Aku Jatuh Cinta Lagi

Sebuah prolog

Aku Ulin, Magis 2014, mengikuti peregrinasi 2018 di Jogja. Motivasiku, ingin menikmati waktuku bersama Dia yang akhir-akhir ini aku abaikan. Intensiku adalah mengenai arti kesederhanaan dan rendah hati, khususnya untuk meminta pertolongan dan berkenan ditolong olehNya. Peregrinasiku berjalan ke Gua Maria Sendang Ratu Kenya bersama tiga teman Magis Jogja 2017 yaitu, Mbak Lisa, Riska, dan Bagas.

Ini ceritaku…

Hari kedua dalam peregrinasi merupakan hari yang paling berat di antara dua hari lainnya. Kapal kaki yang mulai membesar membuatku memiliki kekhawatiran sendiri, tapi lalu teringat, dulu banyak teman mempunyai kapal aja sampai sekarang hidup mereka baik-baik saja. Bukankah orang yang akhirnya ahli bermain gitar, tangannya akan kapalan karena banyak latihan? Kapal adalah tanda dari kerja keras, begitu diriku menyemangati bahwa tidak apa-apa lho kalau kapalan, tidak membuat berdarah-darah. Maka aku mulai menikmati kakiku yang kapalan itu.

Kami memulai perjalanan pada pagi hari dari rumah Pak Dukuh, dengan target bisa berjalan sejauh 30 kilometer, karena kemarin mulai jalan disiang hari saja bisa mendapat 23 kilometer. Target bisa sampai di Pasar Hewan Pracimantoro, tapi jalan yang naik turun tiada henti ditambah matahari yang terik membuat kami mulai kelelahan, kami pun lebih banyak diam dalam perjalanan. Siang hari kami beristirahat cukup lama, sekitar 45 menit. Disela-sela istirahat kami saling bercerita, apa sih yang dipikirkan ketika sedang berjalan dan saat merasa tidak kuat. Mbak Lisa menjawab yang menjadi sumber kekuatannya adalah saat menyanyikan lagu “Kutemukan Cinta”. Riska pun melakukan hal yang sama, menyanyikan lagu “Jalan Serta Yesus”. Lain hal dengan Bagas, ia malah membayangkan makanan, Lalu kalau Ulin apa?Tanya mereka. Hehehe.. sejujurnya aku malu terhadap diriku sendiri saat mendengar jawaban mereka. Sepanjang jalan aku menghitung berapa jarak yang sudah ditempuh, berapa banyak lagi yang harus kami tempuh, menghitung berapa kecepatan berjalan kami sehingga kami bisa memenuhi target, terkadang juga mengeluh dalam hati (FYI: jalan yang kami lalui dibagian pinggirnya ada penanda cat putih setiap 0,5 kilometer). Terlalu sibuk dengan perencanaan diri sendiri dan beban yang harus dipikul. Mengapa kalau capek tidak berdoa, bernyanyi, atau ngobrol saja dengan Tuhan? Berfokus pada masalah, sehingga membuat beban semakin terasa berat. Jadi teringat akan diriku dua tahun ini mengabaikan Dia. Aku sibuk bekerja, karena merasa banyak yang harus dikerjakan, waktu berdoa pun dipangkas. Bahkan bisa dieliminasi jika diperlukan. Kalau ada masalah, berusaha keras memikirkan, tapi lupa untuk memohon restu dari Dia. Lebih percaya pada atasan dan perencanaan pribadi ketimbang kekuatan ajaibNya. Jadinya bukan 100% usahaku, 100% rahmat Allah. Namun, 100% usahaku, 100% partner kerjaku. Tanpa disadari itu sudah menjadi gaya hidup dan aku menjadi kehilangan arah. Mengesampingkan arti kata ‘pasrah’ dan lupa mengaplikasikan ‘iman’. Tidak percaya sebelum aku melihat dan mewujudkan. Hal lain yang aku pikirkan saat berjalan adalah fantasi (bukan imajinasi), lanturan-lanturan yang tidak jelas mengenai masa lalu dan yang akan datang. Apa yang aku lakukan ketika aku mengalami situasi putus asa? Aku sibuk melantur, mematikan harapan-harapan dengan berpikir negatif. Maka setelah sharing singkat dengan mereka, aku berjalan yang paling depan, mulai memeriksa, bercakap-cakap dengan Dia yang selama ini menemaniku berjalan, dan tidak lagi merisaukan penanda jarak yang ada di tepi jalan. Biasanya belum sampai 1 kilometer berjalan sudah ingin istirahat, tapi karena merasa dikuatkan, kami baru istirahat setelah 2-3 kilometer. Ya, jangan mengeliminasi waktumu bersama Dia. Jika ada masalah, jangan lupa kerjakan bagianmu dengan hati yang penuh dan harapan yang bernyala dan serahkan hasilnya pada Dia yang mencintaimu. Walaupun akan sulit, tetapi dimampukan sehingga memiliki kekuatan dan kesabaran untuk menghadapinya.

