A skeleton in the cupboard, begitulah orang menyebut hal-hal kurang menyenangkan yang ingin disimpan sebagai rahasia. Hal itu bisa saja berupa hal yang menyakitkan atau memalukan. Hidup kita tidak melulu mulus tanpa hambatan dan kesulitan. Masing-masing dari kita pasti memiliki pengalaman yang tidak enak, sedih, memalukan, atau menyakitkan. Ada bagian-bagian yang sering ingin kita simpan sendiri. Mengingatnya saja sudah enggan, apalagi membagikannya pada orang lain.
Pengalaman baik selalu menjadi semangat kita untuk melewati hari-hari dengan penuh syukur. Tetapi pengalaman yang menyakitkan seringkali membawa kita pada suasana hati yang buruk dan rasa putus asa, hingga terkadang kita berharap Tuhan menyertakan tombol undo, restart atau cut dalam diri kita. Sayangnya tidak. Bahkan seringkali ingatan tentang pengalaman menyakitkanlah yang kerap muncul dan menghalangi langkah kita ke depan.
Di pertemuan circle ICHTHYS bulan ini kami membahas mengenai tugas “sejarah hidup” yang sedang kami kerjakan. Pertemuan ini spesial karena beberapa hari sebelumnya teman kami Ester berulang tahun. Jadilah kami heboh dan sibuk merencanakan sebuah pesta kejutan. Dengan membawa perlengkapan pesta, kami datang dan berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Sayangnya ia datang sedikit lebih awal, saat kami belum siap dengan kue (yang adalah martabak manis :p ) dan lilin. Jadilah ia kami paksa untuk mengulang adegan masuk ^-^. Setelah haha hihi yang cukup panjang, Adne dan Mbak Aci mulai mengajak kami berdiskusi tentang tahap-tahap pembuatan tugas “sejarah hidup”. Mulai dengan berbicara tentang proses, masing-masing dari kami akhirnya menceritakan tentang isi tulisan kami yang adalah skeleton-skeleton di dalam lemari kami masing-masing. Untuk menjawab pertanyaan tentang pengalaman terburuk yang pernah kami alami, awalnya kami semua ragu dan banyak yang memilih diam.
Tidak mudah memang membagikan cerita-cerita itu. Ini sama saja dengan melepas kulit kita dan membiarkan orang melihat diri kita secara utuh. Kepada sahabat kita saja, kita terkadang masih ragu untuk membagikan hal-hal yang sangat pribadi. Apalagi kepada teman-teman yang belum lama kita kenal. Saat itu padaku ada rasa takut tidak bisa menahan perasaanku jika aku harus melihat kembali pengalaman itu, apalagi membiarkan teman-teman baruku tahu akan hal itu. Malu, takut dihakimi, takut dikritik, takut dinilai….. setidaknya itu yang ada di kepalaku sehingga awalnya aku memilih untuk menjadi pendengar. Satu persatu mereka mulai menceritakan kisah masing-masing. Aku seperti ikut terbawa dalam cerita mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan. Mataku mulai terbuka. Melihat mereka dengan tulus ikhlas membuka diri mereka bagiku dan memperlihatkan sisi kehidupan yang selama ini mereka simpan sendiri, aku merasa kami begitu dekat sehingga tidak perlu lagi ada tembok di antara kami. Aku pun merasa ini tindakan yang benar untuk sembuh seutuhnya, untuk belajar menerima diri sendiri dan masa lalu. Akhirnya dengan susah payah menyusun kata-kata bersamaan dengan luapan perasaan yang tidak bisa kuatur lagi, aku pun menceritakan kepada mereka pengalaman-pengalaman yang sangat menggangguku hingga saat ini. Aku jadi tahu, didengarkan dengan sepenuh hati adalah salah satu obat yang manjur untuk rasa sakit. Aku merasa dikasihi, bukan dikasihani. It feels good.
Setelah mendengarkan mereka dan membagikan ceritaku, aku sadar bahwa kami dikumpulkan menjadi satu untuk saling menguatkan. Dan melalui teman-temanku inilah Tuhan ingin mengulurkan tanganNya. Aku menyadari bahwa setiap hal dalam hidupku telah diatur dengan sangat baik. Masing-masing dari kami memiliki porsi yang berbeda-beda sesuai kekuatan kami. Salib yang tadinya kupikir sangat besar dan berat terlihat menjadi lebih kecil dan ringan setelah aku mengetahui salib teman-temanku jauh lebih berat. Belum tentu aku bisa bertahan jika berada di posisi mereka. We are all struggling in our own ways. Aku sadar Tuhan tidak pernah meninggalkanku dan selalu berjalan besamaku. Melalui pengalaman-pengalaman buruk lah aku justru bisa banyak belajar untuk tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan dewasa. Aku masih berjuang untuk menerima diriku dan masa laluku, tapi kali ini dengan keyakinan bahwa aku dicintai, terlebih oleh Dia yang rela menderita dan wafat di kayu salib untuk aku.