Beberapa waktu yang lalu di salah satu pagi di hari kerja yang sibuk, aku harus berjuang menjejal masuk ke dalam gerbong commuter line yang menjadi moda transportasi andalan sehari-hari dari rumah menuju tempat kerja. Hari itu aku membawa cukup banyak barang di ranselku, menggembung besar tidak seperti hari-hari lainnya. Bersamaan dengan itu, sayangnya, tidak ada lagi tempat untuk meletakkannya di rak atas di dalam gerbong. Kutopang ranselku di atas kepala sambil berusaha memposisikan badan se-seimbang mungkin di dalam kereta yang melaju. Satu-dua stasiun berlalu, lama-lama terasa kelu kedua lenganku. “Empat puluh menit saja, Fanya… Empat puluh menit,” aku bergumam sendiri untuk menghalau pegal. Namun hati berkata lain, ia lebih senang mengajakku untuk mengingat kembali satu sosok wanita yang piawai sekali menggendong bermacam-macam dagangan, termasuk di atas kepalanya. Ya, aku pernah hidup sebentar bersamanya saat aku berangkat Immersion Experiment Magis Jakarta 2017.
***
“Selanjutnya siapa?” tanya Ibu Mita setelah mengantar Puput ke tempat ia akan bekerja selama live-in. Ibu Mita adalah seorang umat Paroki Semper yang membantu karya Bruder Petrus di Kampung Bulak Cabe, Cilincing. Ia mengelola sekolah TK Atmabrata II dan kini ketambahan job desk: mencarikan tempat bekerja untuk kami.
“Fanya saja,” tunjuk salah seorang temanku. Aku cuma mendengus diam-diam, mengapa, sih, harus tunjuk-tunjuk? Ada perasaan tidak suka dalam diriku, mengapa pula harus seperti diatur-atur oleh orang yang belum cukup kukenal? Ya, pada momen Immersion Experiment-ku di tahun 2017 itu, memang aku berada dalam situasi tidak mengenal teman-teman formasiku yang di tempatkan di satu kampung bersama-sama – selama ini cuma sebatas tahu nama dan dari circle mana ia berasal. Sebagai orang yang biasanya reaktif serta cenderung meletup-letup, kali itu aku cuma diam saja, daripada bertengkar. Aku terus mencoba mengosongkan diri dan merendahkan hati, sebagai bentuk komitmen pada diriku sendiri untuk sungguh-sungguh berproses dalam Immersion Experiment ini. Emosiku kutahan bersama segala perasaan lainnya yang berkecamuk saat itu. Potongan-potongan kejadian yang telah berlalu berputar cepat seiring dengan detak jantungku yang menguat,
- Waktu kedua animatorku tanpa memaksa namun terus menunggu kepastian apakah aku ikut live-in atau tidak; waktu nasib cutiku digantung karena tuntutan kerja sedang banyak-banyaknya
- Waktu orang tuaku berulang-ulang kali menanyakan “Kapan perginya?” untuk menutupi kekhawatiran mereka; serta
- Waktu Frater membacakan salah satu ketakutanku di pembekalan 2 tepat sebelum kami berangkat, “Wah ada yang takut nggak dapat air bersih ini!” – kemudian disambut cekikik yang lain. Aku tidak lantas langsung malu, tidak. Namaku tidak disebut juga, tidak malu lah. Aku juga setuju kalau memang kejujuranku itu terkesannya jadi konyol dan mengundang senyum-senyum dari siapa saja yang mendengarnya, mengingat bahwa memang sepatutnya kita tidak mengharapkan yang enak-enak untuk menjalani immersion experiment ini toh.
***
Bukan tanpa alasan aku menuliskan ketakutan tersebut saat mengisi form keikutsertaan live in yang baru kuisi di H-4 itu. Saat itu kondisiku sedang payah-payahnya, sudah memasuki minggu ke-3 aku batuk, setelah 2 minggu sebelumnya aku sempat demam tinggi juga. Pada saat itu aku sangat paranoid dengan sakit batuk, gara-garanya di pertengahan tahun 2016, waktu itu aku sedang mencari pekerjaan sebagai tenaga fisioterapis di salah satu rumah sakit swasta. Sudah seleksi, wawancara lengkap, tandatangan kontrak, tes kesehatan, begitu pengumuman tes kesehatan? Katanya aku kena TBC dan langsung didiskualifikasi.
Waktu kutanya atas dasar apa bisa dikatakan aku TBC, rumah sakit tersebut hanya bilang itu rahasia, kalau mau tahu mohon ditebus biaya cek kesehatannya dengan jumlah mahal. Wah, apa-apaan ini. Namun hati kecil juga takut sendiri; selain takut mati karena tidak segera diobati, aku takut menulari orang lain yang berinteraksi denganku. Inisiatif, aku coba cek ke rumah sakit khusus paru jantung di Jakarta Timur juga ke salah satu klinik spesialis untuk periksa permasalahan paru jantung. Keduanya menyatakan saya sehat (Puji Tuhan!). Tapi saya juga kecewa dan marah, karena merasa dizalimi dengan sangat tidak adil dan merasa menjadi korban PHP dari rumah sakit itu. Belum bergaji, sudah keluar pula uang dalam jumlah besar untuk memastikan saya TBC atau tidak, dua kali lagi! (Yang ujung-ujungnya minta lagi sama orangtua). Sisanya aku selalu mengumpat setiap melewati rumah sakit yang membatalkan kontrak kerjaku tadi dan sejak saat itu aku selalu paranoid kalau mulai batuk-batuk.
Berangkat dari peristiwa itu, ketakutanku muncul; takut tidak ada air bersih, takut hidup di pemukiman kumuh yang lembab dan kurang pencahayaan matahari, takut tertular penyakit yang berbahaya, pokoknya aku hanya ingin sehat dan terhindar dari segala bahaya terpapar bakteri-bakteri jahat. Egois, ya? Ya, aku berpikir hal yang sama. Tapi ya bagaimana? Wong aku benar-benar takut! Ditambah lagi kondisiku masih belum fit, imun pasti rendah, aduh, bagaimana ini kalau aku malah semakin sakit? Ada sisi diriku mencoba menghibur, mengingatkanku akan kisah-kisah inspiratif orang-orang beriman yang dengan berani membela yang lemah sekalipun harus ikut menjadi lemah; turut dikucilkan atau minimal tertular penyakit. Contohnya Ibu Theresa dari Kalkuta. Namun sisi diriku yang lain dan lebih bertenaga segera menghardik dan menepisnya, “Ya itu kan Ibu Theresa! Karena itulah, ia jadi Beata! Kita kan orang biasa!” Maka ciutlah sisi diriku yang lebih lemah tadi (dan semakin lemah, semakin rendah diri). “Iya, ya, aku takut, aku belum siap.”
***
“Jadi siapa?” suara tanya Bu Mita terdengar lagi.
Aku menatap teman-temanku, tersisa Yenny, Kelly, dan Joe. Mereka juga menatapku.
“Ayo sebentar lagi ibunya mau ke sini, biar cepat sebelum hari semakin siang,” Bu Mita juga menatapku.
Aku pasrah. Aku diam tidak berkata-kata, hanya unjuk tangan. Kurang dari lima menit setelah aku menyerahkan diri, ibu live-in ku datang. Tidak tergopoh-gopoh, handal sekali ia membawa 3 kontainer plastik berisikan kue-kue dagangan yang masih tersisa sedikit. Badannya kurus kecil, kulitnya khas terbakar matahari sehari-hari. Namun senyumnya mengembang cerah.
“Panggil saya Mama Laras aja. Laras anak saya yang pertama,” begitulah kira-kira salam perkenalan yang diungkapkannya, “ini saya sudah selesai bekerja, jadi hari ini di rumah saja kita.” Ya, Mama Laras bekerja sebagai penjaja kue dan susu kedelai, ia berdagang berkeliling kampung berjalan kaki. Jarak rumahnya dari TK Atmabrata asuhan Bu Mita tidak terlalu jauh, namun areanya makin lama makin menyempit. Benar saja, rumahnya pun sempit, kira-kira 2,5 meter x 3,5 meter saja, termasuk kamar mandi di dalam. Dengan perabot seadanya, rumah itu antara rapi dan tidak rapi, lengkap tidak lengkap. Ada speaker sumbang untuk pasang musik (ya tinggal colok flashdisk), televisi kecil yang usang tapi lumayan, ada rice cooker, dan kompor minyak yang sudah lama tidak dipakai karena tidak tahu mau beli minyak tanah di mana.
Mama Laras kemudian bercerita bahwa ia seorang ibu dari 3 anak, suaminya dulu seorang satpam pabrik namun sudah 6 bulan menganggur pasca di-PHK dari perusahaan outsource yang menaunginya. Maka, Mama Laras mulai berjualan kue untuk bantu keuangan keluarga. Setiap hari Mama Laras mulai kerja pukul 5 pagi untuk ambil dagangan dari pemodal, 5.30 mulai bergerak berjualan, sekitar pukul 10 atau 11 biasanya sudah di rumah lagi. Mengerjakan pekerjaannya ia biasa dibantu Laras yang masuk sekolah siang (Laras kelas 2 SMP), maka dengan kedatanganku setidaknya aku telah merasa berguna karena memberikan kesempatan libur buat Laras. Dua adik Laras yang lain yaitu seorang anak laki-laki kelas 4 SD dan yang bungsu anak perempuan masih di TK B di TK Atmabrata tempat Bu Mita, kendati ia sudah berusia 7 tahun. Alasannya simpel namun menyayat: belum cukup uang untuk menyekolahkannya ke SD. Suami Mama Laras sehari-harinya banyak di rumah dan antar jemput anak sekolah, atau serabutan bantu tetangga sekiranya ada pekerjaan yang bisa dikerjakannya. Pendapatan rata-rata Mama Laras sendiri sekitar 30 sampai 50 ribu rupiah per harinya.
Hari pertama itu berjalan lambat sekali, ditambah aku tidak melakukan pekerjaan apa-apa karena semua pekerjaan berdagang sudah selesai. Aku malah disuruh tidur siang dan diberi makan opor ayam. Kaget juga, tidur siang dan makan opor ayam tidak pernah masuk daftar harapanku apalagi masuk daftar ketakutanku untuk ikut live-in ini. Inikah tanda kehadiran Tuhan yang nyata itu? Ya, yang kutuliskan di papan harapan sebelum berangkat live-in: Ingin menemukan Tuhan. Sungguhkah lewat peristiwa ini Tuhan? Cepat sekali, belum sampa seperempat hari aku berada di Cilincing ini, Tuhan!
“Anak-anak kan pada punya KJP, nah itu buat beli seragam, buku, tas, daging sama susu juga bisa. Kata Pak Gubernur anak-anak makannya harus bergizi, biar pinter. Jadi saya belikan ayam, tapi anak-anak nggak suka susu jadi ini nih saya belikan ini,” begitu ujar Mama Laras sambil menunjukkan botol madu. Ah, Mama Laras membuatku kagum. Menurutku, Mama Laras bukan sekadar pekerja keras. Ia juga pintar mengatur strategi dan panjang akal untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Yang paling utama, ia tetap sayang dengan anak-anak dan suaminya, walau di tengah kehidupan yang susah itu anak-anaknya masih suka bertengkar memaksa minta uang untuk jajan berulang-ulang, ditambah suaminya yang juga masih saja harus dipenuhi kebutuhan merokoknya.
Kekagumanku terhadap Mama Laras tidak berhenti di situ saja. Menurutku ia telah memberikanku teladan untuk menghargai dirinya sendiri meski ia dipandang rendah orang lain. Jadi, setelah tidur siang dan makan opor ayam, aku diajak berkunjung ke rumah kakak iparnya. Ukurannya lebih luas dari rumah kontrakan Mama Laras. Semua saudara-saudara di situ tampak ‘mentereng’, bahkan termasuk anak-anak Mama Laras pun pakaiannya rapi-rapi. Suaminya juga, kalau kulihat dari sendalnya yang bukan sandal karet biasa, ya. Mama Laras sederhana apa adanya. Ada salah satu adik ipar dari Mama Laras yang entah pekerjaannya apa, yang jelas ia cukup sukses. Hari itu ia datang sambil membawa beberapa baju baru untuk dibagi-bagi untuk semua saudara di situ, mulai dari kakak-adik hingga keponakan-keponakan. Ada pemandangan yang aneh tapi nyata; baik yang tua, muda, apapun anak-anak, walau sudah diberikan baju masing-masing sesuai namanya (sudah dibikin seperti bingkisan), antar anggota keluarga sendiri masih ada yang iri. Lebih lucu lagi, ada anak (usia 20an, sudah bersuami dan punya anak 2) dan ibunya yang bertengkar rebutan celana panjang garis-garis.
Anaknya pergi pulang, ibunya kemudian menangis kesal sembari curhat, “Dasar jadi anak sama emaknya nggak mau ngalah! Inget nggak sih dia, bapaknya ngga ada siapa yang cari duit? Saya! Sekolah pakai uang siapa? Saya! Nikah pakai uang siapa? Saya! Sampai sekarang saya bantuin dia, jualan sedikit-dikit bantuin beli jajan buat cucu, kalau dia kerja di pabrik shift malam juga nitipin cucu, sekarang kayak gitu doang ngga mau ngalah!” ia tersedu sedan. Kupandang Mama Laras di sudut ruangan, di lorong ke arah dapur. Sementara orang-orang sibuk antara mendengar curhat ibu yang menangis tadi sambil sibuk mengurusi bingkisan masing-masing, Mama Laras inisiatif merapikan piring dan gelas kotor yang dilupakan orang-orang begitu selesai menggunakannya untuk makan. Mama Laras siap-siap cuci piring. Oh Tuhan, apa tugasku di sini untuk mengamati sifat-sifat manusia yang cenderung rakus tak keruan untuk dibandingkan dengan ketabahan Mama Laras yang lebih memilih memanusiakan dirinya dengan berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat? Tak langsung kudengar jawaban Tuhan.
Sudah tidur siang, sudah makan opor ayam, ditambah makan batagor dan berbagai macam keripik serta minum air es yang disuguhkan, sudah nonton kartun dan menontoni bocah-bocah kompak berbarengan menyanyikan lagu partai yang diulang-ulang selama iklan komersial menjeda acara televisi, matahari tak kunjung turun. Hari itu sungguh terasa sangat lambat. Sampai kembali di rumah Mama Laras, aku pergi mandi. Kagumku muncul lagi; kamar mandinya tidak berpintu, tidak bertegel, namun tidak berbau. Rupanya klosetnya selalu ditutup oleh papan triplek. Mama Laras dalangnya. Sungguh, diriku mulai membaur dengan versi bersihnya rumah ini. Sungguh, bersih! Pun suami Mama Laras juga tidak merokok di dalam rumah. Ah, aku mulai senang, tidak sabar menunggu malam untuk tidur di rumah ini.
“Fanya, maaf ya, kan rumah saya sempit, jadi nanti tidur di TK saja di tempat Bu Mita,” ucap Mama Laras saat mempersiapkan makan malam. Oya, menu makan malamku saat itu adalah rendang, hasil bawa bungkusan dari acara di rumah kakak ipar Mama Laras tadi. Di suapan ketigaku, mendengar ujaran Mama Laras membuat rendangku mandek tidak bisa ditelan, disusul sekelibat perasaan merinding menyelimutiku. Walah, yang benar saja, tidur di sekolahan? Sendirian?!!!! Lagi-lagi, mana bisa aku protes. Aku mengangguk sembari berpikir keras berusaha menyusun rencana, kira-kira antara Joe, Puput, Yenny, atau Kelly ya yang mau menemani? Eh, apakah mereka rela melepaskan momen berharga untuk turut merasakan tidur di rumah sederhananya masing-masing bersama keluarga live-in masing-masing hanya untuk menemaniku yang juga masih asing bagi mereka? Tapi aku takut sendiri… Lagi-lagi, peristiwa ini jelas bukan harapan yang kutuliskan dan juga tidak pernah terekspektasikan sehingga membuatku jaga-jaga untuk menuliskannya di daftar ketakutan: takut tidur sendirian di kelas kosong di sekolahan.