Sore hari semangat kami dibakar dengan kata-kata “Kalau ikut Yesus harus sampai berdarah-darah”, sehingga membuat kami tetap melanjutkan perjalanan sampai saatnya kami harus mulai mencari penginapan, karena matahari sudah mulai tenggelam. Sampailah kami disuatu desa yang letaknya tepat di turunan bukit. Mbak Lisa dan Bagas berjalan di belakang. Di depan kami ada sebuah warung, yang saat itu aku melihat ada dua orang bapak yang meilhat ke arah kami dan sepertinya memperbincangkan kami, mungkin melihat cara jalan kami yang tertatih-tatih. (ini spekulasiku saja, hahaha). Lalu, aku mencoba meminta izin menginap di rumah di seberang warung tersebut. Namun, ditolak. Kemudian datang ke bapak pemilik warung dan bertanya letak rumah Pak Dukuh. Bapak itu pun bertanya tentang kami, sudah sempat ge-er bahwa bapak itu akan menampung kami, tapi ternyata tidak. Kami tetap disuruh ke rumah Pak Dukuh yang jaraknya masih 1,5 kilometer lagi ke arah bawah. Kami berjalan dengan lemas, karena menatap jalan di depan menurun tajam. Mbak Lisa yang berjalan di belakang diam-diam menangis, tak sengaja aku memergokinya. Aku pun ikut sedih, tapi kok lucu. Kami tertawa besama menertawakan kesedihan kami. Dalam hati aku berkata, “Sampai sejauh mana Kau tega menyuruh kami berjalan, Tuhan”. Kemudian tidak lama seorang petani yang mengendarai motor menyetop kami dan menyampaikan pesan dari Bapak pemilik warung untuk istirahat dulu di rumah beliau, yang diketahui bernama Pak Paiman. “Tuh kan, Tuhan, Kau sudah tidak tega membiarkan kami berjalan.”  Kataku dalam hati. Tak berhenti di situ, ternyata Pak Paiman yang kala itu (sepertinya) tak berkenan jika kami tinggal di rumahnya, menawarkan pada kami untuk mengantar sampai rumah Pak RT. Aku pun mewakili teman-teman untuk menghadap, di rumah Pak RT kami disuruh ke Pak Dukuh (saat itu aku sudah berpikiran negatif, palingan itu hanya alasan untuk Pak RT menolak kami). Pak Dukuh tidak ada di rumah dan istrinya memberi saran supaya kami di rumah Pak Paiman dulu baru setelah Pak Dukuh datang, akan dikunjungi apakah dizjinkan atau tidaknya. (Lagi-lagi aku berpikiran negatif, kalau Pak Paiman sebenarnya tidak mau kami tinggal di rumahnya). Akhirnya kami ditampung sementara di rumahnya. Dugaan itu runtuh saat kami malah diberikan makan malam oleh keluarga Pak Paiman dan  mulai diajak ngobrol. Usut punya usut, ternyata mereka sangat ketat terhadap orang asing yang datang, dikarenakan beberapa waktu lalu ada orang berbaju seperti ulama datang, tetapi malah menghipnotis dan mengambil harta salah seorang warga. Jadi, ada alasan dibalik sebuah tindakan, toh!

Pagi hari, aku terbangun sekitar pukul 04.00, mendengar Pak Paiman memasak makanan dan mengaduk gelas. (FYI: Pak Paiman berusia sekitar 60 tahun, tinggal bersama ibunya dan masih bekerja sebagai tukang bangunan dan petani). Sekitar pukul 06.00 kami dipersilahkan makan terlebih dahulu, menu yang disajikan adalah masakan Pak Paiman sendiri. Ternyata Pak Paiman yang awalnya nampak keberatan menampung kami, justru memberikan sambutan yang penuh dan hangat pada kami. Terharu, beliau rela memasak pagi-pagi dan membuatkan teh hangat untuk kami, yang baginya adalah orang asing. Masakannya sederhana, hanya oseng tahu, tapi bagi kami itu sungguh nikmat karena dibuat dengan usaha murni dan perhatian. Diingatkan bahwa melakukan sesuatu yang sederhana dengan cinta yang besar itu sungguh amat berharga. Hidup dengan sederhana, memberi dengan sepenuh hati tanpa mengharap kembali. Jangan malas.

Pengalaman peregrinasi yang sesungguhnya sangat banyak ini, membuatku merasakan jatuh cinta lagi, ingin selalu berada didekatNya, mencari apa yang Dia mau, tidak takut dan tenang untuk menghadapi hal yang tidak mudah karena aku DicintaiNya dan aku berjalan bersamaNya. (DUSA)



Demetria Ulin Suci Aprilla

Biasa dipanggil Ulin atau Deme. Menjadi anggota Magis Jogja 2014 saat kuliah dan tinggal di Solo. Saat ini bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah pabrik obat di Cikarang. Alasan ikut Magis, dulunya merasa gelisah karena merasa hidup hanya sekadar hidup, lalu mencoba mencari alasan tujuan Dia menciptakan saya. Pasukan Magis kala itu datang disaat yang tepat dan saya rasa, ini bisa membantu saya untuk benar-benar menjalani hidup lebih baik dan menghargai setiap berkat yang sudah Tuhan berikan.

 


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *