas. Jadi penghasilan bersihnya berkisar di antara Rp 300.000-400.000. Jika ditotal ia hanya mendapatkan Rp 800.000/bulan.
Dari penghasilan itulah, ia membiayai kehidupan keluarganya dan harus cukup sampai Mak Nur mendapat uang lagi dari hasil menimbang barang bekas. Sebenarnya, Mak Nur memiliki seorang suami yang bekerja sebagai tukang sampah pasar dan memiliki penghasilan tetap dari pemerintah. Namun sayang, penghasilannya hanya dihabiskan untuk membeli minuman berakohol dan rokok.
Di dalam rumah berukuran 3×4 meter, Mak Nur tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Karena sudah tidak ada ruang, aku dititipkan di rumah adiknya, yaitu Mak Sum yang tinggal di sebelah rumah induk semangku. Mak Sum bekerja sebagai tukang pijat panggilan. Kedua orang putrinya sudah berkeluarga dan tinggal di kampung, jadi Mak Sum tinggal seorang diri di rumah tersebut.
Di tempat Mak Sum, aku tinggal berdua dengan Galih, tetapi Galih hanya sementara sampai dijemput oleh induk semangnya. Di hari pertama bekerja, aku sudah menyerah dengan keadaan. Seperti pecundang yang kalah sebelum berperang. Saat aku memilah-milah sampah, aku membatin dalam hati “Ya Tuhan, apa aku mampu melakukan ini? Aku ga kuat. Hari ini masih untung ada Galih yang menemani aku, kalau aku sendiri apa aku mampu? Besok gimana Tuhan, aku sendirian. Apa pulang aja yah?”.
Waktu terasa sangat panjang sekali. Seperti oase di padang gurun ketika mendengar suara Mak Sum “Udahan yuk, kita pulang. Besok kita kesini lagi.” Kemudian Galih bertanya, “Emang sekarang jam berapa Mak?” Mak Sum menjawab “Jam setengah empat.” Kita berdua kaget, ternyata kita baru kerja 1,5 jam, rasa lelahnya sudah seperti 8 jam kerja. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terfokus pada esok hari di mana sudah tidak ada Galih dan aku harus menghadapi semuanya sendirian.
Malamnya, aku mendapat kabar bahwa Galih tidak jadi dijemput. Rasanya senang sekali dan ingin loncat memeluk Galih. Bagiku, berita Galih tidak jadi dijemput adalah hadiah terindah yang diberikan Tuhan saat itu. Lega sekali malam itu dan merasa mendapat amunisi baru untuk besok pagi.
Sugesti rasa yang membatasi aksi
Dengan amunisi baru, aku memiliki secercah harapan bahwa hari kedua akan lebih mudah dilalui. Namun, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Sampah yang kami hadapi hari ini lumayan beragam dibandingkan hari kemarin, mulai dari makanan basi hingga sampah plastik. Telapak tanganku sampai tergores pecahan beling dan tertusuk lidi sate secara bersamaan. Saat kunaikkan telapak tanganku untuk melihat lukanya, aku melihat ada beberapa belatung yang menempel pada sela-sela jari tanganku. Ingin teriak, tetapi aku malu. Jadi kucoba kuatkan hati saja sambil berkata dalam hati “It’s ok, Wulan! Belatung ga gigit kok, kamu ambil aja belatungnya pakai lidi sate itu”. Akhirnya aku lakukan hal itu dengan sok berani, padahal kaki gemetaran dan kalau Galih tahu dan bertanya kenapa, pasti aku akan menangis. Fiuuhh!!
Hari semakin siang, tenggorokan rasanya kering dan perut mulai berbunyi. Tidak lama, Mak Nur teriak “Wulan, Galih! Nih makan gorengan sama minum dulu”. Aku menoleh ke arah Mak Nur dan di sebelah Mak Nur ada seplastik bakwan dan sebotol aqua dingin. Aku cuma menjawab “Iya mak, sebentar, lagi nanggung”. Kemudian terdengar suara dari anak buah Mak Nur “Yaelah mak, mana mau anak kota makan begituan, apalagi di tengah tumpukan sampah begini. Emang situ bisa nelen makanan dimari”. Sambil memandangku. Dengan sok berani aku menjawab “Aahh si abang nyepelein nih. Bisa lah”. Padahal apa yang dikatakan si abang itu benar adanya. Aku merasa jijik Abang tersebut menyahut lagi “Ya udah sini! Ah.. bilang aja ga berani. Jangan sok dah, ntar malah sakit perut berabe”. Karena tidak terima dipandang rendah, aku langsung mengajak Galih cuci tangan untuk makan bakwan. Namun, ternyata sabun cuci tangan tidak dapat mengalahkan bau sampah di tanganku plus kuku-ku masih hitam-hitam karena sulit membersihkan sampah yang masuk di dalam kuku. Dengan kondisi seperti itu, aku beranikan diri mengambil botol aqua dan meminumnya. Lalu aku ambil bakwan dan memakannya. Setiap gigit bakwan, aku tahan nafas agar tidak tercium bau sampah dari tanganku. Berhasil, satu bakwan telah habis kumakan dan berlanjut memakan bakwan selanjutnya.