Setelah bercerita kepada teman-teman saat berkumpul untuk circle malam, Yenny memutuskan untuk meminta izin kepada orang tua live-in-nya supaya malam itu tidur di sekolahan saja. Walau akhirnya Joe bergabung juga, karena sepulang circle malam, rumahnya sudah dikunci dan sesisi rumah sudah tidur. Maka kami bertiga tidur di atas meja-meja anak TK yang disusun rapat seperti panggung. Yang paling istimewa adalah tiba-tiba Mama Laras datang membawakan bantal dan guling untukku dari rumahnya. Memang ada raut canggung ketika ia muncul di tengah-tengah kami untuk membekaliku perlengkapan tidur sementara yang lain tidak ada apa-apa, namun aku lebih fokus kepada kehangatan dan cinta kasihnya yang begitu terasa. Tuhan, di situ kah Engkau? Malam itu aku terus ingin memikir-mikirkan Tuhan, di antara menerka-nerka serta menaruh harapan untuk esok, aku juga merangkai syukur atas segala kenikmatan hari itu yang seolah-olah tetap menjadikan diriku sebagai Fanya di hari-hari biasa hanya saja lokasi yang berbeda (maksudku, aku tidak langsung merasakan penderitaan atau perubahan drastis yang berbeda 180o dari kehidupanku). Namun, sungguh masih ada yang mengganjal:
Tuhan, untuk hari ini, Tuhan mau apa dariku?Banyak sekali yang tidak aku mengerti.
Aku tidak tahu jawabannya, Tuhan juga tetap diam saja.
Aku mengawali hari keduaku di Cilincing secara otomatis badanku terbangun di pukul 5.15 pagi. Tanpa alarm ponsel ternyata bisa. Mencolek-colek Yenny dan Joe, aku pamit kembali ke rumah Mama Laras. Waktu kuketuk-ketuk perlahan pintu rumah, tidak ada yang menyahut. Masih pulas semuanya. Pintu tidak dikunci, kubuka sedikit supaya bisa mengintip. Tidak ada Mama Laras, aku sepenuhnya yakin sudah ditinggalnya mengambil dagangan. Ya, Mama Laras mengambil kue-kue maupun susu kedelai dari orang lain untuk didagangkan, bukan bikin sendiri. Aku duduk di teras sambil mencoba tidur lagi sejenak, sesekali berjaga-jaga karena pagi masih gelap. Langit kian mengungu dan muncullah Mama Laras. Aku diperkenankan mengambil satu kue untuk sarapan, lalu minum air putih, Mama Laras juga begitu. Selesai sarapan, Mama Laras mengambil mangkok kosong dan mulai memilih 4 kue untuk ditinggalkan di rumah supaya ketika suami dan anak-anaknya terbangun nanti mereka bisa sarapan sekalipun Mama Laras belum pulang. Setelah siap, kami pun berangkat, masing-masing dari kami membawa 2 kontainer plastik; 1 kontainer kue, 1 kontainer susu kedelai. Mama Laras biasa meletakkan yang lebih berat sedikit di atas kepalanya, satunya lagi dijinjing biasa. Aku? Mana bisa :”)
Ternyata di Bulak Cabe, penjaja kue banyak sekali! Bahkan orang tua live-in-nya Kelly pun berprofesi yang sama dengan Mama Laras. Aku sempat berpikir juga, bahwa dengan kondisi perputaran uangnya di sini-sini saja, dengan penjual kue sebanyak ini, lalu, siapa yang beli? Berapa banyak?
“Rezeki tiap orang sudah ada yang mengatur,” dari keyakinan Mama Laras inilah ia lantas berpikir kreatif untuk pergi ke kampung sebelah untuk menjual kue, bukan lagi di Bulak Cabe. Sayangnya, keyakinan yang bijaksana ini tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Hal ini pula yang menjadi latar belakang kondisi Mama Laras yang mau tidak mau lebih baik mengalah dan tidak lagi berjualan di sekitar pemukimannya sendiri. Untuk mencapai area lokasi Mama Laras biasa berdagang, kurang lebih jaraknya sekitar 5 kilometer, termasuk menyusuri pinggir jalan tol yang penuh mobil container dari pelabuhan, kemudian dikalikan dua untuk memperhitungkan jarak tempuh untuk kembali lagi ke rumah. Dagangan Mama Laras cukup laris, walau ada saja yang bersisa. Namun aku bahagia. Pukul 11 aku sudah kembali di rumah, setelah mandi aku tertidur di bawah kipas angin kecil yang menyejukkan. Menjelang makan siang aku dibangunkan, setelah makan siang kami semua tidur lagi. Aku kira aku tidak akan pernah mencoba tidur umpel-umpelan di rumah keluarga Mama Laras, namun siang itu aku merasakannya juga, walau dengan posisi kaki menyelonjor masuk kamar mandi dan Mama Laras mengalah tidur siang sambil terduduk, sementara suami Mama Laras dan anak-anaknya tidur dengan posisi lurus-lurus. Dalam situasi itu, aku teringat rumah dan keluargaku, terutama di masa kecilku dulu. Minggu siang sering tidur siang sama-sama di tempat tidur bapak dan ibu, lambat laun rutinitas itu pudar karena akhirnya ketika tumbuh besar pun jadi punya agenda masing-masing di hari Minggu. Aku menyadari, aku hanya lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman, seringkali tidak mau meluangkan waktu untuk keluarga, untuk orang tua…
Menjelang sore, saat mau ikut mengembalikan sisa dagangan ke pemberi modal, aku terkejut sekaligus lega dan bahagia ketika berjumpa dengan 2 orang panitia Immersion Experiment, yaitu Kak Arthur dan Kak Moncil. Ya ampun, aku dijenguk! Aku yang sejak hari pertama merasa baik-baik saja menjadi semakin baik dengan kehadiran mereka. Sambil pamit, Kak Moncil menyampaikan satu kalimat yang sampai detik ini masih membekas buatku:
“Mereka bisa hidup, maka kamu juga bisa hidup.”
Ketika malam datang lagi, aku terus memikirkan ucapan Kak Moncil itu, bergantian dengan mengingat-ingat terus Mazmur 23. Ah, aku merasa sangat disertai dan dicintai Tuhan. Bahkan ketakutanku pun tidak ada yang Ia nyatakan, sedikit pun tidak! Kekhawatiranku dan ketidakpercayaan terhadap diriku sendiri akan mampu atau tidaknya aku dalam live in ini perlahan dihapus. Tuhan sungguh sangat baik membimbingku, Ia ingin aku belajar sesuatu tanpa harus langsung membantingku untuk merasakan hidup yang terlalu susah. Namun demikian, dari peristiwa-peristiwa yang kualami sejak kedatanganku, aku merasa sangat dipimpin-Nya untuk menjadi pribadi yang lebih terkontrol emosinya, lebih gembira dan bergelora dengan sikap-sikap bersyukur. Ya, semuanya mengalir saja, dalam arus air yang tenang.