Dari kejadian tersebut aku menyadari bahwa sugesti rasa terkadang membatasi sebuah aksi. Rasa negatif yang muncul membuat kita khawatir untuk melangkah dan membatasi ruang gerak kita. Walaupun terkadang setelah melangkah, apa yang kita khawatirkan tidak terjadi dan malah membuka kesempatan kita semakin luas lagi mengalami ‘kejutan’ yang disiapkan olehNya. Dalam kejadianku ini, akhirnya aku bisa kenyang dengan memakan tiga bakwan itu, padahal sebelumnya aku merasa jijik.
Jangan khawatir akan hari esok
Pada tanggal 27 Maret 2017, kegiatan live in kami selesai. Dengan berat hati kami meninggalkan Mak Nur yang masih bekerja di velbak (bak sampah besar). Setelah sampai di Wisma KWI, kami diminta silentium dan menulis refleksi selama live in.
Aku menulis refleksi di pinggir kolam renang. Saat itu sama sekali tidak tahu mau menulis apa. Hanya berkata dalam hati “Tuhan, apa yang mau Kau sampaikan padaku?” Berselang beberapa menit, ada kejadian unik yang menarik perhatianku. Di sekitar kolam renang banyak burung hitam yang beterbangan. Kemudian satu burung terbang menukik ke arah kolam renang, meminum airnya dan terbang kembali. Kejadian ini beberapa kali terjadi dan membuatku teringat akan satu lagu rohani anak-anak yang sering dinyanyikan di sekolah minggu : “Burung pipit yang kecil dikasihi Tuhan, terlebih diriku, dikasihi Tuhan.” Lagu rohani ini pun yang mengingatkanku pada ayat di Injil Matius 6: 26 dan 34; “Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai, namun diberi makan oleh Bapamu yang di Surga. Jadi, janganlah kamu khawatir akan hari esok, karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. Agak terkejut juga ketika menyadari hal ini, akhirnya aku mencoba menghadirkan semua kembali kejadian-kejadian penting bagiku selama live in. Sambil menyadari benang merah dalam live in ku adalah rasa khawatir tentang banyak hal dan ketakutan akan standar makanan yang jauh berbeda dari kebiasaanku.
- Rasa khawatir : Dari awal perjalanan hingga akhir kegiatan live in, aku hanya sibuk dengan rasa khawatirku yang mendominasi. Khawatir dengan tempat, khawatir dengan pekerjaan, khawatir jika ditinggal Galih, khawatir dengan anggapan orang, khawatir dengan makanan yang kumakan. Tidak merasakan ketenangan pada saat live in dan sekarang kusadari bahwa aku bukan berserah padaNya, tetapi terserah (pada egoku).
- Makanan : Selama live in, semua makanan yang aku makan berasal dari sampah. Sayur dan lauk yang dimasak Mak Nur adalah hasil pemberian dari para pedagang pasar karena sudah tidak layak dijual dan akan dibuang. Pemberian tersebut adalah ucapan terima kasih kepada Mak Nur karena sudah membantu membersihkan kios mereka. Selain sayur dan lauk, buah yang disajikan kepada kami pun adalah buah yang ditemukan di bak sampah. Awalnya aku marah dan terhina ketika tahu makanan yang aku makan adalah makanan sisa. Apalagi kami sudah memberikan biaya makan selama kami live in. Namun, kini aku menyadari bahwa inilah cara Tuhan memelihara Mak Nur untuk tetap hidup. Meskipun mungkin caraNya aneh dan tidak layak menurut orang kebanyakan, tapi toh selama 27 tahun Mak Nur makan makanan seperti itu dan ia tetap sehat.
Dari dua hal kecil tersebut, aku merasakan Tuhan hadir dan berbicara padaku “Tenanglah anakKu, jangan khawatir. Burung pipit saja Kupelihara dengan baik, apalagi engkau. Aku akan selalu menjaga dan memeliharamu dengan caraKu.” (YMW)