Satu peristiwa ynag paling aku rasakan bahwa akhirnya Tuhan tidak diam saja terjadi di pagi terakhir aku di Cilincing. Aku masih menyempatkan untuk ikut Mama Laras bekerja. Kalau hari sebelumnya aku berdagang dengan gembira, pagi itu aku jadi pesimis karena sampai pukul 9.30 dagangan masih banyak. Matahari juga sedang terik-teriknya. Mama Laras yang selama ini tidak pernah mengeluh terlihat kepayahan juga; berjalan jauh dengan beban dagangan yang belum berkurang sukses membikin pegal tangan, juga hati – karena memikirkan pendapatan yang belum kunjung mencapai target harian.
“Ih capek, ya,” tiba-tiba Mama Laras bicara seperti itu. Deg! Akhirnynya orang ini mengeluh juga? Pikirku. Teringat lagi akan peristiwa dan kisah perjuangan Mama Laras yang seakan-akan hanya dia yang berjuang keras di keluarganya, hidupnya yang sederhana, serta pengabdian tulusnya bagi keluarganya. Aku seketika merasa minder, selama ini apa yang sudah kuperbuat? Manakah yang cenderung aku; lebih banyak mengeluh termasuk menyalahkan orang lain atau tetap bertekun dalam karya pekerjaan yang kulakuka dengan tulus dan penuh syukur? Pada titik tersebut, kuakui selain fisikku yang lelah, aku merasa ingin mengeluh lagi. Capek, Tuhan! Sungguh!
Saat melewati gang yang sempit dan sepi, aku merasa Yesus hadir dan berbicara kepadaku,
Tidak apa-apa, Fanya, tidak apa-apa untuk lelah.
Marilah, akan Kutanggung lelahmu itu, itu tugas-Ku.
Mendengar sapaan Allah itu, aku seketika teringat akan perikop Kitab Suci Yohanes 3:16:
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang pervayaa kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Sesaat kemudian aku mulai menitikkan air mata pelan-pelan, walau rasanya ingin sesenggukan namun tidak ingin ketahuan dan membuat khawatir Mama Laras. Aku juga merasakan suatu kelegaan; bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan. Tuhan selalu ada dan selalu menanti kita untuk bercakap-cakap dengan jujur kepada-Nya. Tuhan memang tahu segala tapi Ia ingin kita juga berbicara kepada-Nya tentang apa yang kita rasakan. Terlebih, aku merasa kita sungguh perlu untuk menerima kerapuhan kita dan mengutarakannya kepada Allah. Selama ini aku cenderung sombong dan angkuh, namun semua itu malah melahirkan ketakutan-ketakutan untuk mereguk hidup, bahkan untuk berserah diri kepada-Nya. Aku seperti orang yang tidak memiliki iman karena selalu ingin melampaui pemikiran-pemikiran Allah sendiri. Dari sini aku kembali diingatkan, bahwa hanya Tuhan yang mampu menanggung semuanya semata-mata karena cinta-Nya bagi kita. Juga aku kembali diingatkan untuk terus menerus sadar bahwa cara kerja dan waktu-Nya Tuhan tidak akan pernah masuk di akal manusia sehingga yang perlu kita lakukan adalah untuk tetap setia dan percaya kepada-Nya dalam setiap apa yang kita lakukan di kehidupan kita. Aku juga kembali diajak Tuhan untuk sadar bahwa semua manusia memanglah makhluk yang penuh dengan kelemahan sehingga aku perlahan-lahan bisa berdamai dengan kondisi-kondisi yang mengecewakanku, memaafkan diriku sendiri serta mulai mencoba untuk memaafkan orang-orang yang telah membuatku kesal, terlebih yang membuatku kecewa.
Pengalaman live-in-ku bukan hanya tentang bagaimana aku memberikan diri untuk berbela rasa kepada sesama yang lebih lemah tetapi juga memberikanku kesempatan untuk menyelami diri sendiri dan membiarkan Tuhan hadir di dalamku untuk mengubah hatiku yang selama ini cenderung mengeras dan tidak peduli. Aku sangat bersyukur bahwa ternyata tidak mesti lewat pengalaman yang terlalu berat tetapi lewat yang sederhana sekalipun akhirnya aku bisa menemukan-Nya. (MSK)
